Dilema Rakyat Jelang Lebaran


Penulis : Dinda Kusuma W T


Ramadhan adalah bulan yang istimewa bagi rakyat Indonesia. Alasannya tentu karena mayoritas penduduk Indonesia adalah muslim. Berbagai euforia dilakukan umat islam Indonesia sejak datangnnya bulan Ramadhan hingga penghujung bulan yang diakhiri dengan rangkaian perayaan hari raya idul fitri. Begitu besar antusiasme masyarakat praktis menyebabkan lonjakan kegiatan ekonomi mulai dari jual beli bahan makanan, sandang, transportasi dll. Permintaan pasar meningkat dan harga-hargapun naik. 


Fenomena tahunan ini sayangnya hanya dipandang dari sisi kapitalis oleh penguasa.  Meningkatnya kebutuhan atau permintaan pasar sekedar dijadikan ajang mencari keuntungan. Lonjakan harga yang mencekik rakyat tidak pernah digubris. Penguasa kerap menjadikan kebutuhan darurat  masyarakat sebagai kesempatan untuk berbisnis dengan rakyatnya sendiri. Membiarkan rakyat merasakan dilema antara keinginan merayakan Ramadhan dan idul fitri dengan harga kebutuhan yang kian mahal.


Dari sektor pangan, lonjakan harga bahkan telah dimulai jauh sebelum bulan Ramadhan.  Beras yang menjadi kebutuhan paling utama pun harganya naik sejak awal tahun 2024 sampai saat ini tidak ada tanda-tanda akan turun seperti sedia kala. Diikuti dengan kenaikan berbagai kebutuhan yang lain, seperti minyak goreng, tepung, telur, daging, sayuran, hingga bumbu-bumbu dapur. Jelang Ramadhan harga-harga kebutuhan itupun terus naik tanpa antisipasi berarti dari pemerintah. Mirisnya, tingginya kebutuhan pangan dijawab dengan dibukanya kran impor secara besar-besaran.  


Dilansir dari CNBC Indonesia, Plt (Pelaksana tugas) Kepala Badan Pusat Statistik (BPS), Amalia Adininggar Widyasanti mengatakan, nilai impor barang konsumsi per Februari 2024 sebesar US$ 1,86 miliar atau naik 5,11% dibanding Januari 2023. Sedangkan dibanding Februari 2024 yang senilai US$ 1,36 miliar naik 36,49%. “Secara bulanan nilai impor barang konsumsi naik US$ 90,5 juta atau naik 5,11%,” kata Amalia saat konferensi pers di kantornya, Jakarta, pada Jumat 15 Maret 2024 lalu (cnbcIndonesia.com, 15/03/2024).


Impor rupanya masih dipilih sebagai solusi pragmatis. Problem tahunan yang sudah terjadi sejak sekian dekade lalu harusnya menggugah pemerintah mencari solusi demi kesejahteraan rakyat. Bergantung kepada impor hanya menyelesaikan masalah sesaat namunmenimbulkan masalah baru yang lebih besar dikemudian hari. Ketidak mandirian pada sektor pangan bisa membahayan stabilitas nasional dan kedaulatan negara. Bayangkan apabila negara pengimpor mengetahui bahwa Indonesia tidak mampu memproduksi pangan yang cukup secara mandiri, hal ini akan dijadikan kesempatan untuk memonopoli harga. Jerat impor pada akhirnya membuat negara tidak bisa berbuat apa-apa selain menuruti permintaan negara pengimpor. Inilah gambaran kecil hilangnya kedaulatan negara akibat tidak terwujudnya swasembada pangan. 


Melengkapi beban utama rakyat tentang kenaikan harga pangan, pemerintah juga menaikkan tarif tol dengan kenaikan yang cukup signifikan. Apapun alasannya, kenaikan tarif tol jelas memberatkan rakyat. Seolah mencari momen yang tepat, tarif tol naik menjelang hari raya idul fitri dimana sebagian besar masyarakat Indonesia melakukan tradisi mudik atau pulang kampung. Miris, tampak jelas bahwa jalan tol semata-mata ajang bisnis. Kemudian di sektor lainnya tak kalah membuat rakyat resah, seperti sektor pendidikan, kesehatan, politik dll. Semua ini dilema yang harus ditanggung oleh rakyat akibat penerapan sistem ekonomi kapitalis. 


Kapitalisme menjadikan negara  hanya sebagai regulator. Perekonomian rakyat banyak diserahkan kepada swasta. Tujuannya tidak lain adalah meraup keuntungan pribadi, yaitu pengusaha dan penguasa. Bahkan komoditi yang menjadi kebutuhan pokok rakyat seperti  beras dan fasilitas jalan raya, pengelolaannya diserahkan kepada swasta. Dipadukan dengan sistem demokrasi, maka negara bersama pengusaha memiliki peluang membuat aturan yang menguntungkan kaum kapital atau oligarki, sebab orang-orang yang berada dalam pemerintahan tidak lain adalah mereka sendiri. Akibatnya, dalam sistem ini, kaum kapital (pemilik modal) yang sudah kaya menjadi semakin kaya, sedangkan rakyat miskin semakin miskin dan tercekik. 

 

Satu-satunya jalan keluar dari kebobrokan ini adalah merubah sistem kapitalis demokrasi seluruhnya menjadi sistem yang lebih baik dan sempurna yaitu Islam. Sistem yang aturannya berasal dari wahyu Allah SWT, bukan berasal dari hasil pemikiran manusia. Dalam hal pangan, terutama bahan pangan pokok seperti beras, maka negara bersistem islam akan memberi perhatian yang besar dengan mewujudkan swasembada pangan. Pantang bagi negara islam untuk bergantung kepada asing. Demikian pula dalam hal penyediaan infrastruktur seperti jalan raya. Negara islam akan membangun seluruh jalan raya dengan sebaik-baiknya. Bukan hanya jalan tol seperti sekarang. Jalan berbayar sejenis jalan tol hanya akan dijadikan sebagai alternatif setelah memastikan seluruh jalan utama dibangun sebagus mungkin.


Terpenting, sistem islam adalah sistem yang penerapannya bertujuan mendapat ridha Allah. Setiap aturan yang terpancar darinya adalah solusi bagi masalah umat, bukan alat untuk meraup keuntungan. Bagi seorang pemimpin islam, rakyat adalah amanah yang akan dimintai pertanggungjawabannya di akhirat kelak. Sehingga atas dasar rasa takutnya kepada Allah, pemimpin islam yang menerepan sistem islam secara kaffah (total menyeluruh) tidak akan membiarkan rakyat berada dalam berbagai dilema yang berkepanjangan. 

Wallahu a’alam bishsawab

Post a Comment

Previous Post Next Post