Sistem Islam Memaksimalkan Peran Ayah


Oleh Sriyanti

Ibu Rumah Tangga, Pegiat Dakwah



Pemerintah bersama Komisi II DPR tengah menggodok Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP), terkait manajemen Aparatur Sipil Negara (ASN). ASN yang berjenis kelamin laki-laki akan mendapatkan 'cuti ayah', ketika istrinya melahirkan sampai pasca-persalinan. Menurut Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Reformasi Birokrasi Muhamad Azwar Anas, RPP tersebut merupakan aspirasi dari banyak pihak. Ia juga mengungkapkan bahwa hak cuti ini telah ditetapkan di beberapa negara dan sejumlah perusahaan multinasional, dengan jumlah waktu lamanya cuti yang bervariasi antara 15-60 hari. Dengan adanya cuti tersebut diharapkan proses persalinan berjalan lancar, mengingat di momen tersebut peran ayah sangat diperlukan. Selain itu kebijakan ini pula ditujukan sebagai salah satu upaya, yang bisa mendorong peningkatan kualitas sumber daya manusia sejak dini. (idntimes.id, 14/03/2024)


Persalinan memang merupakan saat-saat yang sangat istimewa khususnya bagi seorang ibu dan tentunya dinanti-nanti oleh seluruh anggota keluarga lain, tak terkecuali ayah. Benar adanya di momen tersebut dukungan keluarga terlebih suami sangat diperlukan, agar psikis istri tenang dan persalinan berjalan lancar. Namun jika kebijakan ini ditujukan demi perbaikan generasi apakah cukup?


Sebagaimana yang kita rasakan saat ini, kerusakan generasi sejatinya berawal dari terasukinya mereka dengan pemikiran-pemikiran liberal. Tengok saja kasus L687, judi online, pergaulan bebas, pinjol, kriminalitas, dan sebagainya banyak dilakukan oleh kawula muda. Lantas apakah cuti ayah mampu membangun generasi berkualitas, di tengah kerusakan yang begitu kompleks?


Kerusakan generasi ini sudah bersifat sistemik, bukan hanya tataran teknis yang bisa diselesaikan dengan secuil upaya yang bersifat parsial. Terlebih tidak semua anak di negeri ini lahir dari keluarga/ayah ASN.


Cuti ayah memang diperlukan untuk menemani proses persalinan, namun yang demikian bukanlah solusi dalam memperbaiki kualitas generasi. Jika kita menyadari  lemahnya generasi dan tidak maksimalnya peran ayah dipengaruhi oleh penerapan sistem sekuler kapitalis.


Tabiat kapitalisme yang rusak yaitu mengedepankan materi, telah menggerus peran ayah dalam keluarga. Faktanya saat ini tidak sedikit fenomena rumah tangga yang hancur, karena laki-laki gagal menjadi suami dan ayah. Akhirnya anak-anaklah yang menjadi korbannya, pengasuhan atas mereka pun tidak maksimal, walaupun kebutuhan jasmaninya boleh jadi masih terpenuhi namun psikisnya rapuh hingga mudah tercekoki pemikiran liberal dan sekuler.


Sementara di sisi lain, banyak para ayah yang tidak mampu mencukupi menafkahi keluarganya, karena sulitnya mencari pekerjaan. Hal ini pun merupakan keburukan dari kapitalisme. Pemerintah yang mengadopsi paradigma ini, telah berlepas tangan atas kebutuhan pokok rakyatnya. Ketika ada ayah yang sulit sekali mencari kerja, maka terpaksa si ibu dan anggota keluarga lain yang menggantikannya. Akhirnya peran ibu untuk mendidik dan mengurus anak pun direnggut demi ekonomi keluarga.


Sejatinya, keluarga merupakan tempat pertama untuk membentuk generasi. Karena itulah pondasi keluarga harus kokoh agar mampu melahirkan generasi tangguh. Ketahanan keluarga ini harusnya ditopang oleh negara, sebab jika rapuh tentu akan berpengaruh pada peradaban bangsa.


Ketahanan keluarga akan terbentuk jika seorang kepala keluarga mampu memenuhi seluruh kebutuhan keluarganya. Baik secara fisik seperti sandang, pangan, papan. Ataupun terkait dengan pola pengasuhan, sikap yang baik, dan sebagainya sehingga keharmonisan terwujud. Setiap anggota keluarga memahami fungsi dan peranannya masing-masing. Ibu sebagai pengurus dan pengatur rumah tangga, sedangkan ayah penanggung jawab atas ketahanan tersebut termasuk mendidik anak. Allah Swt. menggambarkan sosok ayah sejati dalam firman-Nya.


"Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata pada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya. 'Hai anakku, janganlah engkau mempersekutukan (Allah), sesungguhnya itu benar-benar kezaliman yang besar'." (QS. Luqman, 31: 13)


Namun sayang selama masih dalam kerangka kapitalisme, ketahanan keluarga mustahil terwujud. Lain halnya ketika Islam diterapkan dalam sebuah sistem pemerintahan. Berbagai kebijakan yang dikeluarkan akan menjadi solusi setiap permasalahan termasuk ketahanan keluarga dan generasi.


Dalam sistem Islam, peran kepala keluarga dan ayah akan maksimal. Pemerintah akan mempersiapkan setiap laki-laki, agar memiliki sikap tanggung jawab sebagai ketentuan perannya yaitu sebagai pemimpin dalam keluarga, yang menafkahi, mendidik, dan melindungi.


Secara tidak langsung negara akan menopang kebutuhan pokok keluarga, dengan diberikannya kemudahan mendapatkan pekerjaan bagi para pencari nafkah. Dengan begitu urusan pangan dan hajat asasi lainnya dari keluarga bisa tercukupi, hingga para ibu semakin fokus bekerja sama dengan suami dalam mengurus dan mendidik generasi.


Selain itu, sistem pendidikan Islam yang berbasis pada akidah Islam, akan mengeluarkan output pendidikan yang sangat berkualitas yaitu generasi yang berkepribadian Islam serta terdepan dalam sains dan teknologi. Negara akan melindungi umat dari berbagai pemikiran sesat, terlebih pada generasi yang merupakan aset pembangun peradaban.


Dengan demikian kesejahteraan akan terwujud, generasi berkualitas terbentuk, semua elemen masyarakat akan maju berkah bersama dalam naungan sistem pemerintahan Islam.


Wallahu a'lam bi ash-shawwab.

Post a Comment

Previous Post Next Post