Pertanian telah menjadi tulang punggung ekonomi dan kehidupan masyarakat di Indonesia selama berabad-abad. Lahan yang masih sangat luas, iklim yang mendukung, mata pencaharian utama sebagian besar penduduk, produsen utama tanaman pangan, berperan penting dalam kontribusi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) negara, seluruh faktor tersebut membuat Indonesia disebut sebagai negara agraris. (Kompas.com, 22/11/2023).
Memperhatikan hal tersebut di atas, tidak salah jika kemudian dikatakan pertanian merupakan salah satu sektor yang erat dengan kebutuhan dasar masyarakat. Oleh karena itu perlu usaha signifikan untuk menaikkan produksi pertanian. Namun kenyataanya berbeda dari yang dicita-citakan. Para petani sebagai tokoh penting dalam sektor pertanian dihadapkan pada berbagai kesulitan. Pupuk salah satunya.
Terkait pupuk, para petani banyak mengeluhkan sulitnya mencari pupuk subsidi. Sekalipun ada penambahan alokasi pupuk dari 4,7 juta ton menjadi 9,55 juta ton, realitanya ketersediaan pupuk bersubsidi masih saja terbatas.
Mengutip Kontan, 18/4/2024, terbatasnya jumlah pupuk dan ketatnya pemenuhan persyaratan untuk memperolehnya, bahkan mereka harus mendaftar menggunakan KTP demi mendapatkan pupuk bersubsidi, menjadi penyebab kesulitan.
Kesulitan lainnya lagi yang dihadapi para petani adalah seringnya mereka menemukan harga pupuk bersubsidi di atas harga eceran tertinggi (HET). Beberapa kios diduga melakukan kecurangan dalam mendistribusikan pupuk yang mengakibatkan para petani harus keluar biaya lebih untuk mendapatkan pupuk bersubsidi. Di Bojonegoro, harga pupuk urea Rp121,5 ribu per sak dari Rp112,5 ribu per sak. Pupuk nonsubsidi lebih mahal lagi, yakni bisa mencapai Rp320 ribu per sak. (Radar Bojonegoro, 20/4/2024).
*Terbelenggu Aturan yang Tak Menyelesaikan*
Melansir Antara, 20/4/2024, ternyata terdapat aturan bahwa para petani hanya bisa mendapatkan pupuk bersubsidi di Kios Pupuk Lengkap (KPL) resmi di wilayah masing-masing. Tidak hanya itu, hanya petani yang terdaftar di Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (RDKK) saja yang bisa membelinya. Ini sesuai dengan aturan Permentan Nomor 10 Tahun 2022 Tata Cara Penetapan Alokasi dan Harga Eceran Tertinggi Pupuk Bersubsidi Sektor Pertanian.
Dengan aturan tersebut, petani wajib memenuhi beberapa syarat agar bisa mendapat subsidi. Pertama, harus ikut kelompok tani dan terdaftar dalam Sistem Informasi Manajemen Penyuluh Pertanian (Simluhtan). Kedua, petani wajib menggarap tanah maksimal dua hektare. Ketiga, petani wajib memiliki dan menggunakan kartu tani (daerah tertentu). Keempat, petani hanya menanam komoditas padi, jagung, kedelai, bawang merah, bawang putih, cabai, kopi, tebu rakyat, dan kakao.
Aturan tersebut menjadikan petani yang menanam dengan komoditas tertentu saja yang bisa memperoleh pupuk subsidi. Artinya, petani yang menanam di luar itu tidak akan mendapatkannya. Ini mengindikasikan ada paksaan dalam memilih tanaman pertanian. Pemegang kebijakan akhirnya mengarahkan masyarakat untuk menanam komoditas tertentu. Masalahnya, pertanian masyarakat bukan hanya satu komoditas, ada banyak komoditas lain yang juga memperlukan penggunaan pupuk. Aturan telah membelenggu tanpa memberi penyelesaian yang melegakan para petani.
*Swasembada Hanya Mimpi*
Bila bicara tentang swasembada, sangat mengejutkan bila ternyata negeri ini masih tergantung impor. Saat Bapak Jokowi, Presiden ndonesia menyatakan bahwa bahan baku pupuk ternyata masih impor, rasanya swasembada hanya menjadi jargon saja. Salah satu impor yang dilakukan adalah amonium nitrat sekitar 21% dari total kebutuhan industri. Meski saat ini sedang ada pembangunan PT Kaltim Amonium Nitrat (KAN) yang merupakan joint venture PT Pupuk Kaltim dengan PT Dahana, nyatanya hanya bisa menutupi impor 8% amonium nitrat sehingga pemerintah tetap harus impor. (Kompas, 29/2/2024).
Dari sini terlihat seakan pemerintah menginginkan swasembada pangan agar masyarakat merasakan kemakmuran, tetapi di sisi lainnya pemerintah berhadapan dengan beragam kesulitan. Tampaknya upaya penyelesaian hanya di permukaan saja, padahal program ekstensifikasi dan intensifikasi pertanian untuk menopang ketersediaan pangan tidak bisa berjalan manakala solusi mendasar yang digunakan masih bermasalah. Jika impor masih menjadi solusi untuk sebuah ketersediaan, bagaimana bisa kemandirian yang menunjang swasembada pangan bisa tercapai.
Penerapan kapitalisme dengan sekularisme dan materialisme sebagai dasar pembuatan aturan, menjadikan regulasi yang dibuat hanya berorientasi pada profit. Bahan baku yang masih impor, menjadikan kebutuhan pembiayaan besar untuk membuat pupuk. Walhasil jika targetnya adalah profit, maka pupuk pun dijual dengan harga mahal. Sekalipun ada ancaman bagi yang bertindak curang terkait bisnis pupuk, nyatanya masih saja ada pihak yang ingin memanfaatkan. Mafia-mafia kapitalis tanpa rasa takut menjual pupuk dengan harga lebih tinggi. Rakyat pun menjadi korban.
Jika keadaan ini masih terus berlangsung, swasembada pangan hanya sekadar mimpi. Realisasi menjadi utopis.
*Sistem Islam Menjadikan Mimpi Jadi Kenyataan*
Berbicara tentang pemenuhan kebutuhan pangan, apa pun terkait pengadaannya adalah suatu hal yang harus diupayakan. Demikian juga dengan keberadaan pupuk.
Pupuk sebagai bagian yang sangat dibutuhkan dalam pertanian menjadi kewajiban negara untuk menyediakannya. Tentunya negara harus menyiapkan dengan harga yang bisa dijangkau oleh masyarakat. Jika dalam sistem kapitalis ini menjadi ajang bisnis, maka tidak dengan Islam. Dalam Islam, pemenuhan kewajiban ini menjadi suatu keharusan.
Negara akan mendorong penelitian dan memproduksi bahan baku pupuk secara mandiri tanpa perlu impor. Aturan yang tegas diterapkan negara. Jika ada yang berlaku curang akan mendapatkan sanksi yang menjerakan sehingga tidak akan ada yang berani melakukan kecurangan. Mafia pupuk tidak berani melancarkan aksi jahatnya. Nuansa ketaatan dibangun agar kemaksiatan tak menjadi kebiasaan.
Dalam sistem Islam, negara sebagai pengurus rakyatnya akan menyediakan sumber dana untuk membantu petani. Sumber pendapatan negara sangat banyak, seperti jizyah, fai, kharaj, ganimah, pengelolaan SDA, dan sebagainya. Sumber keuangan ini dimanfaatkan untuk membantu petani baik berupa modal maupun penyediaan sarana pendukung pertanian.
Demikianlah jika berharap swasembada bukan hanya sekadar mimpi, masalah pupuk bukan lagi jadi penghalang, berbagai masalah pertanian menghambat, maka kembali pada sistem Islam adalah satu-satunya jawaban. Niscaya harapan pun menjadi kenyataan.
Wallaahu a'laam bisshawaab.
Post a Comment