Oleh. Ummu Miqdad
Lebaran adalah momen yang sangat ditunggu-tunggu oleh banyak orang. Di mana semua keluarga biasanya dapat berkumpul menikmati suasana penuh kegembiraan dan keceriaan dengan makanan dan minuman yang beraneka ragam, juga pakaian serta pernak-pernik yang serba baru.
Anak-anak juga sangat bergembira menyambutnya karena bisa makan beraneka macam kue, camilan dan minuman yang lezat, serta harapan mendapatkan “THR” alias hadiah uang dari orang tua, sanak saudara, ataupun tetangga.
Tidak hanya anak-anak, pekerja juga sangat menantikan lebaran, karena ada THR yang sebenarnya, yang nilainya lumayan besar, yang akan dipakai untuk menyambutnya mengisi toples-toples makanan di meja tamu mereka, membahagiakan keluarganya dengan menghadiahi mereka dengan sendal, pakaian, dan juga uang jajan.
Namun tahun ini, tampaknya kegembiraan itu tak akan bertahan lama. Berganti keresahan akan berkurangnya jumlah THR yang sudah dibayang-bayangkan dapat menambah kebahagiaan mereka.
Akan diadakan pemangkasan terhadap THR dengan potongan tertentu yang telah di tetapkan besarannya dengan mekanisme pajak.
Seperti yang di lansir Tirto (28/3/2024), dalam buku Cermat Pemotongan PPh Pasal 21/26 yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) disebutkan, penghitungan pajak penghasilan (PPh) pasal 21 pada bulan diterimanya THR dihitung berdasarkan skema tarif efektif rata-rata (TER). TER terbagi atas tarif efektif bulanan dan tarif efektif harian. Yang mulai berlaku diawal tahun ini.
Banyaknya jenis penghasilan sampai bonus semacam THR yang di kenai pajak, tentu membuat resah pekerja. Gaji yang tak seberapa di masa yang serba mahal ini, membuat beban kehidupan semakin berat. Entah apalagi yang akan di kenai pajak setelah ini.
Hal ini kembali terjadi, perluasan sasaran pajak untuk menambah penghasilan negara yang entah sampai kapan itu akan berlangsung. Itulah yang terjadi dalam negara yang menerapkan sistem kapitalis, di mana pajak merupakan satu-satunya pemasukan negara, sehingga upah dan bonus juga menjadi sasarannya. Tanpa memperdulikan lagi derita yang akan dialami rakyat.
Negeri kita yang kaya akan sumber daya alam yang beraneka ragam ternyata tidak mampu menjadi jaminan kesejahteraan bagi seluruh rakyat. Yang terjadi adalah kita yang menjadi pekerja di rumah kita sendiri, itupun dengan gaji yang terus digerogoti melalui potongan pajak dan pungutan lainnya.
Hal ini sungguh berbanding terbalik dengan sistem yang diterapkan dalam ekonomi Islam. Pajak yang menjadi sumber utama penghasilan negara, justru di dalam Islam merupakan jalan terakhir yang ditempuh ketika mengalami kondisi tertentu. Misalnya seperti baitul maal yang dalam keadaan kosong atau terjadi bencana. Itu pun dilaksanakan pada saat-saat tertentu saja, bersifat sementara sampai kondisi kembali normal.
Subjek yang dipungut pun berasal dari orang Islam saja yang kaya. Bukan seperti dalam sistem ekonomi kapitalis, tak peduli Muslim atau bukan, kaya ataupun miskin, semua kena pajak. Entah itu dari penghasilan, bonus, barang-barang mewah, bahkan juga dari produk yang dibeli meskipun harganya itu murah, tetap ada pajaknya.
Baitul maal, selaku kas negara memiliki berbagai sumber pemasukan, misalnya pos pemilikan negara, pos pemilikan umum, dan zakat. Semua pemasukan ini dapat mencukupi kebutuhan masyarakat.
Hal ini pernah dibuktikan semasa kepemimpinan Harun Ar Rasyid, dimana tidak ditemukan satu pun penerima pajak karena semua telah sejahtera.
Dengan kembali menerapkan sistem ekonomi Islam, maka beban rakyat akan dapat di ringankan, karena negara selaku pemelihara bertanggungjawab untuk menjamin kesejahteraan rakyatnya orang per orang. Rakyat pun tak lagi dibayangi ketakutan akan di gerogoti pajak maupun pungutan lainnya.
Wallahu a'lam bishwab
Post a Comment