(Relawan Opini)
Uang Kuliah Tunggal disingkat UKT di berbagai perguruan tinggi mengalami kenaikan. Imbas setelah diterbitkannya Keputusan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) tahun 2024. Langkah pemerintah tersebut menuai protes serta menjadi bahan perdebatan.
Protes UKT
Di Unsoed, mahasiswa baru mengajukan keberatan atas kenaikan UKT hingga 100%. Kenaikan ini dianggap tidak masuk akal, dan tentunya mengagetkan. Terlebih baru disampaikan beberapa saat sebelum daftar ulang (Kompas, 3-5-2024).
Saat ini, tidak hanya Unsoed yang UKT-nya naik. UGM, UKT, UI dan ITB juga ikut menaikkan besaran UKT bagi mahasiswa baru. Untuk ITB, besaran UKT-nya pun beragam, paling rendah Rp500.000 dan paling tinggi Rp14.500.000. Mereka yang masuk mandiri juga membayar iuran pembangunan institusi (IPI) sebesar Rp125 juta. Pihak kampus mengeklaim kenaikan ini untuk meningkatkan kualitas kampus. (Tempo, 3-5-2024).
Kapitalisasi Pendidikan
Akar masalah mahalnya biaya perguruan tinggi ini berawal dari kebijakan pemberian otonomi kampus yang makin besar pada tahun 2012. Saat itu pemerintah menerbitkan UU No.12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi yang mengatur perubahan status PTN menjadi PTN Berbadan Hukum (PTN-BH).
Perubahan status ini memiliki konsekuensi baru yakni PTN tidak lagi mendapatkan biaya pendidikan secara penuh dari pemerintah. Alhasil, PTN harus mencari pembiayaan sendiri untuk operasional kampus. Salah satunya menaikkan UKT.
Masalah ini menunjukkan bahwa PTN tidak lagi sebagai lembaga pendidikan murni. Namun telah menjadi sebagai ladang bisnis. Sejalan dengan konsep triple helix, yakni penggabungan tiga unsur (pemerintah, pendidikan, dan bisnis). Konsep ini lahir dari kapitalisme. Sistem aturan yang mementingkan keuntungan materi dan sekulerisme. Jadilah, pendidikan dikomersialisasi.
Pendidikan adalah hak semua anak bangsa. Memberi pendidikan terbaik adalah kewajiban negara, guru dan orang tua. Memudahkan pendidikan adalah tanggung jawab pemerintah. Namun, kini anak bangsa jika ingin melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi, terbebani dengan mahalnya biaya UKT. Inilah efek dari racun bernama kapitalisme yang tersistem.
Pendidikan dalam Sistem Islam
Sungguh tidak mungkin berharap problem tingginya biaya pendidikan bisa selesai dengan mempertahankan sistem kapitalisme. Satu-satunya solusi ialah kembali pada sistem Islam.
Islam memandang bahwa pendidikan merupakan kebutuhan dasar rakyat. Dan pemerintah wajib menjamin setiap rakyat mendapatkan pendidikan. Islam mempunyai konsep pendidikan harus merata dan tidak mahal sehingga masyarakat tidak perlu mengeluarkan biaya banyak untuk menempuh PT bahkan pendidikan bisa gratis.
Hal ini bisa terjadi karena dalam sistem Islam menggunakan konsep keuangan Islam untuk mendapatkan pemasukan yang besar. Baitulmal akan menjadi penyelenggara keuangan yang akan mengatur pemasukan dan pengeluaran, termasuk biaya pendidikan. Kas baitulmal diperoleh dari pembayaran jizyah, kharaj, fai, ganimah, pengelolaan SDA, dan lainnya.
Jadi, negara tidak perlu mengambil biaya pendidikan dari rakyat. Apabila baitulmal tidak mampu mencukupi biaya pendidikan, negara akan mendorong kaum muslim untuk menginfakkan hartanya. Jika itu belum cukup, kewajiban pembiayaan untuk pendidikan akan beralih kepada seluruh kaum muslim (yang mampu).
Dalam sejarah peradaban Islam, penyelenggaraan sistem pendidikannya telah menjadi role mode bagi dunia selama belasan abad. Belajar di universitas-universitas Islam di pusat-pusat kota Khilafah saat itu menjadi impian para pelajar dunia. Ada ditemukan dokumen surat yang disampaikan George II, Raja Inggris, Swedia, dan Norwegia kepada Khalifah Hisyam III di Andalusia agar para pangeran dan putri mereka bisa mengenyam pendidikan di wilayah khilafah. Dengan demikian, hanya kembali kepada sistem Islalah yang dapat memberikan pelayanan pendidikan terbaik untuk masyarakat dan umat manusia.
Wallahu a'lam
Post a Comment