Pegiat Literasi
Beberapa pekan ini, gula menjadi komoditas yang menjadi sorotan. Selain karena stoknya yang langka di pasaran, juga harganya yang melejit. Dalam dua minggu terakhir, harga gula terpantau terus merangkak naik di beberapa daerah.
Panel Harga Badan Pangan mencatat, harga gula hari Jumat (26/4/2024), naik Rp40 ke Rp18.260/kg. Sepekan sebelumnya (19 April 2024), harganya masih di angka Rp18.060/kg. Harga tersebut adalah rata-rata harian nasional di tingkat pedagang eceran. Harga tertinggi hari Jumat mencapai 29.320/kg, terjadi di Papua Pegunungan. Sedangkan terendah di Kepulauan Riau, tercatat Rp16.460/kg. (cnbcindonesia.com Jumat, 26 April 2024)
Harga gula saat ini jauh melampaui harga tahun sebelumnya. Setahun lalu, harga gula masih berkisar rata-rata Rp14.400/kg di bulan April. Harga terpantau terus menanjak sejak September 2023, hingga mencapai level tertinggi di bulan Desember yang tercatat di Rp17.270/kg. Sebelumnya Badan Pangan Nasional (BAPANAS) merelaksasi harga gula di tingkat konsumen dengan menaikkannya menjadi Rp1.750/kg hingga Mei mendatang. Harga tersebut naik Rp1.500/kg di wilayah Jawa jika dibandingkan kenaikan yang dilakukan pada akhir 2023 lalu.
Terkait masalah ini, Ketua Umum Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) Soemitro Samadikoen menyebut, kenaikan harga gula di tingkat konsumen terjadi karena minimnya ketersediaan gula, ditambah pemerintah tidak memiliki stok atau cadangan gula nasional. Setiap kali impor pun pemerintah ternyata tidak menyisihkan simpanan stok gula untuk cadangan. Akibatnya, saat harga gula bergejolak seperti saat ini, pemerintah tidak bisa melakukan intervensi harga.
Penyebab Lonjakan Harga Gula
Terjadinya gejolak harga gula saat ini, kemungkinan besarnya diakibatkan adanya permainan harga yang dilakukan oleh para ritel. Selain sebagai dampak dari minimnya cadangan gula nasional. Kondisi tersebut diperparah dengan adanya kendali para pedagang besar hingga mempengaruhi kebijakan pemerintah. Dengan kata lain, para kapitalis secara nyata telah berperan lebih kuat dalam mengendalikan fluktuasi harga gula di pasaran.
Dengan demikian tampak jelas bahwa persoalan gula bukan sekadar kelangkaan hingga harganya menjadi mahal. Namun, ada persoalan sistemis yang turut memengaruhi, yakni kacaunya tata niaga gula di pasaran. Hal tersebut dipengaruhi adanya intervensi pemodal di tingkat kebijakan politik gula. Tidak heran, solusi yang diambil oleh pemerintah juga pada akhirnya memihak kepentingan pengusaha, bukan masyarakat luas.
Gula Menjadi Industri Strategis bagi Kapitalis
Gula termasuk salah satu kebutuhan pokok masyarakat, khususnya sebagai sumber kalori. Gula juga merupakan salah satu komoditas strategis dalam perekonomian Indonesia. Peran pentingnya dapat dilihat dari sisi ketahanan dan keamanan pangan, penyerapan investasi, serta luasnya keterkaitan dalam industri hilir, seperti industri makanan, minuman, gula rafinasi, farmasi, kertas, particle board, dan bio-energy.
Permintaan gula dalam negeri sendiri terus meningkat setiap tahun. Potensi ini tentu menarik bagi para kapitalis di dalam negeri sendiri. Dengan penerapan sistem ekonomi kapitalis yang menjadikan negara sebagai regulator, membuat pemilik modal memiliki peluang lebar untuk memonopoli pasar.
Padahal industri gula sejatinya adalah industri yang efektif dalam meningkatkan perekonomian masyarakat. Sebab, Industri gula sangat terkait dengan sumber daya alam lokal,yakni pertanian tebu. Hingga industri gula dapat dikembangkan sebagai high value commodity (komoditas bernilai tinggi) bagi pemberdayaan ekonomi rakyat.
Sayangnya, dalam sistem ekonomi kapitalisme, yang meraup keuntungan besar dari aset ekonomi rakyat (komoditas gula khususnya) justru para kapitalis. Tata niaga gula nasional yang mengandalkan impor menjadi lahan subur bagi para importir (kapitalis) untuk memburu rente ketika terjadi kelangkaan gula. Sebaliknya, naiknya harga gula tidak lantas menguntungkan para petani tebu.
Tata Niaga Gula dalam Sistem Islam
Negara dalam Islam memahami bahwa gula adalah salah satu bahan pangan pokok yang menjadikannya sebagai komoditas strategis. Oleh karena itu, negara akan mengurus gula sebagai bagian dari urusan masyarakat secara keseluruhan.
Sebagaimana sabda Rasulullah saw. , “Imam/Khalifah adalah pengurus dan ia bertanggung jawab terhadap rakyat yang diurusnya.” (HR. Muslim dan Ahmad)
Melalui mandat ini, pemimpin berperan menjamin terpenuhinya kebutuhan gula rakyat, baik skala rumah tangga maupun industri, sekaligus menjamin ketersediaannya. Pemimpin dalam Islam wajib memastikan pelaksanaan aspek hulu hingga hilir industri gula, yakni pengelolaan pertanian tanaman tebu serta jaminan peremajaan dan pembangunan pabrik gula.
Negara juga memfasilitasi riset teknik produksi gula. Jika memang ada tanaman selain tebu yang juga berpotensi menghasilkan gula, negara tentu akan mendorong riset di sektor ini. Begitu pula riset medis dan nutrisi terkait konsumsi gula per individu. Karena, penting bagi negara untuk memastikan kadar gula yang layak dikonsumsi agar gula tidak menjadi kambing hitam atas penyakit degeneratif seperti obesitas atau diabetes.
Selanjutnya, negara juga harus memastikan kecukupan stok dalam negeri dan pada saat yang sama mengerem arus ekspor untuk sementara. Jika harga gula mahal, negara berperan mengawasi rantai pasok. Agar dapat dipastikan tidak ada pedagang-pedagang nakal yang memainkan harga, melakukan penimbunan, bahkan monopoli yang bisa menyebabkan mahalnya harga gula.
Negara juga bisa mengambil langkah berupa subsidi kepada industri maupun rumah tangga rakyat, agar mereka mampu membeli dan menyimpan cadangan gula sesuai kebutuhan. Seandainya memang diperlukan impor gula, negara tentu harus memastikan sifatnya sementara sehingga impor tidak menjadi basis kebutuhan gula di dalam negeri.
Dengan demikian perlu adanya negara yang menerapkan aturan Islam secara sempurna untuk saat ini. Agar semua kebijakan tersebut dapat direalisasikan. Sehingga stabilitas harga dan ketersediaan kebutuhan pokok rakyat termasuk gula akan terwujud.
Wallahualam bissawab.
Post a Comment