Dikutip dari detikjatim 28/3/2024, Tunjangan Hari Raya (THR) yang diberikan pekerja swasta akan dikenakan pajak. Bagi pegawai swasta tersebut dikenakan pajak penghasilan (PPh) sesuai Pasal 21. Pemotongan ini dilakukan langsung perusahan kemudian disetorkan ke kas negara. Penghitungan pajak dilakukan dengan metode tarif efektif rata-rata (TER) mulai (1/1/2024). Berdasarkan buku cermat pemotongan PPh Pasal 21/26 DJP, Kemenkeu RI mengatur mengenai penghasilan yang dipotong PPh adalah penghasilan yang diterima atau diperoleh pegawai tetap, yang bersifat teratur dan tidak teratur.
Sontak keputusan dan poin-poin terkait THR telah mengagetkan rakyat yang baru saja selesai dengan harap-harap cemas atas THR yang diterimanya. 'Suka cita' berubah menjadi duka. Kekecewaan kembali menghiasi hidup rakyat.
Bagaimana tidak, jika skema lama wajib pajak mesti menghitung jumlah penghasilan kena pajak (PKP) selama setahun kemudian tarif pajak dikenakan ke PKP untuk mengetahui jumlah pajak yang harus dibayar dalam setahun dibagi 12 untuk mendapat angka potongan PPh bulanan, pada mekanisme baru potongan PPh dihitung tiap bulannya. Walhasil potongan PPh pada bulan Maret atas pemasukan yang mencakup THR jadi lebih besar dibandingkan Februari yang tanpa THR. Potongan pajak yang melonjak membuat banyak mengurangi jumlah THR yang diterima para pekerja.
*Rakyat Kembali Dipalak*
Pada 2023, realisasi pendapatan negara mencapai Rp2.774,3 triliun. Adapun penerimaan perpajakan mencapai Rp2.155,4 triliun atau 77%. Sedangkan nilai penerimaan negara bukan pajak (PNBP) pada 2023 hanya Rp605,9 triliun atau 21%. (Katadata, 3/1/2024).
Fantastis. Data di atas menunjukkan bahwa negara telah menjadikan pajak sebagai pemasukan. Besarnya porsi penerimaan pajak dibandingkan dengan penerimaan dari sumber lainnya telah menggambarkan adanya setoran rakyat pada negara. Bagai upeti, dominasi pajak pada penerimaan APBN telah nyata di kerajaan kapitalis radikal. Pemalakan terhadap rakyat kembali menorehkan luka menganga hanya karena rakyat dipaksa dan terpaksa membiayai negara ini secara mandiri dengan perantaraan pajak.
Miris. Pemerintah yang seharusnya memiliki peran sebagai pengurus urusan rakyat, menjadi nir-empati. Dengan adanya pajak THR penampakkan penguasa berubah wujud seperti pemalak yang tak ada hentinya memburu rakyat untuk setia bayar pajak.
Tragisnya, hasil pungutan pajak berupa pembangunan dan layanan publik ternyata tidak leluasa dinikmati rakyat. Alih-alih rakyat bisa mendapatkan layanan, yang ada rakyat lah yang melayani dengan segenap aturan yang dibebankan padanya. Untuk meraih pendidikan dan kesehatan, rakyat tetap harus bayar mahal. Untuk memanfaatkani hasil pembangunan infrastruktur, seperti jalan tol, kereta cepat, dan sebagainya pun rakyat harus mengeluarkan biaya yang tak sedikit.
Sungguh, penerapan pajak atas THR menunjukkan bahwa praktik perekonomian ala kapitalisme sangat kental di negeri ini. Sistem kapitalisme telah menjadikan pajak sebagai sumber pendanaan negara. Suatu hal yang lumrah bagi penguasa, dan selalu membuat resah bagi warga negaranya.
*Paradigma Pos Anggaran Negara dalam Sistem Islam*
Jika pos anggaran dalam sistem kapitalisme menjadikan pajak sebagai sumber utama, sangat bertolakbelakang dengan sistem Islam. Dalam sistem Islam banyaknya pemasukan tidak melazimkan pajak sebagai bagian utama dari isi pos anggarannya. Pos pemasukan kas negara dalam sistem Islam tercukupi tanpa mengutamakan pajak. Pajak hanyalah pemasukan yang bersifat insidental, tidak terus-menerus. Pajak hanya ditarik dari orang-orang kaya ketika kas negara sedang kosong, sedangkan ada kebutuhan yang mendesak yang harus dipenuhi. Oleh karenanya, pajak bukanlah sumber pendapatan negara yang utama.
Adanya pos fai dan kharaj (mencakup seksi ganimah (ganimah, fai, dan khumus), seksi kharaj, seksi status tanah, seksi jizyah, seksi fai, dan seksi dharibah (pajak)), pos pemilikan umum ( seksi migas, seksi listrik, seksi pertambangan; seksi laut, sungai, perairan, dan mata air; seksi hutan dan padang rumput; dan seksi aset-aset yang diproteksi negara untuk keperluan khusus) dan pos sedekah (seksi zakat uang dan perdagangan, seksi zakat pertanian, dan seksi zakat ternak), menjadikan negara memperoleh pemasukan cukup besar. Alhasil, negara tidak perlu berutang dan menarik pajak.
*Sistem Islam Menyejahterakan Tanpa Memalak Rakyat*
Jika saat ini THR sangat membahagiakan walau hanya satu tahun sekali, maka sistem Islam menjamin kebahagiaan itu sepanjang waktu. Jika saat ini THR membuat harap cemas karena belum tentu cair, maka sisten Islam menjamin harapan rakyat terwujud tanpa nanti dan tapi. Dan jika saat ini THR membuat keder rakyat karena ditarik pajak darinya, maka sistem Islam akan berikan pemenuhan kebutuhan sepanjang masa tanpa sekadar THR yang hanya setiap tahun diterima rakyat.
Sistem Islam (Khilafah) akan berikan layanan publik sesempurna mungkin tanpa birokrasi yang menyulitkan rakyat. Pendidikan, kesehatan, pengupahan, transportasi dan sebagainya; serta hasil pengelolaan SDA, seperti BBM dan gas, bisa rakyat dapatkan dengan mudah dan murah bahkan gratis.
Adakah sistem separipurna ini yang mampu mewujudkan kesejahteraan tanpa syarat selain sistem yang lahir dari Allah Ta'ala Yang Maha Rahman dan Rahim? Tentunya sangat ada keniscayaannya, karena Allah Ta'ala telah menjanjikannya. Hingga tak perlu menunggu THR untuk sejahtera, karena sejahtera telah dipastikan dengan upaya yang direalisasikan oleh penguasanya sebagai Imam yang bertanggung jawab atas rakyat yang dipimpinnya.
Wallaahu a'laam bisshawaab.
Post a Comment