Anak Berbuat Kriminal, Tanggung Jawab Siapa?




Oleh Ana Ummu Rayfa

Aktivis Muslimah


Usia kanak-kanak sejatinya menjadi moment yang paling menggembirakan. Dunia anak yang identik dengan dunia bermain, keceriaan dan kebahagiaan, kini perlahan tapi pasti mulai mengalami pergeseran. Belakangan mulai banyak tindak kejahatan yang dilakukan oleh anak-anak maupun remaja, yang akhirnya harus berhadapan dengan jerat hukum.


Seperti yang terjadi baru-baru ini di Sukabumi. Seorang pelajar SMP yang berusia 14 tahun ditangkap polisi karena terbukti melakukan pelecehan seksual dan pembunuhan pada MA, seorang anak laki-laki berusia 6 tahun yang merupakan tetangganya sendiri. Diungkap oleh Kapolres Sukabumi Kota,  AKBP Ari Setyawan Wibowo, bahwa sebelum kejadian pelaku dan korban MA bermain dan menonton TV di rumah temannya pada Sabtu 16 Maret 2024. Kemudian korban pamit untuk pergi ke perkebunan dekat rumah neneknya. Pelaku membuntuti korban, melumpuhkannya dengan mencekik leher kemudian setelah korban lemas, pelaku melakukan pelecehan seksual sodomi kepada korban. Disampaikan pula oleh AKBP Ari Setyawan bahwa pelaku sempat meninggalkan korban, kemudian kembali lagi beberapa jam kemudian untuk memastikan bahwa korban telah tewas. Yang lebih mirisnya lagi, bahkan setelah dipastikan meninggal, pelaku kembali melakukan pelecehan seksual kepada korban hingga beberapa kali sebelum akhirnya pelaku membuang mayat korban ke jurang yang ada di perkebunan tersebut. (media online sukabumiku.id)


Selain itu, ada juga kasus pembunuhan seorang santri di Jambi yang tewas karena dianiaya oleh seniornya di Pondok Pesantren Raudhatul Mujawwidin, yaitu AR (15 tahun) dan RD (14 tahun). Kedua anak yang menjadi tersangka pembunuhan ini sedang menjalani proses penyidikan dan gelar perkara di Polda Jambi dengan status Anak Berhadapan Dengan Hukum. (media online metrojambi.com)


Selain kedua kasus tersebut, banyak juga kasus-kasus kriminal lain yang pelakunya terhitung masih berusia anak-anak. Bila dicermati, rasanya tidak terbayangkan bila anak remaja berusia 14 tahun dapat melakukan perbuatan sekeji itu. Tidak dapat dipungkiri generasi saat ini makin dekat dengan kemaksiatan dan kejahatan, sehingga menjadi masa suram untuk generasi ini. Bahkan menurut data Direktorat Jenderal Kementrian Hukum dan Ham, jumlah anak yang berkonflik dengan hukum mengalami peningkatan pada periode tiga tahun ke belakang. Bahkan data terakhir menyebutkan pada 26 Agustus 2023, kasus anak berkonflik dengan hukum tercatat 2000 anak. Ini menimbulkan pertanyaan  besar, apa yang salah dalam hal ini? mengapa hal seperti ini dapat terjadi?


Peningkatan kasus kriminal pada anak ini menandakan bahwa generasi penerus kita saat ini tidak baik-baik saja. Ini menjadi pekerjaan rumah bagi semua pihak. Krisis moralitas saat ini telah menjangkiti generasi ini. Tentu hal ini tidak tiba-tiba saja terjadi. Banyak hal yang menjadi faktor penyebabnya. Keluarga adalah pihak pertama yang bertanggungjawab secara langsung terhadap anak. Sistem kapitalis yang diterapkan saat ini membuat para orang tua sibuk dengan segala hal yang berkaitan dengan materi. Orang tua merasa hanya berkewajiban memenuhi kebutuhan materi anak-anaknya, sedangkan pendidikan agama dan kepribadiannya luput dari perhatian. Beberapa kasus juga menunjukkan bahwa pelaku kriminal berasal dari keluarga broken home yang perbuatan itu didasari karena mencari perhatian orang tuanya.


Selain itu, pendidikan dalam sistem kapitalisme hanya berorientasi pada nilai akademik semata. Output pendidikan dalam kapitalisme hanya berpusat pada capaian angka dan materi, tanpa memperhatikan kualitas karakternya. Mudahnya anak mengakses konten-konten berbau kekerasan dan pornografi juga menjadi salah satu penyebab anak menjadi pelaku kriminal. Berawal dari diberlakukannya sistem belajar daring saat wabah Covid-19 melanda, hingga saat ini banyak anak memiliki ponsel sendiri dan bebas mengakses game dan konten di media sosial yang berbau kekerasan, pornografi, hingga penyimpangan seksual tanpa pengawasan orang tua.


Untuk dapat menghentikan semua kengerian ini, tentu tidak dapat dilakukan oleh orang tua sendiri. Perlu penanganan sistemik yang dapat menyelesaikan persoalan ini dari akarnya. Sistem Islam yang berasaskan akidah Islam akan membina para orang tua dengan syaksiyah Islamiyah, sehingga menyadari bahwa kewajiban pada anak bukan hanya pemenuhan kebutuhan materi semata, tetapi pendidikan agama dan kepribadian menjadi fokus utama. 


Sistem pendidikan dalam Islam juga akan membentuk anak-anak didik yang memiliki pola pikir dan pola sikap yang sesuai dengan Islam. Pendidikan gratis serta semua fasilitas penunjang yang disediakan oleh negara akan menjadi perpaduan sempurna dalam menghasilkan generasi yang beriman dan bertakwa. Kemudian yang tidak kalah penting juga, negara dalam sistem Islam memiliki aturan dalam sistem pergaulan, seperti wajibnya menutup aurat, larangan berzina, bercampur baur antara laki-laki dan perempuan menjadi faktor penting dalam mencegah timbulnya perbuatan kriminal pada anak. Selain itu, sanksi yang diterapkan dalam sistem Islam akan dapat menimbulkan efek jera sehingga dapat mencegah munculnya pelaku-pelaku lainnya.


Sudah terbukti bahwa Islam pernah menghasilkan generasi muda yang cemerlang, salah satunya Muhammad Al Fatih yang diangkat menjadi Sultan pada usia 12 tahun dan setelah itu terus membina dirinya dengan pola pikir dan pola sikap Islam, sehingga pada usia 21 tahun dapat menaklukan Konstantinopel. Oleh karena itu, tidak ada solusi yang dapat menyelesaikan problematika perilaku kriminal pada anak selain diterapkannya sistem Islam yang mencakup seluruh aspek kehidupan.


Wallahuaalam bissawab

Post a Comment

Previous Post Next Post