Perempuan Berdaya, Perempuan Sejahtera?*


Oleh Sri Rahayu Lesmanawaty 
(Aktivis Muslimah Peduli Generasi)


Belum lama ini diselenggerakan sebuah kegiatan yang mempromosikan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan dalam industri pariwisata. Seperti yang diberitakan Okezone, 3/5/2024, kegiatan ini juga sejalan dengan tujuan yang lebih luas dalam pengembangan pariwisata berkelanjutan sekaligus sebagai implementasi dari salah satu komponen program Sustainable Development Goals (SDGs), yakni kesetaraan gender dan pertumbuhan ekonomi. Selanjutnya, konferensi ini ditargetkan menjadi momentum untuk memperkuat peran perempuan dan kesetaraan gender dalam sektor pariwisata dan ekonomi kreatif. 


Saat menyampaikan pengantar di hadapan wakil 40 negara partisipan dalam The 2nd UN Tourism Regional Conference on the Empowerment of Women in Tourism in Asia and The Pacific, Wakil Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Wamenparekraf) Angela Tanoesoedibjo mengenalkan tentang tokoh kesetaraan gender Tanah Air, Ibu Kartini. Serta menyatakan pentingnya peran kaum Hawa dalam bisnis pariwisata.(Suara.Com, 2/5/2024).


Konferensi ini memang menekankan peran perempuan pada sektor pariwisata di Asia dan Pasifik. Sejumlah tokoh penting perempuan hadir sebagai pembicara. Selain itu, terdapat ratusan peserta yang berasal dari UN Tourism Officials, para menteri pariwisata perempuan, tokoh-tokoh perempuan industri pariwisata, akademisi, serta pemangku kepentingan di wilayah Asia Pasifik.(Okezone.com, 3/5/2024).


Sektor parekraf merupakan salah satu sektor tercepat dan utama dalam menghasilkan devisa. Berdasarkan data dari Kemenparekraf RI  (dikutip 4 Mei 2024) mayoritas pekerja dalam sektor pariwisata adalah perempuan yakni sebesar 54,22% dibandingkan dengan pekerja pria yakni 45,78%. Dengan persentase tersebut, kaum perempuan  diklaim mampu membuat perubahan positif baik dalam skala lokal maupun global.


 *Perempuan Tumbal Ekonomi* 


Sudah seharusnya disadari paradigma kapitalisme selalu terkait dengan komoditas ekonomi. Kapitalisme tidak akan pernah membiarkan sesuatu  tidak berdaya guna, sekalipun seringkali tidak manusiawi, bahkan tidak jarang membuahkan eksploitasi dan kedzaliman.


Konferensi terkait dengan pemberdayaan perempuan di sektor parekraf telah menunjukkan realisasi asas manfaat disettingkan pada perempuan. Perempuan bagai komoditas yang mampu dieksplor kemampuannya sebagai ladang ekonomi.


Sungguh jika kita cermati dengan baik, pelaksanaan konferensi  justru telah menampakkan adanya kegagalan sistem ekonomi kapitalisme dalam memenuhi kebutuhan rakyat dan negaranya. Andai saja kapitalisme masih memiliki kekuatan,  sejatinya menggunakan peran perempuan atas nama pemberdayaan tidak perlu diwujudkan.


Memang saat ini pertumbuhan ekonomi paling kuat terdeteksi di Asia Selatan dan Asia Tenggara. Ini terjadi karena dorongan  permintaan domestik dan ekspor untuk mengimbangi perlambatan pertumbuhan di Cina akibat kemerosotan pasar properti dan melemahnya konsumsi. Akhirnya penggenjotan peran perempuan dalam sektor parekraf dengan mengaruskan kesetaraan gender,  ditayangkan begitu bersahaja seakan memang benar-benar perempuan yang berdaya guna adalah perempuan berharga padahal senyatanya perempuan menjadi tumbal ekonomi negara.  Jatuhlah parekraf sebagai sektor terpilih yang sangat penting bagi pemasukan APBN. Saat utang menggunung dan nilai dolar kian mencekik rupiah, pemerintah sangat berkepentingan menggenjot sektor ini, bagaimanapun caranya, meski nasib dan peran domestik kaum perempuan harus ditumbalkan.


Sebagai tumbal, kaum perempuan dikeluarkan Dari peran domestiknya ke ranah publik secara  sistemis. Peran domestik tergadai,  fitrah kaum perempuan pun rusak karena tidak lagi berfokus pada perannya selaku ibu dan pengatur rumah tangga. Lebih jauh lagi berpengaruh buruk pada kualitas generasi.  Minimnya peran kaum ibu ideologis dalam pendidikan di tengah keluarga, memudahkan generasi tergerus arus liberalisasi budaya, sebagai konsekuensi dari bercokolnya liberalisasi ekonomi. 


Jika saja  SDA kita dikelola secara amanah oleh penguasa dan hasilnya dikembalikan untuk kesejahteraan rakyat, bukan diserahkan pada asing aseng baik dari sisi hilirisasi maupun investasi, maka sumber APBN   tidak perlu lagi memulung parekraf sebagai sektor penghasil dana. Sayang beribu sayang sistem demokrasi selaku pengawal kapitalisme tidak akan pernah merestui, sutradara kapitalis diduduki para pemilik modal swasta. Alhasil, tetaplah sektor parekraf dengan perempuan sebagai tumbalnya digaungkan dan direalisasikan di negeri ini.


 *Pemberdayaan Sesuai Syariat, Perempuan pun Terhormat* 


Islam memandang perempuan sesuai peran hakikinya, yakni sebagai tulang rusuk suami serta ibu dan pengatur rumah tangga (ummun wa robbah al  bait). Sekalipun hukum  bekerja bagi  perempuan dalam Islam adalah mubah (boleh), aktivitas publik yang dilakukan perempuan semata hanya  bagian dari peran mereka mewujudkan tugasnya beramar makruf nahi munkar di tengah umat dan sebagai umat. Bukan menjadi tulang punggung ekonomi yang berjibaku dengan pencarian materi semata. Inilah konsep pemberdayaan hakiki bagi kaum perempuan sesuai syariat.


Dengan syariat Islam,  perempuan diberikan kehormatan bukan penghinaan.  Perempuan tidak wajib bekerja dan dipekerjakan sebagai pencari nafkah. Nafkah perempuan sangat  dijamin dalam Islam.


MasyaAllah. Ketika perempuan belum menikah, jalur nafkah melalui ayahnya. Ketika sudah menikah, jalur nafkah  melalui suaminya. Dan  ketika perempuan menjadi janda, jalur nafkah  melalui ayahnya (jika masih hidup) atau saudara laki-lakinya atau anak laki-lakinya. Dan jika semua jalur nafkah tersebut tidak ada,  maka nafkah ditanggung oleh negara melalui baitulmal. Dengan demikian, bekerja dan dipekerjakannya  perempuan sebagaimana asas  kapitalis tidak menjadi realisasi strategis.


Demikianlah saat manusia taat syariat, dan sistem pun sesuai syariat-Nya, maka jargon kesetaraan gender yang dielu-elukan untuk mengangkat harkat martabat perempuan mustahil akan mengantarkan kaum perempuan meraih kehormatan hakiki. Ide sesat kesetaraan gender akan semakin menenggelamkan kaum perempuan dalam kehancuran.  Alih-alih menempati derajat kemuliaan, kesetaraan gender malah menempatkan perempuan  sebagai  tumbal untuk menutupi kebobrokan kapitalisme yang senantiasa mendzalimi dan merusak manusia, tidak luput juga mendzalimi dan merusak kemuliaan perempuan yang seharusnya dijaga.


Wallaahu a'laam bisshawaab.

Post a Comment

Previous Post Next Post