Kasus kekerasan anak kembali menjadi sorotan publik, Baru-baru ini terdapat kasus di Jakarta, Terungkap, motif pengasuh berinisial IPS (27) menganiaya JAP, balita 3 tahun, anak dari selebgram Hifdzan Silmi Nur Emyaghnia atau biasa disapa Aghnia Punjabi. Wanita asal Jawa Timur tersebut begitu bengis menganiaya balita tak berdosa itu hingga babak belur.
Kepala Satuan Reserse Kriminal (Kasatreskrim) Kepolisian Resor Kota (Polresta) Malang, Komisaris Polisi (Kompol) Danang Yudanto mengungkapkan bahwa pelaku merasa kesal terhadap korban karena menolak obat untuk menyembuhkan luka cakar. Penolakan balita itu lantas memancing rasa kesal pelaku, dan kemudian terjadilah penganiayaan keji. (Liputan6, 30-05-2024)
Seringnya terjadi kasus kekerasan terhadap anak ini membuktikan bahwa anak tidak mendapatkan jaminan keamanan bahkan dalam keluarganya sendiri. Hal ini semakin dipertegaskan dalam data yang menunjukkan banyaknya kasus kekerasan pada anak.
Sebagaimana, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) melaporkan ada 20.205 kejadian kekerasan yang terjadi di dalam negeri pada 2023. Berbagai kekerasan tersebut tak hanya secara fisik, tapi juga psikis, seksual, penelantaran, perdagangan orang, hingga eksploitasi. Jenis kekerasan yang paling banyak terjadi di tanah air sepanjang tahun lalu yakni kekerasan seksual. Jumlahnya mencapai 8.838 kejadian. Lalu, jumlah kekerasan fisik terhadap anak tercatat sebanyak 4.025 kejadian. Ada pula 3.800 kekerasan psikis pada anak yang terjadi pada 2023. Ada pula 955 kejadian penelantaran anak sepanjang tahun lalu. Kemudian, eksploitasi terhadap anak tercatat sebanyak 226 kejadian. Sedangkan, kejadian anak sebagai korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO) di Indonesia ada 195. Sementara, 2.166 jenis kekerasan dalam bentuk lainnya sepanjang tahun lalu. (Data Indonesia.id, 23-02-2024)
Data-data di atas menunjukkan betapa anak-anak dalam negeri ini tidak mendapatkan perlindungan yang semestinya dilakukan oleh keluarga, masyarakat, maupun negara. Menurut KPAI, ada tujuh penyebab maraknya kekerasan pada anak, di antaranya budaya patriarki, penelantaran anak, pola asuh, rendahnya kontrol anak, menganggap anak sebagai aset dari orang tua, kurangnya kesadaran melaporkan anaknya tindakan kekerasan, pengaruh media dan maraknya pornografi, disiplin identik dengan kekerasan, serta merosotnya moral, tetapi disisi lain, faktor terbesar penyebab kekerasan pada anak terjadi sesungguhnya ialah sistem sekuler yang diterapkan hari ini. Paradigma sekuler yang tidak menjadikan Islam sebagai standar dan dasar dalam mendidik, mengakibatkan anak tumbuh dengan kepribadian yang jauh dari ketakwaan.
Anak adalah permata orang tua dalam keluarga. Anggota keluarga memiliki kewajiban memenuhi kebutuhan anak, mendukung dan melindungi mereka. Namun, kenyataan ternyata tidak sejalan dengan kewajiban.
Penelantaran, pola asuh, rendahnya kontrol anak, dan merosotnya moral. Kondisi ini sebenarnya berpulang pada paradigma orang tua dalam mendidik anak-anak mereka. Jika menggunakan paradigma sekuler, anak telantar terjadi karena banyak faktor, seperti kesibukan orang tua bekerja, orang tua tidak memahami tanggung jawab pengasuhan, atau perceraian. Alhasil, anak tumbuh dengan sendirinya tanpa pengawasan dan pendidikan. Begitu pula dengan perangkat hukum yang belum memberikan efek jera. UU Perlindungan Anak, faktanya belum mampu mengurangi jumlah kasus kekerasan pada anak yang terus meningkat. Artinya, negara lemah dalam menjamin dan melindungi anak dari kekerasan. Sekalipun di tiap kota/kabupaten telah diterapkan kota atau sekolah ramah anak, jika sistem sekuler masih bernaung, dampak positifnya tidak akan terlihat. Hukum yang ada tidak membuat jera. Selama kapitalisme masih diterapkan, apa pun aturan yang dibuat dan sanksinya, tidak akan mampu menghapus kejahatan ini, pemikiran yang menjauhkan agama dari kehidupan tersebut telah melahirkan budaya liberalisme dan kapitalisme, yang artinya membiarkan seseorang bertingkah laku, baik itu menurut akal atau hawa nafsu serta memandang bahwa kenikmatan tertinggi adalah kesenangan duniawi semata.
Anak adalah amanah dan titipan dari Allah Taala. Sudah semestinya kita semua mendidik dan mengasuh mereka sesuai kehendak yang menitipkan, yakni mendidik anak agar memiliki ketaatan serta kepribadian yang sesuai dengan syariat Islam.
Terdapat tiga pihak yang berkewajiban menjaga dan menjamin kebutuhan anak yakni keluarga, masyarakat, dan negara.
Pertama, Keluarga sebagai madrasah utama dan pertama. Ibu berperan menjadi pendidikan awal bagi anak-anak. Sedangkan ayah berperan sebagai pemimpin keluarga. Ayah dan ibu harus bersinergi mendidik, mengasuh, mencukupi gizi anak, dan menjaga mereka dengan basis keimanan dan ketakwaan kepada Allah Taala.
Ibu berperan menjadi pendidikan awal bagi anak-anak. Sedangkan ayah berperan sebagai pemimpin keluarga.
Kedua, Masyarakat adalah pengontrol perilaku anak dari kejahatan dan kemaksiatan. Dengan penerapan sistem sosial Islam, masyarakat akan terbiasa melakukan amar makruf nahi mungkar kepada siapa pun. Budaya amar makruf inilah yang tidak ada dalam sistem sekuler kapitalisme.
Dan ketiga, Negara sebagai peran kunci mewujudkan sistem pendidikan, sosial, dan keamanan dalam melindungi generasi, memberikan pemenuhan kebutuhan berupa sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, dan keamanan setiap anak, menerapkan sistem sanksi Islam. Sepanjang hukum Islam ditegakkan, kriminalitas jarang terjadi. Ini karena sanksi Islam memberi efek jera bagi pelaku sehingga tidak akan ada cerita kasus kejahatan atau kekerasan berulang terjadi.
Wallahu'alam bishowab
(Hanya Allah yang lebih mengetahui kebenaran yang sesungguhnya)
Post a Comment