UKT Mahal, Bukti Kapitalisasi di Perguruan Tinggi


Oleh: Narita Putri
 (Aktivis Dakwah)


Tuntutlah ilmu setinggi langit. Sebuah kutipan indah, namun hanyalah angan di mata para calon mahasiswa baru Universitas Jendral Soedirman Purwokerto, Jawa Tengah.  Bagaimana tidak, mereka kini menjerit. Berteriak, menangis terisak-isak. Perguruan tinggi tempat meraih cita dan asa kian hanyalah angan-angan semata.


Jagad media sosial saat ini ramai mengenai tingginya biaya uang kuliah tunggal (UKT) di Universitas Soedirman. Ratusan mahasiswa baru dan BEM Unsoed melakukan unjuk rasa karena UKT mengalami kenaikan 5 kali lipat dari tahun-tahun sebelumnya. Dari Rp 9 juta menjadi Rp 52 juta. Sungguh, angka yang fantastis dan tak masuk akal. Tentu kenaikan ini membuat mayoritas orang tua semakin berat di tengah ekonomi sulit.


Setelah kabar ini viral, pihak Unsoed akhirnya menerbitkan aturan terkait UKT terbaru yang tertuang dalam Peraturan Rektor No.9/2024. Isi aturan tersebut menerangkan bahwa pihak Unsoed tetap akan menyediakan UKT level 1 dan 2, yaitu Rp. 500.000 dan Rp. 1.000.000 untuk 20% mahasiswa.


Tersebab PTN BH

Perguruan Tinggi Berbadan Hukum merupakan PTN milik negara dan tidak dapat dialihkan kepada perorangan atau swasta berdasarkan UU No.12 Tahun 2012 tentang Perguruan Tinggi. Dengan turunnya aturan itu, semua eks perguruan tinggi BHMN, termasuk perguruan tinggi yang diselenggarakan pemerintah ditetapkan sebagai PTN BH. 


Hal tersebut menimbulkan polemik baru. PTN tidak mendapatkan biaya pendidikan penuh ari pemerintah seperti sebelumnya. Walhasil, mereka harus berputar otak mencari pembiayaan sendiri untuk operasional kampus. Akhirnya, masuklah para korporat ke kampus melakukan investasi ke PTN. Mereka mengibaratkan PTN seperti jual beli. Maka tak heran, banyak kita temui di kampus terdapat mal, usaha restoran, penyewaan gedung, SPBU, dan lain sebagainya.


Tidak hanya melakukan usaha, pihak kampus mau tak mau harus membebankan biaya kuliah tinggi ke mahasiswa. Tanpa peduli, bagaimana cara mereka membayarnya. Akhirnya UKT naik, mahasiswa protes. Tidak naik pun kampus kian pusing tujuh keliling untuk menutupi biaya operasionalnya. 


Komersialisasi Kampus

Begitulah ketika lembaga pendidikan tidak murni menjadi pencetak generasi. Namun, dijadikan ladang bisnis. Konsep seperti ini lahir dari kapitalisme. Sebuah aturan yang memandang materi adalah segalanya. Sehingga wajar pendidikan menjadi ajang komersialisasi. 


Kapitalisme menghilangkan peran negara sebagai penganggung jawab penuh dalam pendidikan. Pemerintah sekadar berindak sebagai regulator, pihak pembuat aturan. Mereka membuat kebijakan agar konsep PTN-BH berjalan. Contohnya pada kasus di UI dan UNY (2023), dan baru-baru ini Unsoed. Pemerintah mendesak pihak kampus melakukan klarifikasi dan menekan angka UKT. Apakah itu akan menyelesaikan masalah? Tentu, tidak. 


Ironisnya, kenaikan biaya ini tidak berimbang dengan kenaikan pendapatan para orang tua. Ini menyebabkan banyak orang tua tidak mampu menutupi baiya pendidikan tinggi. Semakin sulit mengakses pendidikan tinggi, semakin menjauhkan Indonesia menjadi negara besar pada 2045. Harapan Emas 2045 tinggal harapan semata. 


Pendidikan Kacamata Islam

Islam menjamin seluruh pembiayaan pendidikan, sarana dan prasarana bahkan gaji guur/ dosen. Para khalifah menyediakan pendidikan gratis bagi masyarakat, tanpa mempedulikan dia kaya atau miskin. Semua mempunyai hak sama dalam pendidikan. Setiap perguruan tinggi dilengkapi dengan auditorium, asrama mahasiswa, perumahan dosen dan ulama. Perguruan tinggi dilengkapi taman rekreasi, kamar mandi, dapur dan ruang makan. (Khalid, 1994).


Melalui wakaf yang disyariatkan, Islam memberikan peluang terbuka bagi rakyat yang kaya untuk turun berperan dalam pendidikan. Sejarah mencatat, di kota besar seperti Damaskus, Baghdad, Kairo dan sebagainya terdapat lembaga pendidikan dan perpustakaan yang berasal dari wakaf.


Hanya dalam sistem Khilafah masyarakat mendapatkan akses pendidikan formal gratis lengkap sarana prasarana yang memadai. Mereka akan lebih fokus kepada penelitian, pembelajaran untuk peradaban Islam. Tanpa khawatir memikirkan biaya. Sebab, mahasiswa adalah agen perubahan, perubahan untuk Islam.


Oleh karenanya, mahasiwa harus bersuara ketika ada kebijakan yang membuat rakyat makin sulit. Termasuk kebijakan kenaikan biaya UKT. Mereka harus berjuang agar keluar dari masalah yang diciptakan dari sistem kapitalisme lewat komersialisasi kampus.

Post a Comment

Previous Post Next Post