Pegawai Swasta
Berita anak-anak menjadi pelaku kriminal bukan lagi menjadi hal asing. Seperti beberapa waktu lalu, dikabarkan pelajar SMP berusia 14 tahun, menjadi pelaku utama pembunuhan dan sodomi terhadap bocah laki-laki berinisial MA, 6 tahun asal Sukabumi. Menurut keterangan pihak berwajib, pelaku mengaku pernah menjadi korban pencabulan atau sodomi. Sukabumi.id
Kasus serupa juga terjadi di pondok pesantren Raudhatul Mujawwidin, Kabupaten Tebo Provinsi Jambi. Santri berinisial AH (13) menjadi korban penganiayaan seniornya yakni AR (15) dan RD (14). Penganiayaan itu berujung pada kematian si korban. Menurut keterangan pihak berwajib, motif penganiayaan tersebut karena pelaku tidak terima korban menagih hutang senilai Rp10 ribu. Detik.com
Dua kasus tersebut hanyalah sebagian dari ribuan kasus. Menurut Direktorat jenderal Pemasyarakatan Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia, kasus anak yang berkonflik dengan hukum menunjukkan tren peningkatan pada periode 2020 hingga 2023. Per 26 Agustus 2023, tercatat hampir 2.000 anak berkonflik dengan hukum. Sebanyak 1.467 anak di antaranya berstatus tahanan dan masih menjalani proses peradilan, sementara 526 anak sedang menjalani hukuman sebagai narapidana. Kompas.id
Fakta ini tentu membuat kita miris, namun inilah output generasi hasil didikan sistem kapitalisme, yakni sistem yang berorientasi pada materi. Akibatnya orang tua menganggap dirinya sebagai pihak pemberi materi. Mereka merasa cukup ketika anak-anak sudah diberi pakaian, makanan, mainan, disekolahkan di tempat favorit, dan sebagainya. Sementara itu, orang tua hanya mengejar materi sebagaimana yang ditanamkan oleh kapitalisme.
Karena tekanan ekonomi, ayah dan ibu sibuk bekerja. Akhirnya anak-anak tidak mendapatkan pendidikan yang benar di dalam rumah. Sementara di sekolah, diarahkan oleh kurikulum sistem pendidikan kapitalisme yang berorientasi materi dan minim nilai agama. Alhasil, anak-anak akan terus diarahkan mengejar prestasi tanpa ada bimbingan akhlak dan ketaatan. Apalagi sistem sanksi kapitalisme tidak membuat pelaku kejahatan jera. Akibatnya, anak-anak pelaku kejahatan semakin marak.
Sangat berbeda dengan sistem Islam. Tatkala menjaga generasi dari kehancuran dan kerusakan, Islam memiliki mekanisme konkrit untuk mencetak generasi yang berkualitas, baik dari segi keimanan, moral, akhlak, dan pengembangan potensi diri. Islam memiliki sistem pendidikan yang mampu dan sudah terbukti menghasilkan generasi berkepribadian Islam bukan kriminal. Keberhasilan ini tidak lepas dari sistem landasan pendidikan Islam yakni akidah Islam.
Salah satu kurikulum pendidikan dasar Islam yaitu harus mampu mencetak generasi yang memiliki kepribadian Islam. Tolak ukur kepribadian Islam ini dilihat dari pola pikir (aqliyah) Islam dan pola sikap (nafsiyah) Islam peserta didik. Kepribadian Islam ini akan mendorong seseorang untuk senantiasa berada ketaatan dan menjauhi kemaksiatan secara sadar. Mentalitas demikian mampu mencegah perilaku keji seperti yang dilakukan oleh santri senior di Jambi.
Bahkan dari sistem pendidikan Islam, terlahir generasi yang siap dan mampu mengemban amanah besar, seperti menjadi orang tua. Mereka akan paham hak dan kewajiban yang harus dijalankan ketika mendidik anak-anaknya kelak, sehingga dari generasi yang berkepribadian Islam akan melahirkan keluarga yang Islami pula.
Selain dari sistem pendidikan, Islam juga memberi perhatian khusus kepada keluarga. Islam memandang keluarga sebagai fondasi awal sebuah peradaban. Karena kualitas generasi pertama kali ditentukan oleh keluarga. Islam mewajibkan ibu menjadi sekolah pertama dan pendidik pertama bagi anak-anaknya. Didikan yang berlandaskan syariat Islam, akan membentuk anak-anak yang saleh dan salehah.
Pembentukan ini semakin kuat, karena Islam mewajibkan seorang ayah menjadi qawwam (pemimpin) keluarga. Sinergitas peran ayah dan ibu akan memberi dampak yang sangat besar bagi pendidikan anak-anak. Keamanan anak-anak juga akan terjamin, karena Islam memiliki sistem sanksi (uqubat) yang tegas.
Dalam Islam, pelaku kejahatan diberi sanksi selama mereka sudah baligh. Islam tidak mengenal pembatasan usia berdasarkan umur, seperti usia di bawah 18 tahun dikategorikan anak-anak dan usia di atas 18 tahun dikategorikan dewasa. Islam hanya mengenal pembatasan usia berdasarkan usia baligh. Kemudian, penganiayaan berujung pembunuhan mendapat sanksi qishash. Pelaku sodomi mendapatkan had liwath yakni dijatuhkan dari tebing atau tempat tinggi di daerah tersebut. Alhasil pelaku sodomi tidak akan melahirkan pelaku baru sebagimana yang terjadi di Sukabumi. Hanya saja, konsep-konsep yang demikian hanya akan terwujud jika keluarga, masyarakat, dan negara menerapkan sistem Islam secara kafah dalam kehidupan.
Wallahu a'lam bishshawab
Post a Comment