Oleh : Tuti Kurniati
Pada bulan Ramadan 1445 Hijriah, ketika umat Islam merayakan kemenangan spiritual dan keberkahan, terdapat berita remisi narapidana di Indonesia yang dinilai kurang efektif dalam kebijaksanaan pemerintahnya. Salah satu pembahasan berita tersebut yang paling menyoroti adalah narapidana korupsi Kartu Tanda Penduduk Elektronik (e-KTP), Setya Novanto, kembali mendapatkan remisi khusus, bersama dengan 240 narapidana korupsi lainnya di Lapas Sukamiskin, Bandung. Keputusan ini memunculkan pertanyaan mendalam tentang prinsip keadilan, efektivitas sistem pidana, dan tanggung jawab negara terhadap kesejahteraan masyarakat.
Pemberian remisi pada narapidana merupakan kebijakan yang seharusnya mencerminkan nilai-nilai keadilan dan pemulihan. Negara memberikan remisi sebagai bentuk penghargaan kepada mereka yang telah menunjukkan perbaikan perilaku dan kesiapan untuk kembali menjadi bagian yang bermanfaat bagi masyarakat. Namun, dalam kasus seperti ini, di mana korupsi telah merugikan masyarakat dalam skala besar, pertanyaan muncul apakah pemberian remisi adalah langkah yang tepat.
Sebagai data yang disampaikan menunjukkan, jumlah narapidana dan anak binaan yang mendapatkan remisi khusus Lebaran mencapai angka yang signifikan. Namun, pertanyaan etis muncul ketika kita menyadari bahwa di antara mereka ada yang terlibat dalam kasus korupsi, sebuah tindakan kejahatan yang merugikan banyak orang dan mencoreng nama baik pemerintah. Apakah memberikan diskon masa tahanan kepada para pelaku korupsi sejalan dengan prinsip keadilan? Apakah ini mencerminkan tanggung jawab negara untuk menjaga keadilan bagi semua warga?
Selain pertanyaan tentang keadilan, aspek lain yang perlu dipertimbangkan adalah dampak ekonomi dari kebijakan remisi ini. Menurut data, negara berhasil menghemat sejumlah besar uang dengan memberikan remisi kepada hampir 200 ribu narapidana dan anak binaan. Namun, pertanyaannya adalah apakah penghematan ini sebanding dengan kerugian yang ditimbulkan oleh tindakan korupsi yang dilakukan oleh sebagian dari mereka yang menerima remisi?
Selain itu, perlu juga dipertimbangkan dampak sosial dari kebijakan remisi yang tidak proporsional. Memberikan remisi kepada pelaku korupsi dapat memperkuat persepsi bahwa elit politik dan orang berduit dapat lepas dari hukuman dengan mudah, sementara rakyat biasa harus bertanggung jawab penuh atas tindakan mereka. Hal ini dapat merusak kepercayaan masyarakat terhadap institusi hukum dan pemerintah secara keseluruhan.
Sementara itu, dalam konteks yang lebih luas, pemberian remisi yang tidak proporsional juga dapat membahayakan efektivitas sistem hukum secara keseluruhan. Ketika pelaku kejahatan, terutama yang terlibat dalam tindak pidana korupsi, merasa bahwa mereka dapat dengan mudah lolos dari hukuman atau mendapatkan diskon yang signifikan, hal itu dapat mengurangi efektivitas sanksi sebagai penangkal tindak kejahatan.
Namun, dalam mengkritisi kebijakan remisi ini, penting untuk mempertimbangkan bahwa sistem hukum yang diberlakukan pemerintah tidak selalu baku dan cenderung berubah-ubah. Hukum, sebagai produk manusia, memiliki keterbatasan dan dapat mengalami perubahan seiring waktu. Namun, hal ini tidak boleh dijadikan alasan untuk mengabaikan prinsip keadilan dan tanggung jawab negara terhadap kesejahteraan masyarakat.
Sebagai negara dengan mayoritas penduduk yang beragama Islam, Indonesia juga memiliki tanggung jawab untuk menjalankan nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan yang diajarkan oleh agama Islam. Dalam Islam, kesejahteraan dan keadilan adalah prinsip yang sangat penting. Negara memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa keadilan ditegakkan dan kesejahteraan masyarakat dijamin.
Dalam perspektif Islam, hukuman tidak hanya berfungsi sebagai pemenuhan atas keadilan, tetapi juga sebagai upaya untuk menumbuhkan efek jera. Islam telah mengatur sanksi yang tegas dan khas sebagai bentuk konsekuensi atas pelanggaran hukum. Namun, sanksi tersebut juga dimaksudkan untuk memperbaiki perilaku dan menghindarkan individu dari tindakan kejahatan di masa depan.
Dengan demikian, penting bagi negara untuk memastikan bahwa kebijakan hukum yang diterapkan tidak hanya mempertimbangkan aspek penghematan biaya atau kebijakan administratif semata, tetapi juga prinsip keadilan, efektivitas sistem hukum, dan tanggung jawab terhadap kesejahteraan masyarakat. Remisi yang diberikan haruslah proporsional dan mempertimbangkan berbagai aspek, termasuk tingkat keparahan kejahatan yang dilakukan oleh narapidana yang bersangkutan.
Di samping itu, penting bagi negara untuk terus meningkatkan sistem hukumnya agar lebih adil, efektif, dan sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan yang diajarkan oleh agama dan budaya lokal. Dengan demikian, negara dapat memenuhi tanggung jawabnya untuk menjaga keadilan, memastikan perlindungan bagi semua warga, dan menciptakan masyarakat yang lebih aman, adil, dan sejahtera.
Tentunya jika kita berpegang teguh dengan hukum buatan manusia pasti menemukan kecacatan yang akan terus menerus ada dan selalu dikritisi. Hal tersebut tentu berbeda dengan hukum yang dibuat oleh Allah SWT sebagai pencipta seluruh alam semesta. Maka sebagai seorang muslim kita senantiasa terus mengingatkan masyarakat dan negara untuk melanjutkan kehidupan islam sebagai perisai kehidupan seluruh umat di dunia.
Wallahu a’lam bi ash-shawab.
Post a Comment