Pornografi diberantas dalam Kapitalisme, Utopis !


Oleh Irmawati


Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menkopulhukam) Hadi Tjahjanto, mengatakan untuk menangani permasalahan pornografi secara online yang membuat anak- anak menjadi korban dibentuk satuan tugas ( Satgas). Satgas tersebut melibatkan Kementrian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek), Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Kementrian Agama, Kementrian Sosial, Kementrian Komunikasi dan Informatika, Polri,  KPAI, Kementrian Hukum dan HAM, Kejaksaan Agung, LPSK, dan PPATK.


 Rata-rata usia anak-anak yang menjadi korban aksi pornografi secara online mulai 12-14 tahun. Selain itu, ada juga anak-anak yang masih duduk dijenjang pendidikan anak usia dini ( PAUD) dan kelompok disabilitas yang juga menjadi korban tindakan asusila. Termaksuk anak-anak yang ada di pondok pesantren yang sering menjadi korban. Ironisnya pelakunya adalah orang yang dikenal dan dekat. 


Berdasarkan Data National Center for Missing and Explioted Chidren (NCMEC) dltercatat  Indonesia masuk peringkat keempat secara internasional dan peringkat dua dalam region ASEAN konten pornografi yang melibatkan anak Indonesia yakni  sebanyak 5.566.015. (Republika, 19/04/2024)


Sungguh menyayat hati, di negeri yang mayoritas muslim kasus pornografi kian merajalela. Tentu ini bukan hal sepele, melainkan masalah serius dimana anak menjadi objek dan subjek pornografi. Terlebih, anak adalah generasi muda 

yang menentukan masa depan umat. Jika generasi mudanya adalah sosok yang lemah akal dan jiwanya, sibuk bergumul dengan syahwat dan angan kosong bagaimana masa depan umat nantinya?


Bukan tanpa alasan munculnya kasus pornografi yang banyak jika tidak ada penyebabnya. Ada beberapa penyebab diantaranya pengaruh pergaulan bebas, minukan keras, konten pornografi yang sangat mudah diakses, tuntutan ekonomi , kemajuan teknologi dan digitalisasi media yang membuat konten pornografi dan industri pornografi tumbuh subur berkembang , apalagi sangat banyak aplikasi yang berkonotasi seksual dengan konten 18+. 


Media dan pergaulan bebas seakan berkolaborasi dalam merusak generasi. Pada usia yang masih belia anak hadir predator seksual. Tak hanya pelecahan, tetapi untuk mendapatkan cuan banyak perilaku bejat yang dilakukan direkam dan diunggah. 


Anak meski menjadi korban eksploitasi karena tidak memahami  hukum dan terkadang pasrah sehingga kasus tersebut menguap begitu saja. Sejatinya konten pornografi sangat berbahaya. Selain membuat penggunanya candu juga kerusakannya melebihi narkoba. Karena itu pornografi disebut juga narkolema.


Anak yang terpapar narkolema diperiksa menggunakan MRA terjadi kerusakan pada bagian PFC (Pre frontal Cortex). Padahal PVC tersebut termaksuk  bagian otak yang memiliki penting penting sebagai manager otak pusat logika, mengambil Keputusan, konsentrasi, merencanakan masa depan dan empati kepada sesama.Tentu sangat berbahaya  ketika seseorang kehilangan kemampuan ini. Kelakuannya bisa menjadi rendah melebihi rendahnya hewan, yang pada akhirnya suka melakukan tindakan asusila.


Adapun pemerintah   telah melakukam berbagai upaya  untuk  mengatasi kasus pornografi. Akan tetapi hingga saat ini permasalahan ini tidak bisa tuntas. Bahkan yang terjadi justru kian marak. 


Inilah bukti nyata sistem kapitalisme telah gagal mengatasi kasus pornografi. Dalam sistem ini manfaat menjadi tolak ukur dalam melakukan  segala sesuatu dan agama dipisahkan dari kehidupan. Kepuasan dijadikan tolak ukur kebahagiaan. Karena itu wajar jika masyarakat tidak takut dengan dosa dan tidak peduli dengan pahala. 


Selain itu, dalam sistem kapitalisme produksi pornografi termaksuk shadow economy. Terbukti dari data September 2023 hasil keuntungan rumah  produksi film porno menghasilkan 500 juta selama setahun. Selama masih ada permintaan meski merusak generasi, pornografi tetap terus diproduksi. 


Dengan demikian, selama sistem kapitalisme yang diterapkan tidak akan mampu menciptakan lingkungan yang  memutus rantai kejahatan yang merajalela di masyarakat termaksuk kejahatan seksual serta hanya menghancurkan generasi. Terlebih sanksi yang diberikan tidak memberikan efek jera dan tidak menyentuh akarnya.


Berbeda dengan Islam. Islam dengan seperangkat aturannya mampu memberi solusi  segala permasalahan umat. Pornografi dalam Islam dipandang sebagai kemaksiatan karena mengandung konten keterbukaan aurat, perbuatan tidak senonoh, berzina dan lain sebagainya. Selain itu, pornografi juga dapat menyebabkan kebersihan dan akal manusia menjadi rusak. 


Dalam Islam negara bertugas sebagai pelindung dan juga pengurus bagi rakyatnya. Untuk melindungi rakyatnya dari berbagai bahaya pemikiran berupa konten pornografi penguasa Islam melakukan berbagai upaya. 


Pertama, penguasa muslim akan menerapkan pendidikan Islam dengan kurikulum berbasis akidah Islam. Dengan pendidikan Islam tersebut , akan membentuk individu yang berkepribadian Islam yang kuat dan taat pada semua perintah dan menjauhi larangannya. Sehingga jauh dari hal-hal yang merusak pikirannya.


Kedua, adanya kontrol masyarakat. Jika masyarakat mampu beramar ma'ruf nahi munkar, tidak memfasilitasi dan menjauhi segala bentuk tindakan kemungkaran, maka segala rangsangan dapat diminimalkan.


Ketiga, Penguasa Islam  akan menciptakan lingkungan yang kondusif bagi pendidikan anak. Negara akan mengatur media sehingga memastikan semua informasi, berita, pemikiran dan yang lainnya beredar di media sosial bersih dari konten pornografi ataupun konten yang merusak. Penguasa akan memberikan sanksi tegas bagi para pelaku kejahatan pornografi maupun pornoaksi.


Ketiga, penguasa Islam akan menjaga kesucian dan kebersihan interaksi masyarakatnya dengan menerapkan sistem pergaulan Islam. Syariat pergaulan menjelaskan bahwa kehidupan publik untuk interaksi ta’awun dan amar ma’ruf nahi mungkar antar sesama. Sementara kehidupan domestik untuk interaksi kehidupan keluarga. Ketika sistem pergaulan Islam digunakan sebagai mafahim (pemahaman) dan maqayis (tolak ukur perbuatan), maka masyarakat akan memahami batasan interaksi laki-laki dan perempuan di kehidupan publik dan domestik. Konsep ini akan menutup celah bagi para pelaku pornografi untuk melakukan aksinya, karena mereka akan merasa malu sendiri dengan kemaksiatan yang mereka lakukan.


Keempat , Penguasa Islam akan menerapkan sistem sanksi Islam bagi mereka yang melakukan pelanggaran. Penerapan sistem sanksi Islam (uqubat) akan memberikan efek jera bagi pelaku, bahkan mampu menjadi upaya preventif di tengah-tengah masyarakat.


Dengan demikian,  hanya dengan sistem Islam melalui institusi negara yakni khilafah beserta mekanismenya kasus pornografi dapat tersolusikan. Anak-anak akan tumbuh di lingkungan yang bersih masyarakat, akalnya, jiwanya serta kebiasaannya, sehingga mereka tidak akan menjadi korban atau pelaku pornografi seperti saat ini.


Wallahu A'lam Bisawwab..

Post a Comment

Previous Post Next Post