Pegiat Literasi
Tak terasa Bulan Ramadan sudah memasuki 10 hari terakhir. Umat Muslim di seluruh penjuru dunia tak lama lagi akan merayakan hari yang istimewa yakni Hari Raya Idul Fitri. Hari Raya Idul Fitri atau lebaran memang terjadi setiap tahun. Namun persoalan kelangkaan pangan dan naiknya harga kebutuhan masih saja menjadi masalah di negeri ini, seakan tak ada penyelesaian. Seharusnya peningkatan kebutuhan sudah dapat diprediksi dan diantisipasi agar masyarakat terpenuhi kebutuhannya. Sayangnya, setiap menjelang lebaran permintaan yang kian tinggi tidak dibarengi dengan produksinya. Akhirnya, impor menjadi pilihan pemerintah dengan alasan menyelamatkan stok pangan.
Seperti baru-baru ini, untuk mengantisipasi stok daging, menurut Kepala Badan Pangan Nasional (Bapanas) Arief Prasetyo Adi, pemerintah mengimpor daging dan sapi hidup di minggu 2-3 Ramadan. Jumlahnya terbilang fantastis 145 ribu ton dalam bentuk daging, dan beberapa ratus ekor sapi yang hidup. Angka itu belum termasuk volume impor daging sapi dan daging kerbau beku. Penugasan pemerintah kepada BUMN Pangan dilakukan untuk menjaga stok pangan. (CNBC Indonesia, 19/3/2024)
Selain daging, pemerintah juga mengimpor beras. Perum Bulog memastikan sebanyak 450 ribu ton beras impor masuk ke Indonesia di akhir Maret 2024. Direktur Supply Chain dan Pelayanan Publik Bulog, Mokhamad Suyamto, mengatakan hingga saat ini sudah masuk sebanyak 970.000 ton beras impor. Dan itu sudah termasuk carry over sebesar 500 ton dari 2023. (Liputan6.com 20/3/2024)
Beginilah yang selalu dilakukan oleh pemerintah ketika pasokan pangan dinilai kurang, apalagi menjelang lebaran. Padahal dengan kebijakan impor, justru merugikan para petani dan peternak lokal. Apalagi jika sudah sampai ketergantungan impor, kedaulatan negara pasti akan terancam.
Sistem Kapitalisme Menghalangi Terwujudnya Negara Mandiri
Indonesia sebagai negara agraris dengan SDA yang melimpah semestinya mampu menjaga ketahanan pangan. Namun lagi-lagi impor dilakukan pemerintah dan selalu berulang apalagi menjelang lebaran. Meskipun kebijakan impor dilakukan agar kebutuhan pangan cukup, akan tetapi pemerintah seharusnya memikirkan dampak dari kebijakannya, terutama impor daging dan beras. Bagaimana nasib petani yang sudah susah payah menggarap sawah dengan biaya yang tidak sedikit. Belum lagi para peternak yang harga dagingnya kalah saing dengan daging impor. Bisa dikatakan persoalan ini dari hulu hingga hilir harus dibenahi agar tidak selalu bergantung pada impor.
Negaralah yang harus bertanggung jawab terhadap pemenuhan kebutuhan pokok rakyat, apalagi menjelang lebaran. Yakni dengan kebijakan yang pro terhadap rakyat. Sayangnya kebijakan seperti ini mustahil didapat dalam negeri yang menganut sistem kapitalisme sekuler. Sistem yang menjadikan peraihan materi dan kesenangan duniawi sebagai landasannya. Di mana ada keuntungan pasti akan diambil termasuk dalam hal impor.
Kebijakan ini kerap dilakukan bahkan berulang setiap tahunnya, karena memang menguntungkan terutama bagi para pemangku kebijakan juga pengusaha. Padahal sejatinya yang demikian itu telah mengokohkan hegemoni negara-negara makmur atas tanah air. Dan mirisnya kebijakan ini terus dijaga keberlangsungannya. Kongkalikong antara penguasa dan pengusaha sulit dihindari dalam negara penganut sistem kapitalis. Bahkan negara cenderung abai terhadap kepentingan rakyat, lebih berpihak pada oligarki. Jangankan memberi subsidi kepada petani maupun peternak, subsidi yang ada tak sedikit yang malah dikurangi atau bahkan dicabut.
Belum lagi lahan yang luas tidak sedikit yang dialihfungsikan untuk pembangunan, sehingga banyak petani yang kehilangan mata pencaharian. Alhasil, kedaulatan pangan pun sulit diwujudkan selama berpedoman pada prinsip kapitalis.
Sistem Islam Mewujudkan Negara Berdaulat dan Mandiri
Islam sebagai agama dan sistem hidup mewajibkan negara berdaulat dan mandiri termasuk dalam masalah pangan. Kebijakan yang diterapkan sistem pemerintahan Islam bersifat independen dan jauh dari intervensi pihak manapun.
Berbagai upaya dilakukan negara secara maksimal termasuk dalam membangun infrastruktur yang berkualitas. Biaya distribusi juga murah dan akan cepat sampai ke tangan konsumen. Misalnya negara akan sangat memperhatikan infrastruktur baik di kota maupun di desa agar jangan sampai bahan pangan tidak sampai atau biaya logistik yang tinggi karena infrastruktur yang buruk.
Selain itu, negara juga melakukan upaya ekstensifikasi pertanian maupun peternakan. Negara yang memiliki daratan dan lautan yang luas, akan sangat memungkinkan untuk mengoptimalkan upaya ini. Lahan yang luas akan dimanfaatkan untuk produksi. Negara juga akan sangat selektif dalam memberikan izin pembangunan di lahan yang subur, karena kebutuhan pangan yang tinggi bagi rakyat tentu harus diimbangi produksi yang tinggi pula.
Kebijakan intensifikasi juga demikian. Melalui baitulmal (kas negara) negara akan sangat mampu mendukung para petani maupun peternak, dengan memberikan subsidi pupuk, pakan ternak, dan sebagainya. Juga membantu petani maupun peternak yang kurang modal atau tidak mempunyai modal akan tetapi siap untuk berproduksi. Ditambah lagi dalam berinovasi meningkatkan teknologi tepat guna dan berkemampuan tinggi yang terus didukung demi produktivitas yang tinggi.
Tak hanya itu, negara juga akan sangat memperhatikan rantai distribusi. Qadi hisbah (hakim di pasar) akan senantiasa memantau kondisi pasar agar jangan sampai ada tindak kecurangan, penimbunan dan berbagai tindakan lainnya yang akan merugikan banyak pihak. Negara juga akan sigap dalam operasi pasar. Jika ada kelebihan produksi maka akan disebar ke wilayah yang masih minus atau kekurangan. Oleh karena itu, maka kebijakan impor tidak akan menjadi langkah utama. Namun langkah terakhir jika memang sangat dibutuhkan atau darurat.
Islam juga mewajibkan negara menjamin kesejahteraan bagi setiap warganya. Maka dari itu, pemimpin Islam akan berupaya semaksimalnya mungkin untuk mewujudkannya. Dengan menjalankan aturan serta hukum-hukum-Nya secara kaffah (menyeluruh) niscaya kedaulatan dan kemandirian pangan akan terwujud.
Itu semua dilakukan karena Islam memandang terkait kepemimpinan. Bahwa penguasa negara adalah raa'in (pengurus rakyat) atas seluruh rakyatnya. Sebagaimana sabda Rasulullah saw. yang artinya: "Imam (pemimpin) adalah raa'in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya." (HR. Al-Bukhari)
Wallahu a'lam bi ash-shawab.
Post a Comment