Dikutip dari IDN Times, Deputi Direktur Amnesty Internasional Indonesia, Widya Adiwena menilai hukum di Indonesia semakin lemah. Pasalnya, kriminalisasi kerap terjadi, terutama dari aparat kepada masyarakat yang melakukan aksi unjuk rasa. Tak hanya itu, pelanggaran hukum juga mencangkup kebebasan berekspresi masyarakat terancam, kekerasan oleh aparat kepada massa aksi, dan juga penyiksaan kepada para tahanan.
Pelanggaran demi pelanggaran menjadi bukti bahwa hukum yang dirumuskan nyatanya tidak sejalan dengan penerapan di lapangan. Tak heran jika istilah "Hukum Tumpul ke Atas, Tajam ke Bawah" menjadi kalimat umum di tengah-tengah masyarakat. Nafsu sekulerisme yang siap melakukan apa saja demi pelanggengan kekuasaan berujung pada ketidakjelasan posisi hukum bagi masyarakat. Hanya yang berkuasa yang mendapatkan hak hukum di negara kapitalisme. Rakyat biasa seakan-akan bukan hal yang perlu dipusingkan. Pelanggaran HAM menjadi hal biasa dalam penerapan kapitalisme.
Berbanding terbalik dari kecacatan ini, Hukum yang diterapkan dalam daulah islamiyah justru menjadi jaminan kesejahteraan dan keamanan bagi masyarakat di dalamnya. Sistem hukum islam secara jelas memposisikan kedudukan pelaku dan korban. Memberi sanksi yang pantas guna memcegah dan memberi efek jera bagi pelaku. Mengantisipasi kejadian serupa terulang untuk kesekian kalinya. Dan yang pasti, mencegah masyarakat dan pejabat dari pelanggaran hukum syara'.
Hukum Islam yang lahir atas dasar ketundukan pada sang _khaliq_ menjadi bukti keberhasilan dalam peradaban umat manusia. Kesejahteraan dan keamanan bukan hal utopis yang diimpikan masyarakat. Oleh sebab itu, penerapan islam kaffah menjadi langkah awal perwujudan hukum yang adil kepada seluruh lapisan masyarakat. Sebab islam memiliki sistem sanksi yang tegas dan tanpa pandang buluh.
Post a Comment