Kurikulum Merdeka, Generasi Malah Bebas?


Penulis: Virgandhi Youfridha Putri


Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) diperingati setiap tanggal 2 Mei. Seiring peringatan Hardiknas tahun ini, Mei 2024 juga dicanangkan sebagai bulan Merdeka Belajar dan Disdikbud Kaltim menyatakan bahwa Kalimantan Timur berkomitmen untuk melanjutkan Merdeka Belajar.  


Sayangnya, peringatan ini harus bersanding dengan kondisi generasi sekarang yang semakin liberal/ bebas. Generasi penerus bangsa sedang problematik, seperti maraknya kasus bunuh diri yang dilakukan oleh generasi muda. Alasannya bermacam-macam, ada yang karena cinta, terlilit utang, hingga permasalahan keluarga. Masalah lain yang turut menerpa adalah perundungan, perkelahian, perzinaan, narkoba, hingga pembunuhan yang dilakukan pemuda.


Kurikulum Merdeka didefinisikan sebagai desain pembelajaran yang memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk belajar secara mandiri dengan cara yang menyenangkan, santai, tenang, bebas tekanan, dan bebas stres. Struktur kurikulum ini didasari tiga hal, yaitu berbasis kompetensi, pembelajaran yang fleksibel, dan karakter Pancasila.


Kemerdekaan itu sendiri adalah otonomi yang diberikan. Didalam program SMA sekarang tidak ada lagi program peminatan, peserta didik bisa memilih mata pelajaran sesuai minat, bakat, dan aspirasinya. Bagi guru, diberikan hak untuk mundur atau maju di dalam suatu fase sesuai tahap perkembangan capaian murid-muridnya. Sedangkan bagi sekolah, didalam kurikulum ini diberi kewenangan untuk mengembangkan kurikulum sesuai karakteristik satuan pendidikan dan peserta didik. 


Versi kurikulum dimana murid-murid hanya pasif di dalam kelas, mereka bisa aktif. Pembelajaran melalui kegiatan project memberikan kesempatan lebih luas kepada peserta didik untuk secara aktif mengeksplor isu-isu aktual, seperti lingkungan, kesehatan, dan lainnya untuk mendukung pengembangan karakter serta kompetensi Profil Pelajar Pancasila.


Berbagai macam kerusakan generasi ini harusnya menjadi alarm bagi penguasa. Mereka perlu introspeksi untuk menemukan akar masalahnya. Namun, alih-alih menemukan penyebabnya, mereka justru fokus pada peringatan Hari Guru untuk memuluskan program Merdeka Belajar. Wajar jika banyak yang prihatin karena pemerintah tampak tidak serius mengatasi permasalahan generasi. Juga seberat apapun beban amanah yang ada, guru hanya bisa mengikuti titah penguasa. Mereka menjalankan kurikulum yang diputuskan, tidak mampu menolak meskipun menjumpai banyak kesalahan.


Menyoal hal ini, pengamat kebijakan pendidikan Noor Afeefa mempertanyakan, benarkah diluar semua euforia dan “kebaikan” yang diklaim, kebijakan ini akan membawa kemajuan bagi pendidikan kita dan mengantarkan perubahan besar bagi bangsa yang tengah dirundung banyak masalah ini?


Ditengah optimisme menjadikan Kurikulum Merdeka sebagai Kurikulum Nasional, seharusnya Negara mengevaluasi kurikulum ini terhadap generasi. Jika kita cermati kelemahan (kecacatan) Kurikulum Merdeka yang paling mendasar adalah asas berdirinya kurikulum. Secara paradigmatik, kurikulum ini cacat karena berasas sekularisme kapitalisme.


Tampak dari generasi hari ini jauh dari generasi berkualitas, bertakwa, dan berkarakter mulia. Potensi dan kreativitas peserta didik/generasi dikembangkan namun di jauhkannya pembentukan kepribadian Islami dalam tujuan pendidikan dan minimnya tsaqafah Islam dalam setiap jenjang implementasi kurikulum lewat moderasi agama.


Berbeda dengan Islam, Islam memandang generasi sebagai aset besar bagi bangsa dan negara. Mereka adalah calon pemimpin masa depan yang akan menyebarluaskan Islam keseluruh penjuru dunia. Dalam hal ini, Islam memiliki konsep khusus untuk mewujudkan generasi emas yang berkepribadian Islam. Islam mampu melahirkan generasi yang cerdas nan beradab.


Adapun kurikulumnya, pendidikan Islam dibangun berdasarkan akidah Islam. Pelajaran dan metodologinya diselaraskan dengan asas tersebut. Sistem pendidikan tersebut sepaket dengan sistem lainnya dalam Daulah Khilafah Islamiyah. Contohnya, pada tingkat dasar, anak-anak akan ditanamkan tentang akidah Islam agar paham mana yang benar dan salah. Pada tingkat tinggi, baru diberikan soal pendidikan yang mengandung

hadharah. Ini agar pemahaman generasi dari hadharah yang bertentangan dengan Islam, dapat terjaga.


Dalam Islam guru agar dapat tugasnya dengan baik dan profesional diberi fasilitas pelatihan untuk meningkatkan kompetensi, sarana dan prasarana yang menunjang metode dan sarana belajar, serta jaminan kesejahteraan sebagai tenaga profesional. Gaji dan karya pun dihargai. Pada masa Khalifah Umar bin Khaththab, misalnya, gaji guru mencapai 15 dinar (1 dinar setara 4,25 gram emas). Jadi, guru pun akan berupaya sebaik mungkin untuk menjalankan tugasnya sebagai pendidik dan menjalankan amanahnya dengan baik. 


Pada saat yang sama, Islam juga mengajarkan murid untuk menghormati guru mereka. Hanya saja, semua hal tersebut dapat terlaksana jika aturan Islam diterapkan dalam hal pendidikan serta aspek yang lain. Penerapan Islam secara menyeluruh ini juga perlu dukungan negara yang menerapkan syariat Islam kaffah, yaitu Khilafah. Wallahu alam

Post a Comment

Previous Post Next Post