Menilik Kasus KDRT yang Tak Kunjung Usai


Oleh: Susiyanti, S.E

(Freelance Writer)


Kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) terus meningkat setiap tahunnya. Ibarat jamur yang tumbuh subur di musim hujan.


Sebagaimana yang dilansir dari Kompas, 27-06-2023, menurut catatan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) ada sebanyak 25.050 perempuan menjadi korban kekerasan di Indonesia sepanjang tahun 2022. Jumlah tersebut meningkat 15,2 persen dari tahun sebelumnya sebanyak 21.753 kasus. 


Hal ini seperti kasus yang belum lama ini terjadi di Depok. Di mana seorang istri mantan Perwira Brimob berinisial MRF, RFB mengalami penderitaan dalam rumah tangganya sejak 2020.


Luka-luka yang diderita korban meliputi memar pada wajah, dada, dan punggung, serta lecet pada kepala dan tangan. Hal itu sebagaimana yang dinyatakan Kepala Seksi Intelijen Kejaksaan Negeri Depok M. Arief Ubaidillah. Tidak hanya itu, Ubaidillah juga menyampaikan bahwa korban mengalami pendarahan dan keguguran sebagai akibat dari tindakan kekerasan terdakwa (Kompas,  22-03-2024).


KDRT sebenarnya bukanlah hal baru. Hal ini dipopulerkan kaum feminis dengan ide kesetaraan gendernya. Di Indonesia, konsep ini berhasil masuk dalam ranah perundang-undangan, yaitu dalam UU 23/2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (PKDRT).


Adanya UU ini pun ternyata belum mampu meminimalisasi kasus-kasus tersebut dan tidak memberikan jaminan perlindungan. Ini menunjukkan bahwa penangannya belum menyentuh pada akarnya. Sehingga, solusi yang diberikan tidak menuntaskan masalah. Lantas apa sebenarnya akar masalah KDRT?


Seperti diketahui, kaum feminis dengan ide kesetaraan gendernya memandang bahwa akar masalah KDRT merupakan adanya ketidaksetaraan laki-laki dan perempuan dalam rumah tangga. Di mana posisi laki-laki sebagai pemimpin bagi perempuan dipandang menjadikan perempuan berada di bawah kekuasaan laki-laki. 


Pun menurut kaum femenis inilah yang membuat  perempuan menjadi pihak yang lemah atau tertindas. Hingga menjadi korban kekerasan laki-laki. Jelas ini suatu pemikiran yang keliru. Padahal sesungguhnya akar masalah KDRT bukan karena kepemimpinan suami, tetapi karena tidak adanya penerapan aturan yang benar yang mengatur hubungan antara suami dan istri. Baik itu hubungan antara seorang pemimpin dan orang yang dipimpinnya.


Banyak kasus KDRT dengan berbagai macam sebab, ada yang karena kemiskinan, perselingkuhan, kurangnya ilmu pengetahuan tentang hak dan kewajiban suami istri dan masih banyak lagi. Ini tidak cukup jika kita hanya melihat KDRT ini berdiri sendiri tanpa mencari akar persoalannya. Ibarat pohon yang rusak kita hanya fokus memotong rantingnya tanpa mencari apa sebenarnya masalah dari pohon tersebut. 


Tidak hanya itu, sistem yang ada (kapitalisme) makin memiskinkan masyarakat secara tersistematis dan makin membuat kesenjangan ekonomi yang pada akhirnya tidak jarang menghantarkan pada masalah KDRT dalam keluarga.


Di sisi lain, kehidupan sekularisme yang memisahkan aturan agama dalam kehidupan menjadikan banyak rumah tangga muslim yang tidak mengetahui tujuan sesungguhnya dalam berumah tangga serta hak dan kewajibannya sebagai suami ataupun istri.


Disamping itu, semakin liberalnya pergaulan laki laki dan perempuan yang bebas tanpa batas, hingga menimbulkan banyaknya perselingkuhan dan berbagai problem rumah tangga lainnya serta tak sedikit memicu terjadinnya KDRT. 


Sementara jika menilik pada sistem islam, islam memiliki aturan yang sempurna dalam berbagi macam aturan kehidupan. Baik itu kehidupan umum antara laki-laki dan perempuan maupun kehidupan khusus, yaitu suami dan istri dalam berumah tangga sekaligus solusi terhadap berbagai masalah yang terjadi. Aturan tersebut di antaranya: Pertama, Islam menetapkan bahwa kehidupan rumah tangga adalah kehidupan persahabatan. Pergaulan antara suami dan istri adalah pergaulan persahabatan, yaitu yang dapat memberikan kedamaian dan ketenteraman satu sama lain. Agar persahabatan suami istri menjadi persahabatan yang damai dan tenteram (sakinah).


Syariat islam menjelaskan hak istri atas suaminya dan hak suami atas istrinya. Hal ini sebagaimana firman Allah dalam surah Al-Baqarah ayat 228 yang artinya, “Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang makruf.”


Kedua, islam memerintahkan pergaulan yang makruf (baik) antara suami dan istri. Allah juga memerintahkan pergaulan yang baik di antara suami istri sebagaimana yang dinyatakan dalam surah An-Nisa’ ayat 19 “Dan bergaullah dengan mereka secara makruf (baik).”


Dari itu, dalam kondisi istri menaati suaminya, maka suami harus bersikap ramah dan toleran serta lembut dalam meminta sesuatu dari istrinya. 


Ketiga, islam menetapkan kepemimpinan suami atas istri dalam rumah tangga. Dalam kehidupan suami istri, adakalanya terjadi masalah yang membuat suasana tidak baik. Untuk menyelesaikan berbagai masalah tersebut Allah Swt. menetapkan kepemimpinan rumah tangga (qiyadah al bayt) berada di tangan suami. Sebagaimana Allah Swt. berfirman dalam surah An-Nisa ayat 34 yang artinya,  “Kaum laki-laki (suami) itu adalah pemimpin bagi kaum wanita (istri).” 


Tanggung jawab dan kepemimpinan suami atas istri dalam rumah tangga bukan berarti suami boleh bertindak otoriter atau seperti seorang penguasa yang tidak boleh dibantah. Akan tetapi, kepemimpinan seorang suami di dalam rumah tangga bermakna pengaturan dan pemeliharaan urusan-urusan rumah tangga, termasuk dalam membimbing dan mendidik istri agar senantiasa taat pada Allah Taala.


Adapun jika ada tindakan fisik yang dilakukan suami ketika istri membangkang karena melanggar syariat. Maka syariat islam memberikan batasan yang sangat ketat tentang hal itu, misal tidak melakukan tindakan fisik hingga menimbulkan bekas, apalagi hingga membuat cedera bahkan menghilangan nyawa. Kebolehan itu pun tidak menjadi dalih bagi suami untuk melakukan kekerasan hingga menjatuhkan istri dalam kondisi yang membahayakannya. Justru suami berkewajiban menjaga dan melindungi istri agar terhindar dari berbagai ancaman bahaya.


Keempat, islam menetapkan mekanisme penyelesaian masalah dalam rumah tangga. Ketika dalam kehidupan suami istri terjadi persengketaan (bukan merupakan pelanggaran syariat) yang dapat mengancam ketenteraman, islam mendorong mereka bersabar memendam kebencian yang ada. Ini karena bisa jadi pada kebencian itu terdapat kebaikan. Sebagaimana firman-Nya dalam surah An-Nisa ayat 19 “Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” 


Inilah di antara cara islam menyelesaikan persoalan KDRT yang merupakan solusi terbaik, karena berasal dari sang pembuat hukum, yakni Allah Swt. yang mengetahui segala yang terbaik bagi hamba-Nya. 


Oleh karena itu, sulit menyelesaikan persoalan KDRT saat ini, jika persoalan utama dalam rumah tangga tidak terselesaikan sesuai syariat-Nya. Dari itu, sudah semestinya kita menjadikan aturan-Nya sebagai satu-satunya solusi dalam seluruh aspek kehidupan. Sehingga akan terwujud keluarga yang sakinah mawaddah warahmah. Wallahu a’lam bi ash-shawab.

Post a Comment

Previous Post Next Post