Proyek Sawah Cina, Solusi Ketahanan Pangan atau Ancaman Kedaulatan?


Oleh : Hasmiati, A.Md.

Aktifis Dakwah 


Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan pemerintah akan menggandeng China untuk menggarap sawah di Kalimantan Tengah. Kesepakatan tersebut menjadi salah satu hasil pertemuannya dengan Menteri Luar Negeri China Wang Yi dalam ajang High Level Dialogue and Cooperation Mechanism (HDCM) RI–RRC di Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur, Jumat (19/4).


Lagi dan lagi pemerintah Indonesia menjadikan standar acuan teknologi  pembangunan pada negara Cina. Tidak ketinggalan teknologi pertanian pun kiblatnya adalah negara tirai bambu tersebut. Tentu saja rencana proyek Sawah Cina ini digadang gadang sebagai solusi masalah ketergantungan impor beras pemerintah Indonesia dalam memenuhi kuota beras rakyatnya. Selain itu merupakan solusi dalam menyediakan lumbung pangan rakyat Indonesia yang tidak pernah mencapai swasembada pangan.


Pertanyaannya adalah apakah benar langkah yang diambil oleh pemerintah berhasil sedangkan berbagai program yang serupa sudah sering mengalami kegagalan. Andaikata berhasil pun siapa yang akan diuntungkan? 


Sungguh ironi negeri agraris yang subur dan luas ini terpuruk dengan ketergantungan impor beras guna memenuhi stok beras dalam negeri. Begitu pula teknologi pertanian jauh dari kata maju dan berhasil dibandingkan negara sekelas asia tenggara misalnya Thailand dan Vietnam. Padahal dari segi kondisi geografis Indonesia yang sama memiliki dua musim dan jenis makanan pokok pun sama. Bahkan sumber daya alam Indonesia jauh lebih kaya namun tak berdaya dalam memproduksi beras untuk kebutuhan dalam negeri sendiri. Tahun 2018 lalu Indonesia meraih predikat importir beras no 2 dunia.


Keseriusan pemerintah dalam mewujudkan ketahanan pangan Nasional perlu dipertanyakan. Dilihat dari berbagai program ketahanan pangan Nasional dari satu masa pemerintahan ke masa pemerintahan yang lain  senantiasa mengalami kegagalan. Mulai proyek di era presiden Soeharto di Kalimantan Tengah tanah 1,45 juta hektar  gagal. Lalu proyek presiden SBY di Merauke seluas 1,2 hektar yang gagal, di Bulungan Timur seluas 300.000 hektar gagal, Proyek Ketapang Kalimantan Barat di tanah seluas 100.000 hektar juga gagal. 


Kemudian proyek Jokowi di kawasan Sumatera Utara, Jawa Tengah, Jawa Barat, Jawa Timur, Kalimantan Tengah, Nusa Tenggara Timur (NTT), Papua dan Papua Selatan seluruhnya juga gagal. Bisa dihitung jumlah derita kerugian negara akibat program- program yang gagal tersebut.


Mengapa pemerintah tidak melakukan mitigasi kegagalan lumbung pangan? Padahal pemerintah bisa mengoptimalkan produksi petani lokal mengingat banyaknya petani mengalami kegagalan dan memutuskan untuk tidak melanjutkan bertani. Sebaliknya pemerintah justru membangun kerjasama teknologi pertanian dengan Cina.


Sesungguhnya Indonesia sangat mampu secara mandiri untuk mencapai ketahanan pangan akan tetapi akibat penerapan sistem kapitalisme sekuler yang mengakar kuat menjadikan program ketahanan pangan sebagai lahan cuan bagi segelintir orang untuk mengambil keuntungan. Pemerintah hanya sebagai regulator saja, buktinya kerjasama teknologi pertanian dengan cina dibangun atas dasar prinsip bisnis bukan prinsip pelayanan dan pengurusan rakyat yang seharusnya negara wajib lakukan. Padahal proyek teknologi pertanian cina ini belum tentu bisa menjamin kestabilan dan terjangkaunya harga beras pasar diseluruh lapisan masyarakat. Proyek ini tidak menjamin kesejahteraan para petani lokal. Bisa dibayangkan siapa yang untung dan siapa yang buntung dalam proyek ini. 


Disadari atau tidak kerjasama dengan pihak asing sangat mengancam kedaulatan negara bahkan berpotensi menguatkan penjajahan dalam negeri karena didanai dan didikte oleh negara aseng sebagai investor utang negara yang sudah cukup melambung tinggi pada negara Cina. Inilah dampak dari penerapan sistem kapitalisme dengan seluruh kebijakan berorientasi pada materialistis bukan kemaslahatan rakyat. 


Berbeda dengan sistem Islam tujuan utamanya untuk pelayanan dan kemaslahatan rakyat. Kepemimpinan Islam  tegak di atas keimanan dan penguasa adalah pengurus dan penjaga rakyatnya. Semuanya merupakan amanah yang harus dipertanggungjawabkan di akhirat kelak.


Dalam sistem Islam sektor pangan adalah sektor yang paling strategis karena pangan adalah kebutuhan dasar manusia, di samping sandang dan papan. Maka negara wajib bertanggung jawab penuh atas pemenuhan kebutuhan pokok setiap individu rakyatnya sehingga menjaga ketahanan dan mewujudkan kedaulatan pangan adalah sebuah keniscayaan dan hal tersebut harus dilakukan dengan menerapkan sistem politik ekonomi Islam beserta sistem-sistem lainnya.


Salah satu yang diatur dalam Islam adalah hukum-hukum khusus terkait tanah pertanian. Negara berperan besar dalam memastikan tidak ada sejengkal pun tanah pertanian yang boleh ditelantarkan karena berbagai alasan. Pemilik tanah wajib menggarap atau memanfaatkannya. Jika tanahnya terlantar selama lebih tiga tahun, mereka akan kehilangan hak kepemilikan dan negara akan menyerahkan kepada yang sanggup mengelolanya.


Islam menjamin ketersediaan sarana prasarana pertanian yang berkualitas dan terjangkau, dukungan riset dan teknologi, supervisi, informasi pasar, jaminan tataniaga yang aman dan berkeadilan, dan lainnya.

Hal tersebut di atas didukung penuh oleh sistem keuangan Islam yang kuat yaitu Baitul Mal yang memiliki pemasukan dana melimpah ruah sehingga memiliki modal untuk menyejahterakan rakyatnya, termasuk mendukung kebutuhan pembangunan pertanian.


Pembiayaan dalam sektor pertanian dalam Islam tidak tergantung oleh modal asing dan swasta jika mungkin menjalin kerjasama dengan Asing maka politik luar negeri Daulah yang harus dijadikan pedoman. Oleh karena itu, terwujudnya ketahanan dan kedaulatan pangan hanya terwujud dalam sistem Daulah Islam.

Wallahu a'lam bissowab

Post a Comment

Previous Post Next Post