Efektifkah Cegah Stunting dengan Binwin?

 


Menjelang berakhirnya bulan Ramadhan, Masyarakat biasanya sudah tidak asing dengan dikejutkannya oleh undangan pernikahan yang membludak dari biasanya.


Namun kali ini, para calon pengantinlah yang dikejutkan dengan program baru dari kemenag yakni Bimwin (Bimbingan perkawinan).


Sebab program baru ini digadang-gadang apabila tidak diikuti prosedurnya oleh calon pengantin, maka tidak adan bisa mencetak buku nikah.


Lalu bagaimana faktanya Bimbingan perkawinan dan untuk apa goals dari program ini?


Dikutip dari Kompas (30/3/2024), Kementerian Agama (Kemenag) melalui Direktorat Jenderal (Ditjen) Bimbingan Masyarakat (Bimas) Islam akan mewajibkan Bimbingan Perkawinan (Bimwin) sebagai syarat bagi calon pengantin untuk melangsungkan pernikahan. 


Keputusan tersebut didasarkan pada Surat Edaran Dirjen Bimas Islam Nomor 2 Tahun 2024 tentang Bimbingan Perkawinan bagi Calon Pengantin. 


Saat ini, tengah dilakukan sosialiasi mengenai aturan kewajiban calon pengantin mengikuti bimbingan perkawinan. Sosialisasi dengan kepala KUA, penghulu, dan penyuluh direncanakan berlangsung sampai akhir Juli 2024.


Setelah periode sosialisasi berakhir, lanjut dia, calon pengantin yang tidak mengikuti Bimwin tak akan bisa mencetak buku nikahnya hingga mengikuti Bimwin terlebih dahulu.


Suryo menyampaikan bahwa aturan ini sangat penting demi ketahanan keluarga di Indonesia. 


"Tujuan kami adalah meningkatkan kesejahteraan keluarga. Oleh karena itu, jangan ragu menyampaikan pada calon pengantin bahwa mengikuti Bimwin adalah kewajiban," paparnya. 


Ia menambahkan, kebijakan ini juga merupakan langkah untuk mengurangi angka stunting dan meningkatkan kesejahteraan keluarga. Menurutnya, bimbingan perkawinan Kemenag tidak ada pengecualian bagi calon pengantin.


Tentu saja kebijakan ini menimbulkan pro dan kontra. Apakah bisa, menurunkan angka stunting dengan program yang lebih 'menuntut' pada individu saja?


Padahal penyebab stunting bukanlah kurangnya edukasi. Namun salah satu faktor utamanya, malnutrisi dalam jangka panjang, kekurangan nutrisi selama masa kehamilan, kemiskinan dan kondisi sanitasi lingkungan yang tidak baik serta masih banyak lagi.


Kondisi ini menunjukkan jika hanya edukasi saja tidak mampu menyelesaikan masalah stunting sampai akarnya, namun justru menambah masalah baru dan seolah Negara melemparkan tanggungjawab kesehatan warga negaranya kepada tiap individu.


Kondisi tersebut sebetulnya wajar sebab saat ini keberadaan Pemerintah hanya sebagai regulator saja. Jika pun mengambil bagian mengurusi warga negaranya, maka pemerintah menghitung untung dan rugi.


Fakta yang ada memperjelas akan sistem kapitalisme yang digunakan selama ini hanya sebatas pada perhitungan materi namun tidak mampu menuntaskan masalah hingga akarnya. 


Hal ini dikarenakan Negara dalam kapitalisme tidak mampu mengelola sumber daya alam, bahkan lebih buruknya justru menyerahkan kepada pihak swasta. Negara pun tidak sungkan melakukan komersialisasi pada aspek pendidikan, kesehatan, dan berbagai layanan lainnya.


Berbeda dengan sistem Islam yang mampu menjamin rakyatnya berada dalam kesejahteraan, sehingga tidak akan ada lagi anak yang mengalami stunting dan program-program yang membuat pemerintah 'lempar batu sembunyi tangan.'


Sebab dalam sistem Islam, negara akan menguasai pengelolaan sumber daya alam. Dengan dikelolanya sumber daya alam secara mandiri otomatis akan memberikan lapangan kerja yang banyak sehingga kemiskinan akan terhindari dan secara alami faktor penyebab stunting akan teratasi.


Bahkan Negara akan menjamin kesehatan, pendidikan dan bidang lainnya untuk mensejahterakan warga negaranya.


Belum lagi peraturan hidup dalam islam yang mampu diterapkan secara kaffah apabila Negara menjalankan sistem Islam, yang mana akan turut serta membawa manusia ke dalam kesejahteraan hidup di dunia dan juga puncak kebahagiaan akhirat.


Wallahu a'lam bisshawab

Post a Comment

Previous Post Next Post