Oleh Atik Kurniawati
Aktivis Muslimah
KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga) atau domestic violence merupakan kekerasan berbasis gender yang terjadi di ranah personal. Kekerasan ini banyak terjadi dalam hubungan relasi personal, di mana pelaku adalah orang yang dikenal baik dan dekat oleh korban, misalnya tindak kekerasan yang dilakukan suami terhadap istri, ayah terhadap anak, paman terhadap keponakan, kakek terhadap cucu atau dialami oleh orang yang bekerja membantu kerja-kerja rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut.
Bentuk kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), mulai dari kekerasan fisik, psikis, seksual, hingga penelantaran ekonomi. Dampak yang dialami para korban KDRT bermacam-macam, mulai dari luka fisik, trauma emosional, depresi, kecemasan, hingga masalah kesehatan mental lainnya. Pada beberapa kasus KDRT yang berat, kekerasan yang dialami berujung pada kematian, dibunuh, atau bunuh diri.
Sebagaimana kasus yang terjadi belum lama ini pada RFB, seorang istri mantan Perwira Brimob berinisial MRF. RFB mengalami kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) berulang kali oleh suaminya.
RFB diketahui mengalami luka fisik hingga psikologis akibat kekerasan yang ia terima dari sang suami. "Luka-luka yang diderita korban meliputi memar pada wajah, dada, dan punggung, serta lecet pada kepala dan tangan," kata Kepala Seksi Intelijen Kejaksaan Negeri Depok M. Arief Ubaidillah. Ubaidillah juga menyampaikan, korban mengalami pendarahan dan keguguran sebagai akibat dari tindakan kekerasan terdakwa.
Di sisi lain, kuasa hukum korban, Renna A. Zulhasril menuturkan, kekerasan yang terjadi pada Juli 2023 terjadi di ruang kerja MRF. Suaminya itu tak segan menganiaya RFB di depan anaknya. "Korban dipukul, dibanting, diinjak-injak gitu. Jadi ada semua buktinya, ada luka yang cukup berat sampai (korban) keguguran, janin keguguran usia empat bulan," ungkap Renna. Adapun terkait status terduga pelaku, saat ini MRF sudah PTDH (Pemberhentian Tidak Dengan Hormat) dari kesatuannya. (media online Kompas, 22/3/2024)
Ironis, polisi yang seharusnya menjadi pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat malah justru melakukan tindak kekerasan kepada keluarganya sendiri.
Akar Masalah KDRT
Ketua Komnas Perempuan Andy Yetriyani menyebutkan berdasarkan data Komnas dan Badan Peradilan Agama (Badilag) jumlah kekerasan terhadap perempuan sepanjang 2023 mencapai 401.975 kasus, turun 55.920 kasus atau 12 persen dari tahun sebelumnya sekitar 457.895 kasus. Berdasarkan data Komnas Perempuan dan lembaga layanan, Kekerasan Terhadap Istri (KTI) menduduki jumlah tertinggi sebanyak 674 kasus di Komnas Perempuan sedangkan di lembaga layanan sebanyak 1.573 kasus.
Tindakan kekerasan dalam rumah tangga alias KDRT masih menjadi momok menakutkan bagi perempuan. Meski marak terjadi, mayoritas masih enggan melapor dengan berbagai pertimbangan sehingga bisa jadi kasus yang terjadi lebih banyak daripada yang dilaporkan. Walaupun telah ada UU no. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, jumlah kasus KDRT tetaplah tinggi.
Komisioner Komisi Nasional Anti-Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), Aminah Tardi, mengatakan berkelindannya kasus KDRT dengan miskonsepi soal relasi kuasa di antara suami dan istri misalnya, membuat jumlah kasus KDRT tetap tinggi. Laki-laki, lanjutnya, dikonstruksikan sebagai superior di atas perempuan dan dianggap berhak melakukan kontrol dan mengatur perempuan dengan berbagai cara, termasuk dengan kekerasan fisik, psikis, dan seksual, maupun penelantaran ekonomi.
Namun saudaraku, cara berpikir seperti di atas adalah cara berpikir yang lahir dari sistem sekuler. Sistem yang memisahkan agama dari kehidupan dimana kebebasan individu berada diatas segalanya. Tuduhan bahwa superioritas laki-laki di tengah keluarga merupakan biang keladi atau akar masalah dari kekerasan di dalamnya adalah salah. Sehingga memperjuangkan kesetaraan gender sebagai solusi adalah juga salah. Kesalahan dalam mengidentifikasi masalah akan menyebabkan terjadinya kesalahan dalam menghadirkan solusi.
Faktor penyebab KDRT sangatlah beragam. Jika ditelaah, terdapat 2 faktor sebagai pemicunya.
Pertama, faktor internal yang berasal dari pasangan suami istri itu sendiri. Bisa karena kesalahpahaman, ketidakcocokan dan sebagainya.
Kedua, faktor eksternal seperti ekonomi, sosial, budaya , hukum dan yang lainnya terkait lingkungan dan sistem yang diterapkan di masyarakat.
Jadi kesimpulannya , faktor KDRT itu sistemis dan berkelindan. Satu sama lain saling berkaitan. Maka solusinya pun juga harus sistemis.
Solusi KDRT dalam Islam
Allah menciptakan laki-laki dan perempuan beserta kodrat dan fungsi seksual/nonseksualnya masing-masing, tidak bisa ditukar antara satu dan yang lainnya. Secara fisik, pada umumnya laki-laki lebih kuat dibandingkan perempuan. Secara psikis, perempuan memiliki jiwa lemah lembut dan keibuan, sedangkan laki-laki memiliki sikap tegas dan cenderung memimpin. Demikian juga fungsi seksualnya. Laki-laki tidak akan pernah bisa hamil dan melahirkan sebagaimana perempuan karena mereka tidak memiliki rahim. Sedangkan terkait fungsi nonseksualnya, syariat Islam mengatur bahwa laki-laki berperan sebagai kepala keluarga, sedangkan perempuan adalah ibu dan manajer rumah tangga (ummun wa rabbatul bait).
Dalam syariat Islam terdapat seperangkat solusi bagi kehidupan manusia, termasuk dalam berumah tangga. Islam mengatur hak dan kewajiban suami istri dan mewajibkan keduanya untuk bekerja sama saling menolong membentuk keluarga yang sakinah, mawadah, dan penuh rahmat.
Islam mewajibkan suami istri saling bersikap baik dan lemah lembut, tidak kasar, memiliki adab yang baik satu sama lain. Laki-laki adalah pemimpin rumah tangga (qawwam). Segala permasalahan rumah tangga harus diselesaikan secara baik-baik dan tidak emosional.
Dan penerapan hukum Islam dalam keluarga tidak bisa dilakukan hanya oleh individu-individu keluarga muslim, melainkan juga butuh kontrol masyarakat dan adanya peran negara. Kontrol masyarakat terwujud dengan mendakwahkan Islam kepada keluarga keluarga muslim yang ada di sekitar kita sehingga mereka paham dan mau menjalankan aturan tersebut. Ketika terjadi pertengkaran, kita bisa menasihati keduanya (suami istri) agar menjadikan Islam sebagai acuan dalam menyelesaikan semua problem rumah tangga.
Sedangkan negara berperan penting dalam menerapkan syariat Islam kaffah dalam seluruh aspek kehidupan, termasuk aturan keluarga. Penerapan Islam kaffah akan mewujudkan masyarakat sejahtera, aman, dan damai, serta akan menciptakan lingkungan yang sangat kondusif bagi terwujudnya keluarga keluarga muslim taat syariat.
Ketika terjadi pelanggaran syariat Islam, seperti tindakan kekerasan suami yang mengancam keselamatan, Islam menetapkannya sebagai tindak kejahatan (jarimah). Untuk itu, negara akan menerapkan sistem sanksi Islam yang akan menghukum para pelakunya dengan hukuman berat sesuai ketetapan Islam. Sanksi tersebut akan membuat pelaku jera dan mencegah siapa pun bertindak serupa. Sanksi tersebut pun tidak akan berpengaruh bagi perekonomian keluarga tersebut karena negara akan menjamin penuh semua kebutuhan hidup mereka.
Sudah seharusnya kita menjadikan Islam sebagai satu-satunya solusi dalam seluruh masalah umat, bukan yang lainnya. Dan aturan Islam tersebut hanya bisa diterapkan dalam negara dengan sistem Islam yaitu Daulah Khilafah.
Wallahualam bissawab
Post a Comment