(Praktisi Kesehatan)
Ada saja yang membuat resah, belum juga terima Tunjangan Hari Raya (THR) dari perusahaannya, kabar pemotongan lewat pajak THR yang konon lebih tinggi membuat pikirannya berkecamuk. Terlebih perhitungan pajak tunjangan yang datangnya setahun sekali itu akan dilakukan penyesuaian lewat mekanisme baru. Dalam buku Cermat Pemotongan PPh Pasal 21/26 yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) disebutkan, penghitungan pajak penghasilan (PPh) pasal 21 pada bulan diterimanya THR dihitung berdasarkan skema tarif efektif rata-rata (TER). TER terbagi atas Tarif Efektif Bulanan dan Tarif Efektif Harian.
Tarif Efektif Bulanan dikategorikan berdasarkan besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) sesuai status perkawinan dan jumlah tanggungan wajib pajak pada awal tahun pajak. TER Efektif Bulanan terbagi menjadi kategori Kategori A, Kategori B, dan Kategori C. Sedangkan Tarif Efektif Harian ditetapkan khusus untuk pegawai tidak tetap. Sebagai gambaran untuk kasus wajib pajak menerima THR, dengan metode penghitungan PPh pasal 21 sebelum TER, maka pemberi kerja akan melakukan dua kali penghitungan dengan tarif pasal 17 yaitu PPh 21 untuk gaji dan PPh 21 untuk THR. Sebagai gambaran untuk kasus wajib pajak menerima THR, dengan metode penghitungan PPh pasal 21 sebelum TER, maka pemberi kerja akan melakukan dua kali penghitungan dengan tarif pasal 17 yaitu PPh 21 untuk gaji dan PPh 21 untuk THR.
Pengamat Pajak Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), Fajry Akbar, mengakui pihaknya menjadi salah satu yang protes terkait mekanisme baru perhitungan PPh 21. PPh Pasal 21/26 sejatinya adalah penghasilan yang diterima atau diperoleh pegawai tetap, baik yang bersifat teratur maupun tidak teratur. Penghasilan berupa seluruh gaji, segala jenis tunjangan dan penghasilan teratur lainnya, termasuk uang lembur (overtime) dan penghasilan sejenisnya. Kemudian bonus, THR, jasa produksi, tantiem, gratifikasi, premi, dan penghasilan lain yang sifatnya tidak teratur, dan lain sebagainya. Menurut Fajry, kebijakan baru ini jelas akan membebani masyarakat jika komponen bonus atau THR dijadikan sasaran objek pajak. Dampaknya, jadi lebih besar pajak yang harus dibayarkan dibandingkan metode semula meski di akhir tahun nanti akan ada penyesuaian.
Direktur Eksekutif Institute For Development of Economics and Finance (Indef), Esther Sri Astuti, mengatakan memang sebaiknya THR tidak dimasukan sebagai objek pajak yang dikenakan pajak. Terlebih THR bukan pendapatan seperti halnya gaji. "Kalau tunjangan hari raya itu jangan dikenakan pajak karena itu bukan pendapatan. Tapi itu seperti uang liburan musim panas kalau di negara-negara Eropa yang diberikan ke masyarakat sebagai bentuk tunjangan negara," ujar dia kepada Tirto, Rabu (27/3/2024). Berdasarkan skema lama, wajib pajak mesti menghitung jumlah penghasilan kena pajak (PKP) selama setahun. Tarif pajak lantas dikenakan ke PKP itu untuk mengetahui jumlah pajak yang harus dibayar dalam setahun. Angka setahun itu lalu dibagi 12 untuk mendapat angka potongan PPh bulanan.
Sedangkan berdasarkan mekanisme baru, potongan PPh dihitung tiap bulannya. Oleh karenanya, potongan PPh pada bulan Maret atas pemasukan yang mencakup THR jadi lebih besar dibandingkan Februari yang tanpa THR. Dwi Astuti, Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat di Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, mengatakan bahwa TER tidak menambah beban pajak yang ditanggung oleh wajib pajak. Beban pajak kumulatif seseorang selama setahun akan tetap sama. Namun, bagi pekerja, besarnya pajak pada Bulan Maret saat menerima THR tentu sangat terasa karena jumlahnya melonjak dibandingkan bulan sebelumnya. Sedangkan uang THR sangat diharapkan untuk keperluan berlebaran seperti mudik, membeli sembako, dll.. Dengan demikian, potongan pajak yang melonjak akan membuat banyak mengurangi jumlah THR yang diterima.
Penerapan pajak atas THR merupakan praktik perekonomian khas kapitalisme. Sistem kapitalisme menjadikan pajak sebagai pemasukan utama negara. Hal ini tampak pada besarnya porsi penerimaan pajak dibandingkan dengan penerimaan dari sumber lainnya. Pada 2023, realisasi pendapatan negara mencapai Rp2.774,3 triliun. Adapun penerimaan perpajakan mencapai Rp2.155,4 triliun atau 77%. Sedangkan nilai penerimaan negara bukan pajak (PNBP) pada 2023 hanya Rp605,9 triliun atau 21%. (Katadata, 3-1-2024). Di dalam PNBP tersebut terdapat Pos Pendapatan SDA yang jumlahnya tentu lebih kecil lagi. Ini tentu miris, mengingat kekayaan alam Indonesia yang luar biasa besarnya, tetapi penerimaan dari SDA minim, sedangkan mayoritas penerimaan justru dari pajak. Pajak sendiri adalah setoran rakyat pada negara. Dominasi pajak pada penerimaan di APBN ini menunjukkan bahwa rakyat tengah membiayai negara ini secara mandiri. Ironisnya lagi, hasil uang pajak berupa pembangunan dan layanan publik juga ternyata tidak leluasa dinikmati rakyat. Terbukti, layanan publik seperti pendidikan dan kesehatan nyatanya makin mahal. Untuk menikmati hasil pembangunan infrastruktur, seperti jalan tol, kereta cepat, dan sebagainya pun rakyat harus merogoh kantong dalam-dalam.
Kondisi yang berbeda terwujud dalam sistem pemerintahan Islam. Sistem pemerintahan Islam ini tidak menjadikan pajak sebagai sumber pemasukan negara yang utama. Sebaliknya, sistem pemerintahan Islam memiliki banyak pemasukan. Pos pendapatan Khilafah meliputi pertama, bagian fai dan kharaj. Mencakup seksi ganimah (ganimah, fai, dan khumus), seksi kharaj, seksi status tanah, seksi jizyah, seksi fai, dan seksi dharibah (pajak). Kedua, bagian pemilikan umum, meliputi seksi migas, seksi listrik, seksi pertambangan; seksi laut, sungai, perairan, dan mata air; seksi hutan dan padang rumput; dan seksi aset-aset yang diproteksi negara untuk keperluan khusus. Ketiga, bagian sedekah, meliputi seksi zakat uang dan perdagangan, seksi zakat pertanian, dan seksi zakat ternak. Sistem pemerintahan Islam akan mengoptimalkan pendapatan dari pengelolaan sumber daya alam milik umum dan pungutan yang tidak memberatkan seperti zakat mal, jizyah, kharaj, dan lainnya.
Dari semua pos pemasukan itu, sistem pemerintahan Islam akan mendapatkan pemasukan yang besar sehingga tidak perlu utang dan menarik pajak. Dharibah (pajak) hanyalah pemasukan yang bersifat insidental, tidak terus-menerus. Pajak hanya ditarik dari orang-orang kaya ketika kas negara sedang kosong, sedangkan ada kebutuhan yang mendesak yang harus dipenuhi. Oleh karenanya, pajak bukanlah sumber pendapatan negara yang utama. Sistem pemerintahan Islam tidak akan memungut pajak dari seluruh rakyatnya (kaya maupun miskin) secara terus-menerus, sebagaimana negara kapitalis saat ini. Pajak hanya ditarik dari orang-orang kaya. Dengan pengaturan APBN yang bagus dalam Khilafah, akan terwujud kemandirian ekonomi sehingga tidak butuh penarikan pajak.
Khilafah akan mewujudkan kesejahteraan bagi rakyatnya, tiap-tiap orang, sepanjang waktu, bukan hanya dengan memberikan THR setahun sekali. Khilafah akan menggratiskan layanan pendidikan dan kesehatan sehingga rakyat tidak perlu mengeluarkan uang untuk memperolehnya. Khilafah juga akan menerapkan sistem pengupahan yang adil, yaitu pekerja mendapatkan upah yang makruf (layak) sesuai hasil kerjanya sehingga cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Berbagai fasilitas publik, seperti transportasi dan sebagainya; serta hasil pengelolaan SDA, seperti BBM dan gas, bisa rakyat akses dengan harga murah. Serangkaian kebijakan ekonomi inilah yang akan mewujudkan kesejahteraan hakiki bagi rakyat. Kesejahteraan yang terus-menerus, bukan hanya sekedar THR setahun sekali. Wallahu’alam bi showab.
Post a Comment