Oleh Intan A.L
“Ilmu tanpa diamalkan, ibarat pohon yang tidak berbuah” (Anonim).
Motivasi untuk membagikan ilmu, dan kemudian memilih profesi sebagai pengajar, barangkali itulah yang melahirkan para guru dan dosen di sekitar kita. Semangat dan niat yang tulus untuk mendidik generasi demi kebangkitan negerinya. Namun, realita tak selalu seindah doa-doa. Faktanya, hari ini gaji seorang dosen cukup memprihatinkan. Hasil penelitian Serikat Pekerja Kampus (SPK) menyatakan bahwa mayoritas dosen menerima gaji bersih kurang dari Rp 3 juta pada kuartal pertama 2023, sedangkan dosen universitas swasta 7x lebih rentan mendapat gaji bersih kurang dari Rp 2 juta (www.tempo.co, 02/05/2024).
Rendahnya perhatian terhadap kesejahteraan dosen menggambarkan rendahnya penghargaan bagi pekerjaan yang mempengaruhi masa depan bangsa ini. Hal ini sangat memprihatinkan dan perlu diperbaiki. Apalagi profesi dosen menyebarkan ilmu dan membangun karakter mahasiswa yang kelak menjadi calon pemimpin masa depan. Sayangnya peran penting itu tidak dibarengi jaminan hidup yang sesuai dengan beban kerja dan kualifikasi yang mereka miliki. Lantas kenapa hal ini bisa terjadi?
Standar manfaat dalam sudut pandang sistem kapitalis berlaku dua arah. Posisi dosen tampak seperti komoditas dagangan dimana dengan modal sekecil mungkin mendapat keuntungan sebesar mungkin. Sebagaimana besarnya dedikasi mereka namun dihargai seminimal mungkin. Pola pikir kapitalis bertumpu pada pemilik modal yang bertujuan meraup keuntungan, sedangkan jaminan kesejahteraan pengajar dan pendidik bukan transaksi menguntungkan sehingga tidak heran minim perhatian. Hal ini bisa dilihat dari rendahnya gaji pendidik dengan profesi lain yang dianggap menguntungkan di permukaan, terlepas bagaimana dampaknya bagi generasi mendatang. Alhasil, kapitalisme tidak akan mengakomodir kesejahteraan bagi para pendidik sampai kapanpun.
Islam justru memberikan perhatian yang sangat besar pada dunia pendidikan. Sejarah mencatat, pada masa kekuasaan Umar bin Khattab, ada tiga pengajar anak-anak di Madinah. Mereka digaji sebanyak 15 dinar (63,75 gr emas) setara Rp 84.999.978 setiap bulannya. Pada masa kekuasaan Shalahuddin al Ayyubi, guru di madrasah Shalahiyuah mendapat gaji 40 dinar (170 gr emas)/bulan setara Rp. 226.666.610. Besarnya perhatian penguasa kepada para pengajar sangat luar biasa. Mereka sungguh memahami besarnya pengaruh dan pentingnya menjamin kesejahteraan guru demi melahirkan generasi yang berkualitas. Terlebih, dosen adalah posisi strategis yang akan lebih dijunjung dan dijamin kesejahteraannya.
Ilmu adalah hal yang berharga sebab dari sanalah terbentuk manusia berbudi luhur dan berkepribadian Islam yang tangguh. Oleh sebab itu, seorang penguasa sudah sepatutnya memperhatikan urusan pendidikan ini dengan layak. Rasulullah saw. bersabda, "Imam adalah pemimpin yang akan dimintai pertanggung jawaban atas rakyatnya.” (HR. Bukhari)
Kitab Al-Ahkaam karya Imam Ibnu Hazm menjelaskan bahwa imam/khalifah berkewajiban untuk memfasilitasi berbagai sarana pendidikan baik sistem dan upahnya. Sejarah juga mencatat bagaimana Islam sangat menghargai keberlangsungan pendidikan yang mumpuni. Perpustakaan-perpustakaan dibangun bahkan universitas pertama di dunia berasal dari tangan muslimah yakni Fatimah al-Fihri, yang mendirikan Universitas Al Qarawiyyin di Maroko pada tahun 859 M lebih tua 1 abad dibandingkan Universitas Al-Azhar Mesir yang didirikan 972 M.
Namun, tentu kesejahteraan dosen tak akan dapat terwujud jika sistem yang diterapkan masih sistem rusak yang hanya berorientasi pada materi. Kapitalisme barat yang dipaksakan di dunia Islam faktanya hanya memberikan kesengsaraan termasuk bagi para pengajar dan dosen. Oleh sebab itu, kita harus kembali kepada syariat Islam yang agung dan sempurna baik secara individu, kolektif dan pemerintahan, sebab Islam satu-satunya aturan yang memuliakan profesi pendidik dan pengajar.
Wallahu a’lam bishshawab
Post a Comment