Oleh. Inge Oktavia Nordiani
Tidak terasa kita telah bersua dengan pada bulan Ramadan yang mulia. Segala rasa syukur tentunya menjadi peringkat nomor wahid dalam merespon kedatangan bulan suci ini. Membicarakan bulan Ramadan seperti membicarakan matahari di tengah bintang-bintang. Ramadan itu seperti Nabi Yusuf di antara saudara-saudaranya. Ibarat Nabi Muhammad di antara para nabi lainnya. Subhanallah atas nikmat kasih sayang yang diberikan pada umat manusia dengan berbagai keutamaan di bulan Ramadan.
Memaknai Ramadan bergantung pada bagaimana sudut pandang seseorang. Ibaratnya kita memiliki benda antik berupa jam tangan yang ingin kita jual. Apabila kita ingin tawarkan kepada orang biasa, mungkin tidak akan seberapa harga jam tangan itu. Namun bila kita tanyakan kepada kolektor barang antik, jam tangan itu akan dibelinya dengan harga yang mahal.
Mengapa ada perbedaan dalam memberikan harga pada benda yang sama? Semua itu bergantung pada nilai dan sudut pandang seseorang apalagi yang menganggap jam tangan itu benda yang biasa saja dan bukan barang baru, maka membelinya adalah murah. Berbeda dengan jam tangan yang dibeli oleh seorang kolektor. Seorang kolektor tersebut tahu nilai daripada barang antik tersebut.
Sebagaimana kita sebagai kolektor surga tentu mengetahui betapa kemuliaan daripada bulan Ramadan ini mampu mengalahkan 11 bulan lainnya. Oleh karena itu sudut pandang inilah yang akan mengantarkan pada pola sikap yang serius terhadap Ramadan.
Dikisahkan pada zaman dahulu terdapat dua orang dari suku Qudha'ah yang ringan tangan membantu dakwah Islam. Keduanya merindukan panggilan jihad dan bersegera menyambutnya. Ketika terdengar seruan jihad, merekapun ikut, satu orang gugur atau syahid sedang seorang lainnya pulang membawa kemenangan. Pada suatu malam Thalhah bin Ubaidillah bermimpi tentang kedua orang tersebut. Thalhah berada di suatu tempat yang indah ia menganggap itu adalah surga. Ia berada di depan pintu surga. Kemudian muncul suara memanggil seseorang yang meninggal karena sakit untuk masuk surga lebih dulu baru kemudian suara itu memanggil seseorang yang mati syahid di Medan jihad untuk masuk kemudian. Lalu terdengar suara kembali yang mengatakan kepada Thalhah, "kembalilah karena belum waktumu".
Lalu Thalhah terbangun. Keesokan harinya menceritakan mimpi tersebut kepada para sahabatnya namun mereka semua tidak percaya. Bagaimana bisa amalan seseorang yang sakit tadi mengalahkan amalan seorang syuhada. Kisah tersebut pun terdengar oleh Rasulullah Saw dan Thalhah pun menceritakan kembali.
Mendengar cerita Thalhah, Rasulullah membenarkan dan para sahabat pun heran. Rasulullah bertanya kembali, "Bukankah orang tersebut masih hidup setahun kemudian?" Mereka menjawab, "betul". Rasul mengatakan lagi, "dan bukankah ia masih mendapati Ramadan, lalu ia berpuasa melakukan salat ini dan itu selama satu tahun? mereka jawab, "betul". Rasulullah berkata, maka jarak antara mereka lebih jauh daripada jarak antara langit dan bumi. (HR Ahmad Ibnu Majah dan Ibnu Hibban)
Mengenai keutamaan Ramadan juga disampaikan bahwa ada tiga amalan yang menjadi pemberat timbangan karena tidak terbatasnya pahala. Ketiga hal tersebut adalah sikap memaafkan, orang yang sabar dan puasa pada bulan Ramadan. Puasa sendiri pahalanya langsung Allah yang balas bahkan pahalanya tidak bisa diambil oleh orang yang terzalimi oleh orang tersebut. sebagaimana Hadits Riwayat Bukhari dan Abu Hurairah, "Semua amal anak Adam adalah untuknya kecuali puasa. Sesungguhnya puasa itu untukku dan aku sendiri yang akan membalasnya.
Oleh karena itu sebagai seorang Muslim sudah tentu tidak akan melewatkan kesempatan emas ini. Seseorang yang tidak bisa mengambil peluang berburu/menjadi kolektor surga di bulan ini maka pertanyaannya harus di bulan manalagi seseorang tersebut bisa?
Maka jangan sampai kita termasuk dalam orang-orang yang celaka sebagaimana do'a malaikat jibril yang diaminkan oleh Nabi Muhammad.
Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam naik mimbar lalu beliau mengucapkan, ‘Aamiin … aamiin … aamiin.’ Para sahabat bertanya, ‘Kenapa engkau berkata demikian, wahai Rasulullah?’ Kemudian, beliau bersabda, ‘Baru saja Jibril berkata kepadaku, ‘Allah melaknat seorang hamba yang melewati Ramadan tanpa mendapatkan ampunan,’ maka kukatakan, ‘Aamiin.’ Kemudian, Jibril berkata lagi, ‘Allah melaknat seorang hamba yang mengetahui kedua orang tuanya masih hidup, namun itu tidak membuatnya masuk Jannah (karena tidak berbakti kepada mereka berdua),’ maka aku berkata, ‘Aamiin.’ Kemudian, Jibril berkata lagi, ‘Allah melaknat seorang hamba yang tidak bersalawat ketika disebut namamu,’ maka kukatakan, ‘Aamiin.”
Jadi sejatinya cinta itu berbanding lurus dengan pengorbanan. Seseorang yang mencintai sesuatu tentu akan rela berkorban dan berusaha memenuhi segala keinginan hal yang dicintainya. Begitu seharusnya kita mencintai bulan suci ini dan dengan tulus mengupayakan semaksimal mungkin untuk mengisi hari-hari dengan produktif dan penuh ibadah.
Sebagaimana tujuan tertinggi daripada amalan puasa ini adalah agar memperoleh gelar takwa.
Tentu untuk memperoleh gelar takwa kita harus merefleksikan bagaimana Allah Swt. menginginkan kita bertakwa seperti apa. Untuk itu kita harus menyesuaikan dengan versi yang dikehendaki oleh sang pemilik kehidupan yaitu Allah Swt. Hal ini tertuang dalam QS. Al-Baqarah: 208 yang berbunyi " Wahai orang-orang yang beriman masuklah ke dalam Islam secara kafah (keseluruhan) dan janganlah kalian ikuti langkah-langkah setan sungguh itu musuh yang nyata bagimu".
Tafsir ayat ini adalah tentang peringatan Rasulullah kepada Abdullah Bin Salam dan temannya dari kalangan Yahudi yang masuk Islam namun mereka masih mengagungkan hari Sabtu dan tidak mau makan daging unta. Maka Rasulullah Saw bersabda, "Demi yang jiwa Muhammad ada di tangannya tidaklah umat ini mendengar tentang kedatanganku sebagai nabi dan rasul baik itu Yahudi maupun Nasrani kemudian mati dalam keadaan belum beriman dengan apa yang aku utus dengannya (Al-Qur'an) kecuali dia termasuk ahli neraka.
Hanya saja keimanan manusia secara kafah ini tidak bisa dilakukan individu sendiri. Apalagi di tengah era kapitalisme sekuler yang serba materialistik. Banyak yang terjebak puasa hanya menahan lapar dahaga dan menjalankan ritualitas sampai pada hati lebaran. Oleh karena itu butuh pengayoman lebih mendalam dari masyarakat utamanya negara agar keimanan kita sebagai manusia dapat sesuai dengan versi terbaik menurut Sang Pemilik kehidupan.
Wallahu a'lam bishawab
Post a Comment