Sari Setiawati
Bulan Ramadhan adalah bulan yang berlimpah pahala dari Allah Swt. Selain rahmat dan pahala yang berlipat, Allah Swt juga memberikan limpahan ampunan kepada hamba-hambaNya yang beriman dan beramal shalih. Karena itulah Ramadhan juga disebut sebagai bulan ampunan (Syahrul-Maghfirah). Sepantasnya setiap Muslim yang mengharapkan ampunan Allah Swt bersegera melaksanakan semua perintah-Nya dan menjauhi semua larangan-Nya agar ia mendapatkan ampunan yang sempurna. Rasulullah bersabda,"
Siapa saja yang berpuasa pada bulan Ramadhan semata-mata karena iman dan mengharap pahala dan ridho Allah akan diampuni dosa-dosanya pada masa lalu (HR al-Bukhari dan Muslim).
Bukan hanya memberikan ampunan, Allah SWT juga menjanjikan bagi hamba-hambaNya pembebasan dari azab neraka. Nabi saw bersabda," Sungguh pada setiap hari dan malam bulan Ramadhan ada orang-orang yang Allah bebaskan dari api neraka. Sungguh setiap Muslim yang berdoa akan Allah kabulkan doanya," (HR Ahmad dan al-Bazzar).
Bukankah mengherankan jika ada seorang Muslim memasuki Bulan Ramadhan, namun tidak mendapatkan ampunan Allah, apalagi jika dia malah menambah dosa? Ada dua penyebab mengapa seorang Muslim yang berpuasa justru tidak mendapatkan ampunan: Pertama, karena masih melakukan banyak dosa contohnya: dengan berkata dusta, tutur kata yang menyakiti orang lain. Memanipulasi rakyat dan banyak lagi. Kedua, masih melakukan dosa besar contohnya, meninggalkan sholat lima waktu,dan meminjam uang riba Adapun dosa-dosa besar hanya dapat dihapuskan dengan tobat atau (mendapatkan) rahmat Allah dan karuniaNya.
Oleh karena itu, manusia yang berbuat zalim selama hidupnya tidak boleh merasa aman. Mereka tidak akan dapat lolos dari hisab dan balasan Allah SWT pada Hari Kiamat. Rasulullah saw. menyebut para pelaku kezaliman yang tidak bertobat sebagai manusia yang bangkrut. Sabda beliau: “Tahukah kalian, siapakah orang bangkrut itu?” Para Sahabat ra. menjawab, “Orang bangkrut menurut kami adalah orang yang tidak punya uang dan barang.” Beliau bersabda, “Sungguh orang bangkrut di kalangan umatku, (yaitu) orang yang datang pada Hari Kiamat dengan membawa (pahala) shalat, puasa dan zakat. Namun, dia juga mencaci maki si ini, menuduh si itu, memakan harta orang ini, menumpahkan darah orang itu dan memukul orang ini. Orang ini diberi sebagian kebaikan-kebaikannya dan orang ini diberi sebagian kebaikan-kebaikannya. Jika kebaikan-kebaikannya telah habis sebelum diselesaikan kewajibannya, kesalahan-kesalahan mereka diambil lalu ditimpakan kepada dirinya, kemudian dia dilemparkan ke dalam neraka.” (HR Muslim, no. 2581).
Begitu juga kezaliman yang dilakukan oleh penguasa jauh lebih berat lagi ancaman dan siksaannya kelak. Maka dari itu, mereka seharusnya menggunakan amanah kekuasaan yang mereka miliki untuk mengurus umat dengan syariah Islam. Sayangnya, umat justru menyaksikan penguasa mengkhianati amanah kekuasaannya hanya untuk kepentingan oligarki. Sebaliknya, penguasa terus membebani rakyat melalui pencabutan berbagai subsidi dan kenaikan pajak. Misalnya saja kenaikan tarif sejumlah ruas jalan tol, pencabutan subsidi sejumlah pupuk untuk petani, serta keputusan kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen. Naiknya tarif tol dan terutama PPN tentu akan menambah beban hidup warga dan menyulitkan roda perekonomian.
Pembangunan IKN juga mulai menelan korban. Ada 200 warga asli desa Pamaluan dan Sepaku terancam digusur karena lahan mereka berada di kawasan pembangunan Ibukota Nusantara. Mereka dinyatakan sebagai pemilik lahan ilegal karena tidak punya sertifikat tanah. Padahal mereka adalah penduduk asli yang sudah menetap di lokasi bertahun tahun lamanya, sama halnya dengan warga Rempang mereka juga terancam di gusur karena tidak memiliki sertifikat tanah, walaupun mereka sudah lama di tanah Rempang.
Ironinya, Pemerintah hanya berpihak para pengusaha, padahal kekuasaan adalah amanah yang mestinya digunakan untuk memenuhi hak-hak rakyat dan berlaku adil kepada mereka.
Oleh karena itu, untuk menggugurkan dosa-dosa kezaliman tidak hanya sekadar dengan istighfar, tetapi harus bertobat dengan tobat nashûha. Caranya dengan mencabut semua kebijakan yang telah menzalimi rakyat, mengembalikan hak-hak rakyat yang telah teraniaya, lalu mengganti sistem yang berlaku dengan syariah Islam dalam institusi Khilafah Islamiyah. Tidak ada aturan yang menjamin keadilan bagi manusia dan menghilangkan berbagai kezaliman, kecuali hanya syariah Islam. Syariah Islam tentu tidak akan bisa dijalankan tanpa adanya institusi negara yang menerapkan Islam secara kaffah dalam segala aspek kehidupan.
Post a Comment