Pemerhari Sosial dan Generasi
Ketua Komisi 2 DPRD Kaltim, Nidya Listiyono mengajak para perempuan lebih meneladani perjuangan RA Kartini yang mampu menyalakan api perjuangan pada masanya. Menurutnya perempuan diharapkan terus berkarya, mengembangkan diri, dan memperluas ilmu pengetahuan. Dengan demikian akan membawa kehidupan bangsa Indonesia lebih baik.
Kartini memang perempuan cerdas yang memiliki bacaan jauh ke depan. Bacaan yang jauh melebihi bacaan perempuan kebanyakan di masanya. Masa di mana perempuan tak mendapat tempat semestinya melihat akal perempuan dibelenggu oleh adat peninggalan nenek moyang. Dan naluri dibungkam oleh dogma tentang kepatuhan dan stratifikasi manusia berdasarkan keturunan. Bukan hanya dalam posisinya sebagai perempuan, tapi juga dalam posisinya sebagai manusia
Inilah yang Kartini pikirkan. Namun, benarkah Kartini suarakan pembebasan perempuan sebagaimana kaum feminis hari ini menyuarakan?
Jika jujur membaca sejarah berikut surat-surat Kartini, maka kita akan temukan bahwa Kartini adalah perempuan yang sepanjang hayatnya penuh dengan pegulatan ideologi.
Pertemanannya dengan Keluarga Abendanon, sempat membuatnya terkagum pada kehidupan bebas perempuan Barat, bahkan nyaris menjadi alat politik sekularisasi kompeni.
Lalu, persahabatannya dengan Stella dan keluarga Van Kol, juga nyaris membuatnya meninggalkan Islam dan mengadopsi nilai-nilai Kristen dan Sosialisme.
Namun, saat dahaga pemikirannya tersentuh oleh keindahan ajaran-ajaran Islam, Kartini mulai menampakkan kebanggaannya pada jati dirinya sebagai muslimah.
Di akhir hayatnya, saat Islam mulai lebih jauh dikenalnya, inilah yang Kartini tulis pada sahabat penanya:
“Sudah lewat masanya, tadinya kami mengira bahwa masyarakat Eropa itu benar-benar satu-satunya yang paling baik, tiada taranya. Maafkan kami, tetapi apakah Ibu sendiri menganggap masyarakat Eropa itu sempurna? Dapatkah Ibu menyangkal bahwa di balik hal-hal indah dalam masyarakat Ibu terdapat banyak hal yang tidak bisa disebut sebagai peradaban?” (Surat Kartini Kepada Ny Abendanon, 27 Oktober 1902).
“Moga-moga kami mendapat rahmat dapat bekerja membuat umat agama lain memandang Islam patut disukai.” (Surat Kartini kepada Ny. Van Kol, 21 Juli 1902).
Itulah realitas Kartini. Perempuan cerdas nan hanif yang di akhir hayatnya merasa tercerahkan dengan Islam. Yang akhirnya melihat persoalan perempuan dari sudut pandang Islam.
Bahwa perempuan hadir ke dunia adalah sebagai pendidik pertama sehingga harus dididik dan dicerdaskan. Bukan sebagaimana adat Jawa yang menempatkan perempuan bukan sebagai apa-apa, atau sebagaimana budaya Barat berikan kebebasan tanpa batasan.
Bahkan di surat-surat setelahnya, Kartini menegaskan apa yang sebenarnya menjadi cita-citanya dan justru disembunyikan:
“Kami di sini memohon diusahakan pengajaran dan pendidikan anak-anak perempuan, bukan sekali-kali karena kami menginginkan anak-anak perempuan itu menjadi saingan laki-laki dalam perjuangan hidup. Tapi karena kami yakin akan pengaruhnya yang besar sekali bagi kaum wanita, agar wanita lebih cakap dalam melakukan kewajibannya, kewajiban yang diserahkan alam (sunnatullah) sendiri dalam tangannya; Menjadi ibu, pendidik manusia yang pertama-tama.” (Surat Kartini kepada Prof Anton dan Nyonya, 4 Oktober 1902).
Kartini adalah pahlawan perempuan dalam hal agar perempuan bisa terdidik. Pemahamannya itu karena inspirasi ayat Al-Quran alias Islam, sayangnya perjuangannya belum selesai bahkan disalahartikan oleh para pejuang emansipasi perempuan.
Yang diinginkan Kartini hanyalah menjadi wanita taat pada ketentuan Rabb-Nya, meski Kartini tak sempat merengguk keluasan ajaran Islam, dikarenakan Alquran tak sempat beliau khatamkan. Di usia belia, beliau harus menghadap Rabb Tuhan Pencipta Alam.
“Ingin benar saya menggunakan gelar tertinggi, yaitu hamba Allah.” (Surat Kartini kepada Ny. Abendanon, 1 Agustus 1903)
Kartini teladan dalam hal semangat untuk menuntut ilmu, tentu dalam Islam hal itu pun kewajiban. Jangan salah artikan perjuangan Kartini diera kekinian. Saatnya kaum Muslimah menyadari akan perjuangan perempuan yang sesungguhnya yakni mengembalikan kehidupan Islam agar perempuan mulia sesuai fitrahnya.
Dalam Islam, kaum perempuan menempati posisi tinggi, yakni sebagai arsitek peradaban. Seluruh haknya dijamin sedemikian rupa sehingga mereka bisa mengoptimalkan peran strategisnya tanpa halangan. Kebutuhan sandang, pangan, dan papan dijamin melalui mekanisme yang jelas, mulai dari jalur wali atau suami hingga oleh negara dengan standar tinggi. Sementara itu, pendidikan, kesehatan, dan keamanan dijamin oleh negara sebagaimana rakyat lainnya.
Walhasil, kaum perempuan punya kesempatan banyak untuk memastikan tupoksinya berjalan dengan baik hingga sejarah peradaban Islam diwarnai kegemilangan dengan lahirnya generasi cemerlang dari tangan kaum perempuan.
Semua itu merupakan dampak positif dari penerapan sistem ekonomi Islam yang adil dan menyejahterakan. Sistem sosial Islam menjaga kebersihan masyarakat, sistem politik Islam memosisikan penguasa sebagai pengurus dan penjaga, sistem sanksi menjamin keamanan masyarakat, dan lainnya. Wallaahu a’lam bi ash-shawab.
Post a Comment