(Pegiat Literasi)
Beberapa waktu lalu telah diperingati Hari Buruh Internasional di berbagai negara, tidak terkecuali Indonesia. Negara Indonesia sendiri menetapkan tanggal 1 Mei sebagai libur nasional. Hal ini berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia (Keppres RI) Nomor 24 Tahun 2013. Hari Buruh diperingati dengan tujuan untuk mengingat perjuangan para buruh dalam memperjuangkan hak-hak mereka dan membangun kebersamaan antar pelaku hubungan industrial agar terjalin hubungan yang lebih harmonis secara nasional, dikutip tirto.id, Jumat (26/04/2024).
Hari buruh Internasional sendiri berawal dari aksi demonstrasi para buruh di Chicago, Amerika Serikat, pada tahun 1886. Para buruh menuntut jam kerja 8 jam per hari, 6 hari seminggu, dan upah yang layak. Aksi ini kemudian diwarnai dengan kerusuhan dan tragedi Haymarket Affair.
Setiap tahun, Organisasi Buruh Internasional (ILO) menetapkan tema Hari Buruh Internasional berdasarkan isu global yang sedang hangat diperbincangkan yaitu tingkat pengangguran global yang tinggi dan kesenjangan sosial yang makin melebar. Selaras dengan hal itu maka tema hari Buruh Internasional tahun 2024 adalah " Social Justice and Decent Work For All".
Peringatan Hari Buruh yang diadakan setiap tahunnya ternyata tidak membawa dampak yang signifikan. Permasalahan yang sama terus terjadi berulang tanpa solusi. Dari mulai upah rendah, kerja tak layak, hingga maraknya PHK dan sempitnya lapangan kerja. Dilansir cnnIndonesia.com, Jumat (26/04/2024), sebuah survei menunjukkan sebanyak 69 persen perusahaan di Indonesia menyetop merekrut karyawan baru pada 2023 lantaran khawatir adanya pemutusan hubungan kerja (PHK). Survei tersebut berdasarkan laporan Talent Acquisition Insights 2024 oleh Mercer Indonesia. Tiga sektor di Indonesia yang membekukan perekrutan pekerja yaitu Industrial Perbankan, Perhotelan, dan Farmasi. Pada tahun yang sama, 23 persen perusahaan di Tanah Air melakukan PHK, sementara rata-rata global sebesar 32 persen.
Persoalan buruh akan terus terjadi meski tiap tahun tema yang di usung diangkat dari persoalan yang terjadi secara global. Para buruh saat ini masih memperjuangkan hak-haknya, membela kepentingannya dan berusaha menyalurkan inspirasinya demi bisa menghasilkan kebijakan yang memihak kepada mereka. Namun, tidak pernah didengar oleh penguasa.
Nasib buruh kian terpuruk, dari adanya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), upah minimum tak seberapa, polemik jaminan hari tua yang dicairkan pada usia 56 tahun, sistem outsourcing, hingga UU Cipta Kerja (Omnibus Law), kerja buruh semakin terzalimi.
Tanggal 1 Mei biasa dilakukan peringatan buruh setiap tahunnya. Kenaikan upah menjadi pion utama dalam setiap aksinya, namun tidak pernah ada penyelesaian. Sebab, dalam sistem ekonomi kapitalisme upah dijadikan sebagai faktor produksi. Jika ingin meraih keuntungan yang besar, maka upah harus ditekan sekecil mungkin. Keuntungan akan sedikit jika upah terlalu tinggi, karena upah masuk ke dalam ongkos produksi.
Undang-undang Omnibus Law merumuskan aturan upah, agar terciptanya rumusan upah yang produktif. Namun hasilnya selalu bertengger pada upah yang minim. Alhasil, ketika kenaikan berbagai bahan pokok melambung, para buruh adalah pihak yang paling besar terkena dampaknya. Kezaliman dirasakan juga karena pemerintah mengeluarkan regulasi untuk memberikan izin para pengusaha untuk memotong upah buruh. Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (permenaker) no. 5/2023, dalam pasal 7 ayat 1 berbunyi, "Perusahaan Industri Padat Karya tertentu berorientasi ekspor yang berdampak perubahan ekonomi global dapat melakukan penyesuaian besaran upah pekerja/buruh paling sedikit 75% dari upah yang biasa diterima". Peraturan ini berdampak pada pengusaha untuk melakukan pembatasan kegiatan dan menyesuaikan pembayaran upah. Tampak secara nyata, regulasi pemerintah ini melegalkan para pengusaha kapitalis memotong upah buruh, dan pemerintah lebih berpihak kepada kapitalis dibandingkan para buruh. Sejatinya, penguasa lebih membela pengusaha. Hal ini lumrah terjadi dalam sistem Kapitalisme. Penguasa dalam kendali dan tunduk pada pengusaha kapitalis. Para kapitalis telah membiayai para penguasa hingga sampai tampuk kepemimpinan, akibatnya setiap kebijakan penguasa akan mengikuti kepentingan pengusaha kapitalis. Rakyat hanya sebagai objek yang harus taat pada aturan, walaupun membuat hidup mereka sengsara.
Sangat berbanding jauh dengan sistem Islam. Sebagai agama yang sempurna, Islam memiliki pandangan hidup yang khas dan unik tentang kehidupan. Semua permasalahan hidup akan terselesaikan dengan tuntas. Termasuk cara pandang tersendiri dan aturan untuk permasalahan upah buruh. Pekerja dan pemberi upah memiliki akad yang jelas, seperti besarnya upah, jam kerja, jenis pekerjaannya. Dengan demikian semua berjalan secara harmonis dan adil diantara keduanya. Para pekerja mendapatkan upah sesuai dengan pekerjaannya karena upah bukan ditentukan dengan perhitungan biaya pokok.
Dalam sistem ekonomi Islam, negara menjadi pelayan/pengurus masyarakat (raa'in). Negara wajib memastikan kebutuhan primer seperti pangan, sandang, dan papan terpenuhi individu per individu. Kebutuhan sekunder dan tersier sesuai kadar kemampuannya yang hidup dalam masyarakat dengan mekanisme pasar yang sesuai Syariat.
Pemerintah dalam Islam akan mengelola sumber daya alam yang termasuk dalam kepemilikan umum di negeri ini tanpa lepas tangan menyerahkan pada pihak swasta apalagi asing. Dengan pengelolaan ini, menjadikan negara mandiri dan berdaulat. Kesejahteraan akan dapat diperoleh para buruh karena negara menjamin kebutuhan pelayanan umum seperti pangan, listrik, pendidikan, dan kesehatan dari hasil sumber daya kepemilikan umum.
Berdasarkan hal di atas, maka dapat disimpulkan bahwa hanya dengan diterapkannya sistem Islam, kesejahteraan para buruh dapat terjamin. Bukan sistem Kapitalisme yang menjadikan kesejahteraan parah buruh sebatas fatamorgana saja.
Wallahu'alam Bishowab
Post a Comment