Lahan Masyarakat Menjadi Korban, Solusi Tidak Hanya Sekedar Ganti Rugi Lahan


Oleh : Siti Rukayah 


Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Agus Harimurti Yudhoyono mengungkapkan bahwa lahan seluas 2.086 hektare di Ibu Kota Negara atau IKN Nusantara masih bermasalah. Hal itu ia ungkapkan ketika berada di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Rabu (24/4/2024).

Selain itu, AHY juga menyebutkan bahwa lahan itu masih dihuni oleh masyarakat setempat sehingga pemerintah perlu melakukan pembebasan lahan melalui sejumlah mekanisme, termasuk ganti rugi.

“Kita menyoroti ada bidang-bidang tanah, utamanya 2.086 hektar yang saat ini belum bisa dikatakan clear untuk bisa digunakan untuk pembangunan IKN. Jadi ada beberapa lokasi yang memang masih ada masyarakatnya,” kata AHY di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Rabu (24/4/2024).

Terkait permasalahan lahan seluas ribuan hektare tersebut, sebelumnya telah disampaikan kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam rapat terbatas di Istana.

Sebagaimana yang telah diarahkan Jokowi, dalam proses pembebasan lahan semestinya menggunakan pendekatan yang baik. Tidak boleh ada satupun masyarakat yang menjadi korban dan merugi tanpa perlindungan.

“Di sinilah tentu kita ingin percepatan tapi tidak ingin grasak grusuk. Kita ingin semua tahapannya dilakukan dengan baik, pendekatannya humanis, dan Insya Allah dengan itu tidak menyisakan masalah di kemudian hari dan OIKN bisa menjalankan tugasnya dengan baik,” ujar AHY.

Dalam penyelesaian problem tersebut ditetapkan dengan pembayaran ganti rugi untuk meredam perkara tersebut. Sebagai informasi, pembayaran ganti rugi lahan proyek strategis nasional (PSN) termasuk IKN akan dilakukan oleh Lembaga Manajemen Aset Negara (LMAN). Selain itu, sebagai upaya penyelesaian, AHY juga telah berkoordinasi dengan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Pandjaitan.

Menelaah terkait proyek IKN sejauh ini, faktanya membawa berbagai dampak permasalahan dalam proses pembangunannya. Bagi masyarakat lokal, terkait lahan tertentu yang dialihfungsikan sejatinya tidak hanya cukup dengan sekedar ganti rugi lahan. Apalagi yang terjadi adalah perampasan ruang hidup atas mereka. Namun masyarakat kerap kali tidak menyadarinya.

Dalam penerapan sistem Islam, ketika proses pemindahan dan pembangunan ibukota, tidak akan  menyisakan persoalan. Di dalam Islam, akan senantiasa mengupayakan untuk meminimalkan terjadinya konflik lahan dengan penduduk, khususnya jika lahan tersebut adalah milik pribadi. Hal tersebut berkenaan dengan aturan Islam perihal kepemilikan pribadi/individu yang sangat dihormati oleh Islam, sehingga haram untuk merampasnya begitu saja.

Jika Khilafah hendak membeli lahan tersebut, hal itu dibolehkan. Namun, jika pemiliknya tidak mau menjualnya, Khilafah tidak boleh memaksa meski dengan tawaran ganti rugi berjumlah fantastis.

Rasulullah Saw. bersabda, “Barang siapa mengambil sejengkal tanah dengan zalim, maka Allah akan mengalungkannya pada hari kiamat setebal tujuh lapis bumi.” (HR Muslim).

Sebagaimana kisah terdahulu ketika menghadapi permasalahan yang serupa, juga bisa diteladani yakni melalui kisah Sultan Muhammad Al-Fatih ketika membangun kota Konstantinopel setelah pembebasannya. Setelah Konstantinopel jatuh, Sultan Muhammad Al-Fatih menuju Hagia Sophia yang didalamnya padat oleh penduduk yang ketakutan. Mereka terdiri dari orang tua, perempuan, dan anak-anak. Di saat itu, Sultan meminta menenangkan mereka dan memerintahkan mereka  kembali ke rumah masing-masing dengan jaminan keamanan dari Sultan. Mereka pun tidak dipaksa masuk Islam.

Hagia Sophia pun tidak diambil, apalagi dirampas dengan semena-mena, melainkan dibeli dengan uang pribadi Sultan, bukan dari dana negara, Baitul mal, atau kekayaan kaum muslim. Kebutuhan Sultan membeli Hagia Sophia adalah keputusan brilian yang akhirnya membungkam suara penentangnya ratusan tahun kemudian, terdapat bukti autentik berupa dokumen atas pembeliannya. Setelah itu, Hagia Sophia dijadikan masjid dan diwakafkan hingga Hari Akhir untuk umat Islam.

Sultan kemudian memindahkan ibu kota Utsmani ke Konstantinopel dan mengganti namanya menjadi  Islambol (penuh dengan Islam). Beliau membangun Konstantinopel dan menjadikannya sebagai pusat peradaban. Beliau membangun 300 masjid, 57 madrasah, serta 59 tempat pemandian di berbagai wilayah. Beliau memerintahkan para arsiteknya untuk menghias kota dengan taman-taman, juga membangun beragam fasilitas publik.

Itulah penggambaran terkait kondisi yang terjadi dalam sistem Islam, dan hal itu hanya bisa dirasakan ketika menjadikan Islam sebagai satu-satunya aturan yang diterapkan secara kaffah (menyeluruh).

[Wallahu a’lam bisshowab]

Post a Comment

Previous Post Next Post