Baru-baru ini pemerintah dikabarkan tengah menyusun rancangan Peraturan Presiden tentang peta jalan perlindungan anak di ranah daring, demi melindungi tumbuh kembang anak dari pengaruh konten maupun game online yang tidak semestinya.
Deputi Perlindungan Khusus Anak KPPA Nahar mengatakan, Peraturan Presiden tersebut memetakan beberapa strategi yang nantinya dapat menindaklanjuti kasus eksploitasi dan kekerasan anak di ranah daring.
“Selain itu, Pemerintah juga tengah mempersiapkan rancangan Peraturan Presiden tentang tata kelola perlindungan anak dalam penyelenggaraan sistem elektonik,” katanya pada 14 April 2024. Dikatakan pula bahwa game dan konten dapat berpengaruh terhadap tumbuh kembang anak, baik dalam perilaku, karakter dan mental.
Semantara Budi Arie Setiadi, Menteri Komunikasi dan Informatika mengimbau juga untuk memperhatikan rating atau klasifikasi game agar sesauai dengan usia anak. Kementerian Kominfo telah mengatur klasifikasi game melalui Peraturan Kominfo Nomor 2 Tahun 2024 yang berisi, setiap produsen game memiliki kewajiban untuk memberi label dan peringatan usia. Dengan demikian hal ini juga memerlukan bantuan dari para orang tua dan pengasuh untuk memantau penggunaan teknologi atau internet pada anak.
Realita hari ini memang peredaran game online begitu populer dan teramat sulit untuk dihindari, sehingga peredaran tersebut justru malah sampai pada “konsumen” yang tidak semestinya, yaitu anak-anak di bawah usia 13 tahun. Tidak sedikit ditemukan di setiap perkumpulan anak-anak baik daerah kota atau yang terbilang desa sudah terpengaruh teknologi, sehingga game dan konten atau tontonan lintas usia adalah hal yang lazim bagi mereka juga orang tuanya sendiri.
Disadari atau tidak, tidak sedikit anak-anak saat ini lebih dominan “diasuh” oleh gawai dibanding manusia yang nyata, orang tuanya. Bagaimana tidak, muatan yang ada dalam gawai sangat menyenangkan dan benar-benar membuai sehingga seakan gawai itu diciptakan untuk mengasuh anak-anak. Tidak hanya anak usia belasan tahun, bahkan bayi yang belum bisa mengcuapkan kata-kata sudah diperkenalkan tontonan, dengan dalih tontonan tersebut hanya berupa animasi atau sejenisnya.
Kabar buruknya perlahan namun pasti bayi-bayi yang diberi tontonan animasi ini lama-lama tumbuh dan dengan cepat dapat mengakses apa yang ia mau. Kesehariannya hanya dipenuhi warna-warni layar gawai, sehingga tidak sempat lagi untuk menginput pelajaran lain dari luar itu, seperti perkembangannya untuk menyerap kosa kata dan berbicara. Tidak heran jika saat ini banyak anak-anak yang terlambat dalam perkembangannya berbicara, karena dia terus diberikan input pendengaran dan penglihatan dari gawai itu, sehingga output yang seharusnya dilakukan menjadi terhambat. Padahal yang umumya orang tahu, usia 0 sampai 6 tahun adalah usia emas bagi manusia, periode yang seharusnya diisi oleh hal-hal yang bermanfaat untuk bekal perkembangan selanjutnya.
Ada hal lain pula yang tidak banyak orang sadari, banyak sekali animasi-animasi justru mengandung unsur yang melanggar syari’at mulai dari kekerasan sampai unsur LGBT. Memang pengemasannya begitu apik dan dibuat sedemikian rupa sehingga para orang tua menganggap itu layak dijadikan tontonan bagi anak mereka.
Selain animasi atau tontonan, beranjak bertambahnya usia, anak-anak akan diasuh oleh game online yang juga cukup beracun bagi mereka. Tidak sedikit game online saat ini yang mengandung unsur kekerasan dan pornografi sehingga berdampak bagi perkembangan mental. Anak-anak yang tumbuh dengan asuhan game tersebut akan menjadi pribadi yang kurang berempati, sulit bersosialisasi dan lebih parahnya meniru apa yang ada dalam game tersebut. Bukti nyata yang terjadi saat ini banyak sekali kekerasan dan perundungan yang dilakukan oleh anak-anak. Hal ini tentu sangat tidak wajar adanya.
Adalah solusi yang harus diterapkan, bukan saja obat sebagai jawaban. Jika obat dapat membuat penyakit itu kembali, maka solusi akan dengan pasti menghapuskannya. Dalam hal ini peran pemerintah dan keluarga sangat penting.
Pertama keluarga adalah kunci utama yang berhadapan langsung dengan anak, generasi penerus Islam. Perjuangan untuk mendidiknya bukan hal yang mudah, dalam hal ini perlu kekompakan di antara kedua orang tua, bahkan sampai kakek-neneknya, sebab jika salah satu di antaranya “menghianati” maka runtuh sudah pendidikan yang dibangun untuk anak, anak akan mencari pembelaan dan pembenaran atas pelanggaran yang ia lakukan.
Kedua, peran pemerintah adalah gerbang, tidak hanya bagi anak tapi juga keluaraga dalam seluruh aspek. Sudah semestinya pemerintah memperhatikan sedetail-detailnya apa yang dikonsumsi oleh rakyat, baik konsumsi untuk perut dan untuk otaknya. Pemerintah perlu mempertimbangkan apa-apa yang layak sampai kepada rakyatnya, termasuk tontonan atau hiburan.
Jika peran pemerintah sebagai gerbang sudah berjalan sebagai mana mestinya, memastikan kelayakan untuk rakyatnya, maka kunci dari gerbang itu adalah keluarga yang membuka dan memperkenalkan pintu pemahaman bagi generasi Islam berikutnya.
Kini, layakkah game online dengan unsur kekerasan dan pornografi beredar di masyarakat? Pantaskah konten berisi unsur LGBT dikonsumsi masyarakat di negeri yang mayoritas adalah umat Islam ini? Tentu saja jawabannya sangat tidak layak. Di luar untuk anak-anak, bahkan untuk seluruh kalangan pun memang tidak layak.
Perembangan teknologi ini memang begitu pesat, tidak bisa dibendung, jika tidak bisa dimanfaatan ia bagai air bah yang datang menimpa umat Nabi Nuh, menenggelamkan siapa saja yang tidak meyakini-Nya. Maka solusinya adalah peraturan yang dapat mengubah dari akar, penerapan pemahaman tentang syari’at Islam di segala aspek, sehingga pembatasan terhadap hibur-hiburan yang tidak bermanfaat itu akan tumbuh dengan sendirinya di hati juga pikiran umat dan cara mendidik terhadap generasi berikutnya pun otomatis akan terbentuk.
Bukan tidak mungkin jika teknologi yang ada bisa dimanfaatkan menjadi fasilitas yang membuat anak lebih kreatif dan cerdas, tentu cerdas dalam artian sesungguhnya. Kecerdasan yang mampu membanggakan dunia dan akhirat. Seperti pengajaran Alquran atau doa-doa yang dikemas dalam bentuk game misalnya, atau pengenalan terhadap ciptaan Allah, sehingga aqidah anak sudah terbentuk sejak dini. Bagaimana mungkin pengenalan syariat bisa kalah dengan penyusupan unsur kekerasan dan LGBT yang dikemas seakan-akan ramah anak? Patut direnungkan.
Air bah itu bernama teknologi, jika ada perahu yang bisa menampung maka umat akan selamat pada satu tujuan, jika tidak buaiannya akan menenggelamkan.
Sungguh, Maha Benar Allah dengan segala Keagungan-Nya.
Post a Comment