Indonesia, sebagai negara besar dengan populasi 273,8 juta jiwa (2021) menghadapi tantangan serius dalam hal ketahanan pangan. Krisis pangan merupakan masalah yang mempengaruhi jutaan penduduk Indonesia sekaligus ketahanan negara Indonesia. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa tingkat ketimpangan ketahanan pangan di Indonesia meningkat dalam beberapa tahun terakhir.
Pada tahun 2020, terdapat sebanyak 19,16 juta orang atau sekitar 7,38% dari total penduduk Indonesia yang mengalami krisis pangan. Angka ini lebih tinggi dibandingkan dengan tahun sebelumnya, yaitu sebesar 9,8 juta orang atau sekitar 3,76% dari total penduduk pada tahun 2019. Selain itu, data dari Food and Agriculture Organization (FAO) juga menunjukkan bahwa sekitar 35 juta penduduk Indonesia mengalami malnutrisi pada tahun 2020. Bagi Indonesia, pangan sering diidentikkan dengan beras karena jenis pangan ini merupakan makanan pokok utama. Pengalaman telah membuktikan kepada kita bahwa gangguan pada ketahanan pangan seperti meroketnya kenaikan harga beras pada waktu krisis ekonomi 1997/1998, yang berkembang menjadi krisis multidimensi, telah memicu kerawanan sosial yang membahayakan stabilitas ekonomi dan stabilitas Nasional.
Salah satu aspek utama yang terkait dengan krisis pangan di Indonesia adalah sektor pertanian. Pertanian memiliki peran yang penting dalam menyediakan pangan bagi penduduk. Namun sektor pertanian di Indonesia masih menghadapi berbagai tantangan, seperti minimnya teknologi pertanian yang modern, keterbatasan akses ke pasar, kendala dalam penggunaan lahan, serta perubahan iklim yang mempengaruhi hasil panen.Selain itu, rendahnya inovasi dan dukungan pembiayaan yang diberikan kepada sektor pertanian juga menjadi faktor krisis penyebab pangan. Dari sisi tataniaga, sudah menjadi rahasia umum akan panjangnya rantai pasokan yang mengakibatkan perbedaan harga tingkat produsen dan konsumen yang cukup besar dengan penguasaan perdagangan pangan pada kelompok tertentu (monopoli, kartel dan oligopoli). Menurunnya persentase para petani juga dipengaruhi berkurangnya lahan pertanian setiap tahunnya. Berlarutnya lonjakan harga beras adalah pertanda kegagalan politik pangan dan pertanian kapitalisme neoliberal yang dijalankan saat ini. Bagaimana mungkin kenaikan harga sudah terjadi lebih dari setahun, tetapi tidak ada solusi tuntas untuk mengakhirinya?
Kebijakan Bersifat Teknis
Memang, telah banyak program yang dijalankan pemerintah untuk mengatasi kekisruhan seputar beras, baik melalui penetapan harga, operasi pasar, pendistribusian beras SPHP, hingga pembagian bantuan sosial berupa beras 10 kg per keluarga. Ini dibarengi program kontrol dan monitoring harga yang dikerjakan satgas pangan. Namun, kenapa harga tidak juga kembali stabil dan terjangkau oleh mayoritas rakyat?.Hal ini mengindikasikan bahwa kebijakan-kebijakan tersebut tidak menyentuh akar masalah karena bersifat teknis. Di satu sisi, pemerintah hanya berusaha menyelesaikan simtom gejolak harga, tetapi tidak menyolusi penyebab kenaikan harga. Kebijakan yang dibuat sekadar menahan kenaikan, bukan mengakhiri secara tuntas. Ditambah, banyak yang menilai kebijakan bantuan beras saat ini berkelindan dengan agenda politik praktis mendekati pemilu. Alhasil, maksud dari program ini bukanlah untuk menyelesaikan persoalan rakyat, melainkan kepentingan segelintir pihak.
Kenaikan harga beras juga tidak serta-merta dinikmati petani dan memberikan kesejahteraan sebagaimana dinyatakan sejumlah pejabat. Ini karena problem mendasar tidak sejahteranya petani berpangkal dari kemiskinan struktural yang diciptakan oleh sistem kapitalisme liberal. Di sektor pertanian pun banyak ketimpangan yang dialami petani sehingga mereka selalu berada dalam keadaan terimpit. Mulai dari kesulitan mendapatkan saprotan, kepemilikan lahan yang sangat minim, hingga harga penjualan panen yang tidak menguntungkan.
Politik Pangan Kapitalisme sebagai Problem Utama
Cara pandang yang hanya melihat persoalan ini di tataran teknis—bukan problem sistemis dan ideologis—menjadi penyebab masalah ini tidak kunjung teratasi. Akhirnya, masalah seputar pemenuhan pangan terus terjadi berulang, bahkan dengan kondisi yang makin hari makin buruk.Jika ditelaah lebih dalam, kita akan menemukan bahwa penyebab karut-marut ini berpangkal dari sistem politik pengelolaan pangan yang kapitalistik neoliberal. Secara politik, bukti penerapan sistem ini sangat terasa dengan ketiadaan peran negara yang sebenarnya. Negara/pemerintah hadir sekadar sebagai regulator dan fasilitator, bukan penanggung jawab dan pengurus rakyat. Sementara itu, pengurusan berbagai urusan rakyat malah diserahkan kepada korporasi sehingga akhirnya diatur “suka-suka” korporasi dan dikelola untuk mencari keuntungan semata.
Di samping itu, wajah lembaga-lembaga teknis negara, seperti Bulog, hadir di tengah rakyat tidak lagi murni lagi sebagai pelayan dan pengurus, melainkan sebagai pebisnis. Bulog dan BUMN lainnya bukan lagi perpanjangan tangan negara untuk melayani dan mengurusi kebutuhan rakyat, melainkan layaknya korporasi yang bersaing dengan korporasi swasta untuk mencari profit. Paradigma bisnis inilah yang menghalangi Bulog tidak melakukan penyerapan gabah petani karena dapat merugikan Bulog dan fungsi komersial ini akan makin diperkuat karena dipandang akan menstabilkan harga.
Begitu pula konsep desentralisasi kekuasaan yang juga menjadi bagian dari sistem politik demokrasi kapitalisme, makin merunyamkan persoalan pangan. Entah pada desentralisasi di antara kementerian dan badan pengurusan pangan, maupun dalam bentuk otonomi daerah. Alhasil, ini melemahkan upaya distribusi pangan antardaerah guna menstabilkan harga.
Pada aspek ekonomi, sistem ekonomi kapitalisme dengan paham kebebasan dan mekanisme pasar bebas meniscayakan munculnya korporasi-korporasi raksasa yang bisa mengakses modal sangat besar. Mereka bisa menguasai seluruh rantai usaha pertanian, mulai dari produksi, distribusi, hingga konsumsi, bahkan termasuk importasi. Model korporatisasi seperti ini akhirnya mampu mengambil kendali terhadap pasokan pangan, serta mengendalikan harga pasar dan tingkat konsumsi masyarakat. Demikianlah problem utamanya, yakni penerapan sistem politik demokrasi kapitalisme sehingga melahirkan pemerintahan yang lemah, abai, dan gagal mengurusi rakyat. Oleh karenanya, penguasa “aslinya” bukanlah negara, melainkan korporasi.
Politik Pangan Islam Menstabilkan Harga
Islam memiliki paradigma yang berbeda dalam mengatur pangan sehingga mampu mewujudkan pemenuhan pangan bagi seluruh rakyat, termasuk di dalamnya jaminan stabilitas harga. Adanya jaminan di dalam Islam ini disebabkan politik ekonomi Islam memang menegaskan bahwa tujuannya adalah untuk menjamin pemenuhan kebutuhan pokok bagi seluruh individu rakyat. Pelaksanaannya wajib berada di pundak negara.Secara terperinci, pengaturan Islam tegak pada dua pilar sistemnya, yaitu politik dan ekonomi, yang keduanya sangat berbeda dengan kapitalisme neoliberal. Dalam Islam, tanggung jawab pengaturan pangan berada sepenuhnya di pundak negara (Khilafah). Rasulullah saw. telah menegaskan dalam sabdanya, “Imam (khalifah) adalah raa’in (pengurus hajat hidup rakyat) dan ia bertanggung jawab terhadap rakyatnya.” (HR Muslim dan Ahmad). Dalam hadis lainnya, Rasulullah saw. menegaskan, “Khalifah itu laksana perisai tempat orang-orang berperang di belakangnya dan berlindung kepadanya.” (HR Muslim). Oleh karenanya, terlarang menyerahkan penguasaan kepada korporasi untuk pengaturan pangan.
Politik pangan Islam untuk menstabilkan harga juga sangat terkait dengan penerapan pada aspek produksi. Kemampuan negara dalam mengendalikan harga ditentukan penguasaannya terkait pasokan. Oleh karena itu, Khilafah wajib hadir mulai dari produksi, distribusi, hingga konsumsi. Pada aspek produksi, Khilafah menjamin tersedianya pasokan dengan produksi dalam negeri untuk konsumsi dan cadangan pangan negara. Kebijakan pertaniannya dijalankan dengan dua strategi, yaitu intensifikasi dan ekstensifikasi pertanian, termasuk penerapan hukum pertanahan yang akan menjamin seluruh lahan pertanian berproduksi secara optimal dan kepemilikan juga mudah didapatkan. Terkait penguasaan pasokan, dipastikan negara akan memiliki data yang lebih presisi. Sedangkan pada aspek distribusi, negara akan hadir mengawasi para penjual dan pembeli agar terwujud sistem distribusi dan pembentukan harga yang wajar. Negara pun melarang dan mencegah terjadinya penimbunan, melarang riba, melarang praktik tengkulak, kartel dan sebagainya. Disertai penegakan hukum secara tegas sesuai sanksi Islam. Pengawasan ini betul-betul serius dilakukan sehingga negara akan mengangkat sejumlah kadi hisbah untuk melaksanakannya.Sejalan dengan itu, sistem ekonomi Islam pun diberlakukan, di antaranya mengatur kepemilikan harta sesuai syariat Islam, sistem pengembangan harta yang syar’i, sistem mata uang berbasis emas dan perak, dan sebagainya. Buah penerapan sistem ekonomi ini akan menghilangkan akumulasi harta pada segelintir orang dan perekonomian akan tumbuh karena modal benar-benar diberdayakan pada sektor riil, termasuk pertanian.Dengan sistem politik ekonomi Islam, ketahanan pangan akan terwujud karena Khilafah benar-benar berperan sebagai penjamin dan penanggung jawab melalui penerapan aturan Islam. Semua praktik distorsi harga akan tereliminasi karena pengawasan negara berjalan sehingga harga tidak mudah bergejolak. Kondisi perekonomian para petani juga akan terangkat karena negara hadir mengurusi mereka. Wallahu alam bishshowab.
Post a Comment