Kriminalitas Kronis, Buah Dari Sistem Sekuler!


Oleh: Asham Ummu Laila

(Relawan Opini Andoolo, Konawe Selatan)



Sungguh sedih dan miris kondisi emosional manusia saat ini, melihat penayangan dan banyaknya pemberitaan yang berseleweran di berbagai media masa perihal penyiksaan, penistaan, penganiayaan, bahkan pembunuhan sering terjadi dengan mudah, yang awalnya karena marah, tersinggung, faktor ekonomi, dan faktor-faktor pemicuh lainnya. 


Seperti pembunuhan mutilasi yang dilakukan oleh seorang suami berinisial TR kepada istrinya yang berinisial YN di dusun Sindangjaya kecamatan Rancah, kabupaten Ciamis ( Republika, 3/5/2024).


Juga seorang pelajar menjadi korban penganiayaan senior yang berujung kematian, terjadi di sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran (STIP) Marunda Jakarta utara (Tirto.id, 4/5/2024). Lebih sadis lagi pembunuhan yang terjadi sebelumnya, yaitu ditemukan jasad seorang wanita berusia 50 tahun di dalam koper hitam di jalan inspeksi Kalimalang, Cikarang, Kabupaten Bekasi (CNN Indonesia, Kamis 25/4/2024).


Maraknya jumlah kasus pembunuhan secara sadis terjadi di beberapa daerah belakangan ini, sedikit banyak menggambarkan kondisi emosional orang-orang saat ini semacam tidak sehat. Mereka melampiaskan kekesalan, kemarahan, dendam, sakit hati, dan depresi seakan tidak cukup jika dengan kata-kata saja hingga sampai menghilangkan nyawa. Mirisnya korban terkadang orang-orang terdekat mereka. 


Kondisi kehidupan masyarakat yang jauh dari rasa aman, sebenarnya hasil dari penerapan sebuah sistem rusak, sistem lemah buatan manusia yang penuh dengan kekurangan yaitu sistem sekularisme, yang memisahkan aturan agama dari kehidupan dan selalu meniscayakan dan memprioritaskan kepuasaan materi dan jasmani semata dengan melakukan berbagai macam cara. Sistem ini juga melahirkan sifat individualisme, tidak peduli dengan apa yang akan menimpa atau yang akan dirasakan orang lain. Pemahaman inilah yang meyebabkan tidak terkendalinya emosi seseorang ketika mengingini sesuatu. 


Paham sekulerisme  juga membuat  sistem pendidikan hanya melahirkan manusia berkepribadian dan berwatak rusak sebab orientasi pendidikannya pun adalah materi  sehingga melahirkan sosok penggila materi yang sering memaksakan kehendak dalam memenuhi apa yang diinginkannya. Hal inilah yang akhirnya mendorong seseorang untuk melakukan tindakan  kriminal dan kejahatan.


Ditambah sanksi dalam sistem sekulerisme tidak menjadikan pelaku kejahatan jera, sekalipun hukum itu diberlakukan. Yang ada kejahatan semakin marak bahkan parahnya dijadikan contoh dan inspirasi baru bagi yang lain untuk melakukan kiriminal atau kejahatan. Jadi sejatinya selama sistem sekularisme ini dipakai dalam mengatur kehidupan manusia maka peluang akan maraknya terjadi kerusakan, kejahatan, dan kriminalitas dalam kehidupan masyrakat akan semakin bertambah luas  sehingga rusaknya kehidupanpun akan semakin parah.


Berbeda dengan sistem aturan yang berasal dari sang pencipta manusia, yang menguasai segala sesuatu dan maha benar yanitu sistem Islam, yang menetapkan bahwa tujuan hidup manusia adalah untuk taat kepada sang pencipta yaitu Allah Swt dengan mengikatkan diri terhadap aturanNya (Qs. Az-Zariyat: 56), yang terjemahannya; “Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya  beribadah kepadaku).


Maksud dari beribadah dalam ayat ini tidak hanya diartikan sebagai ibadah mahda (shalat, zakat, puasa, dan berhaji) saja melainkan ibadah dalam arti luas yaitu taat kepada seluruh aturan Allah Swt termasuk dalam hal muamalah (keluarga, ekonomi, politik, dan pendidikan). Karena itu sistem Islam memiliki sistem pendidikan yang memberikan dan menanamkan pemahaman bahwa tujuan penciptaan manusia adalah untuk tunduk dan patuh terhadap aturan sang pencipta. 


Karena itu, dalam Islam  setiap  aktivitas manusia bisa menjadi ibadah sepanjang aktivitas tersebut terikat dengan hukum Allah sang pencipta. Kurikulum sisitem pendidikan Islam berbasis akidah Islam sehingga output peserta didik diharuskan memeliki kepribadian Islam yang bersandar pada keimananNya, yaitu memiliki pola pikir (aqliyah) dan  pola sikap (nafsiyah) sesuai dengan tuntunan Islam.


Sehingga ketika peserta didik menjadi bagian dari masyarakat mereka berusaha mengontrol diri dengan keimanan dan pemahamannya menjaga diri dari tindakan kriminal dan kejahatan serta segala bentuk perbuatan dosa. Mereka akan menebar kebaikan, akan perduli kepada sesama saling menolong dalam berbuat baik dan mencegah dalam berbuat kerusakan. Dengan demikian interaksi dalam masyarakat akan dipenuhi dengan kebaikan dan jauh dari keburukan.


Selain itu sistem sanksi dalam Islam akan membuat para pelaku kejahatan akan jera. Dalam Islam pelaku penganiayaan dan pembunuhan akan diberi sanksi jinayat yaitu Qishas (QS. Al-Baqarah ayat: 178-179), Allah menjelaskan sanksi qishas akan menjaga nyawa manusia di muka bumi. Sistem sanksi ini akan berdampak sebagai penebus dosa (jawabir) dan pencegah (zawajir). Jika seorang pembunuh akan diberi hukuman setimpal dengan perbuatannya yaitu dibunuh maka akan menjadi penebus dosa bagi pelaku dan menjadi pencegah bagi yang lain untuk tidak melakukan kejahatan yang sama. Hingga kejahatan dalam masyarakat akan berkurang. Penjagaan ini dapat terwujud hanya dengan diterapkannya sistem Islam secara sempurnah (kaffah) di bawah naungan daulah khilafah Islam. Wallahu’alam Bishawab.

Post a Comment

Previous Post Next Post