Pegiat Literasi
Setidaknya 17 jembatan dan empat rumah rusak akibat banjir lahar hujan gunung Semeru serta longsor yang melanda Kabupaten Lumajang beberapa waktu lalu. Menurut data BPBD (Badan Penanggulangan Bencana Daerah) setempat, ada sembilan Kecamatan yang terdampak bencana. Yaitu Candipuro, Pasirian, Tempah, Pasrujambe, Senduro, Sumbersuko, Lumajang, Sukodono dan Pronojiwo.
Bencana tersebut juga menelan korban jiwa. Hal itu diungkap oleh Kepala BPBD Kabupaten Lumajang, Patria Dwi Hastiadi bahwa yang meninggal adalah sepasang suami istri (Bambang dan Ngatini) warga Desa Kloposawit Kecamatan Candipuro, keduanya menjadi korban banjir lahar hujan Gunung Semeru, sementara satu orang lainnya adalah Ernawati, penduduk Desa Sumberurip Kecamatan Pronojiwo, yang tewas akibat longsor. (KOMPAS.com, Sabtu 20 April 2024)
Selain di Lumajang, bencana juga melanda Kabupaten Sigi, tepatnya di Desa Balongga dan Sambo, Palu, Sulawesi Tengah. Bahkan kedua daerah itu ditetapkan sebagai tanggap darurat bencana oleh Wakil Bupati, Samuel Yansen Pongi, terhitung dari tanggal 17-30 April 2024. Status ini diberlakukan berdasarkan data terendamnya 173 rumah dengan total 487 jiwa dan 419 Kepala Keluarga (KK). Bahkan ada beberapa fasilitas umum yang terdampak seperti SD, SMP, Pusat Kesehatan Desa, rumah adat juga jembatan.
Kota Bengkulu pun tidak luput dari musibah serupa. Banjir bandang dan tanah longsor sempat melanda Kabupaten Lebong. Bantuan pun disalurkan ke wilayah tersebut oleh Saripudin selaku perwakilan Satgas dan diserahkan pada Bupati setempat, Kopli Ansori. Ia menyatakan bahwa penyerahan bantuan ini bukan bersifat sesaat tapi termasuk upaya-upaya mitigasi dan pemulihan yang berkelanjutan. Serta dianggap sebagai upaya sinergi dan kolaborasi antara pemerintah dan BUMN dalam merespon keadaan darurat bencana d Indonesia.
Berulangnya bencana tidak bisa dilepaskan dari mitigasi yang ada. Jika pengaturannya baik maka akan mampu meminimalisir dampak yang terjadi seperti korban jiwa, kehilangan harta benda juga rusaknya infrastruktur. Sebagaimana kita ketahui bersama, banjir adalah musibah yang sering terjadi, yang disebabkan oleh curah hujan yang tinggi. Namun seringkali tidak bisa diprediksi walaupun secara teknologi bisa diperkirakan waktu kejadiannya melalui prakiraan cuaca.
Mitigasi banjir adalah upaya untuk mengurangi risiko yang diakibatkan oleh bencana, keberadaannya tentu sangat penting. Pelaksanaannya dilakukan sebelumnya, misalnya dengan melarang membangun pemukiman di wilayah rawan banjir, atau bisa juga dengan melakukan revitalisasi sungai melalui pengerukan sedimen agar daya tampungnya bisa optimal. Masyarakat juga dibekali dengan berbagai informasi termasuk berbagai upaya untuk meminimalkan resiko. Misalnya tentang jalur evakuasi atau barang-barang penting yang harus dibawa.
Adapun mitigasi yang dilakukan saat terjadi bencana misalnya dengan memberi informasi tentang tempat pengungsian, bagaimana cara menuju kesana, barang apa yang mesti dibawa, juga waktu untuk mengungsi. Sementara upaya yang dilakukan setelah terjadinya musibah adalah dengan berupaya agar warga bisa kembali ke rumah masing-masing, membersihkan dan memperbaiki bangunan atau sarana publik yang rusak.
Dengan adanya mitigasi yang optimal maka berbagai risiko bisa diminimalisir dan dampak bencana tidak semakin meluas. Masyarakat pun tidak harus mengungsi terlalu lama, perekonomian pun bisa secepatnya dipulihkan. Namun sayangnya, upaya ini sering diabaikan dengan alasan keterbatasan dana. Padahal negeri ini dikenal kaya raya akan sumber daya alamnya, pengelolaan yang salah bahkan diserahkan pada swasta dan asing lah yang membuat seolah negara tidak punya apa-apa.
Dalam sebuah sistem kapitalisme, semua itu menjadi sesuatu yang niscaya. Negara abai mengayomi urusan rakyatnya, memberi perlindungan, keamanan dan kenyamanan. Hal ini tampak dari penanganan bencana yang lambat dan terkesan tidak serius. Pada akhirnya, musibah terus berulang, dan rakyat lah yang harus menanggung penderitaannya.
Korban pengungsian akibat banjir sering terabaikan kebutuhannya, baik makanan, pakaian, air bersih dan lain sebagainya. Mirisnya, yang membantu adalah dari kalangan masyarakat itu sendiri yang bergerak secara swadaya, disertai para relawan yang dengan sigap memenuhi kebutuhan rakyat yang terdampak bencana. Sementara sosok penguasa yang seharusnya mengayomi justru berlepas tangan dari tanggung jawabnya.
Tidak seperti kapitalis, Islam memandang negara sebagai raa’in (pengurus) dan bertanggung jawab atas urusan rakyatnya termasuk saat mereka dilanda bencana. Penguasa akan bersungguh-sungguh melakukan mitigasi untuk meminimalisir risiko yang terjadi. Semua akan dilakukan secara optimal walaupun harus mengeluarkan dana yang tidak sedikit. Perkara ini tidak akan diserahkan pada swadaya masyarakat, karena pendanaannya telah tersedia. Tidak dengan mengandalkan pajak dan utang luar negeri. Melainkan dengan mengandalkan pengelolaan sumber daya alam yang hasilnya ditujukan untuk kepentingan masyarakat.
Negara akan menjalankan amanahnya secara optimal mengingat hal itu merupakan beban yang akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah. Rasulullah saw. bersabda dalam HR Bukhari:
Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang dipimpinnya,”
Dalam sebuah negara yang berasaskan Islam, masyarakat tidak perlu khawatir akan kekurangan dana untuk bencana. Karena segala sesuatu sudah disediakan khusus dalam sebuah pos penanganan musibah. Demikian indah wujud kepemimpinan yang diatur dalam naungan Islam, tidakkah kita merindukan kehadirannya?
Wallahu alam Bissawab
Post a Comment