Saat ini kurs rupiah dan banyak mata uang di dunia kerap sangat bergantung pada keadaan dollar Amerika Serikat (AS). Berbagai mata uang negara lain pun kerap tertekan oleh dollar AS, termasuk Rubel Rusia.
Dari kemunculannya, tersampaikanlah pada sebuah kisah tentang dollar yang singkatnya terhubungkan dengan masa Perang Dunia II. Pada masa tersebut AS adalah pemilik utama senjata, persediaan, dan barang-barang lainnya dari Sekutu. Negara Paman Sam ini mengumpulkan sebagian besar pembayarannya dalam bentuk emas. Hingga pada akhir perang, Amerika Serikat memiliki sebagian besar emas dunia. Situasi itu menghalangi kembalinya standar emas oleh semua negara yang telah menghabiskan cadangan emas mereka. Akhirnya pada tahun 1944, delegasi dari 44 negara Sekutu bertemu di Bretton Wood, New Hampshire. Mereka berunding untuk menghasilkan sistem pengelolaan devisa yang tidak merugikan negara mana pun. Diputuskanlah bahwa mata uang dunia tidak dapat dikaitkan dengan emas, tetapi dapat dikaitkan dengan dollar AS yang terkait dengan emas. Kesepakatan yang dikenal sebagai Perjanjian Bretton Woods, menetapkan bahwa bank sentral akan mempertahankan nilai tukar tetap antara mata uang mereka dan dolar AS.(CNBC, 28/7/2022).
Sejak terbentuknya perjanjian Bretton Woods, seluruh mata uang di dunia dikaitkan dengan cadangan dollar AS yang pada saat itu dijamin oleh emas. Berakhirnya perjanjian Bretton Woods tidak serta merta mengakhiri peran dollar AS, secara faktual dominasi dollar AS semakin menguat. Kondisi ini diidukung oleh keunggulan AS dalam hal output PDB, perdagangan, pasar modal dan belanja pertahanan.
Walhasil, AS memiliki kemampuan mempengaruhi pemerintah lain untuk menerima dollar, bahkan melalui tekanan seperti yang dilakukan terhadap negara-negara penghasil minyak di Timur Tengah untuk menerima pembayaran komoditas minyak hanya dalam dollar.(Norrlof, C. (2014). Dollar hegemony: A power analysis. Review of International Political Economy, 21 (5), 1042—1070.)
Demikianlah dominasi dollar menyebabkan dinamika terjadi di AS. Perubahan suku bunga The Fed berdampak luas ke berbagai negara, lewat fluktuasi mata uang mereka terhadap dollar AS. Ekonomi mereka menjadi tidak stabil. Ekspansi dollar telah menghembuskan badai di dunia. Dengan gayanya, seakan dia begitu istimewa padahal penuh trik dan intrik licik.
Kapitalisme Monster Pemicu Badai Moneter
Saat ini yang terlihat bahwasannya pertumbuhan dan inovasi luar biasa telah dicapai oleh negara-negara maju, seperti Amerika Serikat (AS) dan Eropa, selama dua abad terakhir. Sesuatu yang begitu mengesankan memang. Dahulu sekitar dua abad yang lalu tingkat harapan hidup hanya sekitar setengah atau bahkan kurang dari saat ini.
Kondisi ini seakan menunjukkan kapitalisme mendorong kemajuan sains dan pengetahuan yang sangat pesat, perkembangan teknologi, sharing informasi; juga peningkatan standar konsumsi, kesehatan, dan pendidikan di banyak negara.
Namun di balik kemajuan ekonomi yang dihasilkan kapitalisme, para ekonom yang mengusung ideologi kapitalisme ternyata telah membuat pengakuan bahwa sejumlah kelemahan meliputi sistem tersebut. Beberapa di antaranya adalah ketimpangan ekonomi yang makin lebar, krisis ekonomi yang terus berulang, dominasi berlebihan dollar AS, aturan perdagangan global yang diskriminatif, serta kerusakan lingkungan yang masif. Artinya, kapitalisme sesungguhnya telah mewujudkan monster perusak pemicu badai dalam ritme kehidupan manusia di dunia.
Badai itu terus memelintir sarana kehidupan manusia, termasuk mata uang dunia tidak terkecuali rupiah sebagai mata uang negeri kita Indonesia. Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS terus melemah, apalagi saat ini pelemahan semakin terasa seiring dengan meningkatnya ketegangan antara Israel dan Iran di Timur Tengah. Sejumlah pakar khawatir akan muncul dampak berantai yang dapat mengguncang ekonomi Indonesia jika konflik ini terus berlanjut.
Kapitalisme bagai monster terus mendorong kekuatan dollar AS hingga memberi sanksi secara ekonomi dan finansial kepada negara yang disasar, juga mampu meminggirkan negara-negara lain dari perdagangan dengan negara yang disasar. Dengan kata lain, eksistensi AS sebagai pengemban ideologi kapitalisme dan dominasi dolarnya sangat memengaruhi kondisi ekonomi global. Badai moneter terus beputar membentuk pusaran yang menenggelamkan kemandirian negara-negara yang ada bahkan sampai pada terjatuh pada jeratan hutang yang terus terwariskan (contoh: hutang Indonesia Rp8.253,09 triliun per Januari 2024).
Rupiah Melemah Sihir Imperialisme Global Belum Usai
Sejatinya sihir Imperialisme global terus ditiupkan dengan buhul-buhul bertuahnya. Gambaran dari BBC Indonesia (21/4/2024), pelemahan rupiah ternyata diakibatkan beberapa faktor, di antaranya sebagai berikut.
Pertama, menurut kepala ekonom Bank Permata Josua Pardede, The Fed atau bank sentral AS diperkirakan akan lebih lama mempertahankan suku bunga acuannya di level tinggi untuk meredam laju inflasi AS. Selama suku bunga The Fed masih tinggi, investor global akan lebih tertarik menaruh uangnya di pasar AS sehingga memicu arus keluar modal asing dari negara-negara berkembang seperti Indonesia.
Kedua, konflik Israel-Iran di Timur Tengah yang kian memanas. Iran menggempur Israel dengan lebih dari 300 rudal dan drone pada Sabtu (13/4/2024) sebagai balasan atas serangan Israel ke Konsulat Iran di Damaskus dua minggu sebelumnya. Konflik Israel-Iran dikhawatirkan mengganggu rantai pasok minyak global, terutama apabila Iran memutuskan memblokade Selat Hormuz yang kerap disebut sebagai jalur pengiriman minyak terpenting di dunia.
Namun, dari dua faktor pelemah tersebut, sesungguhnya yang paling berpengaruh terhadap pelemahan rupiah adalah dominasi mata uang dollar AS sebagai mata uang internasional yang mengontrol nilai tukar mata uang negara selainnya. Ini menunjukkan bahwa melemahnya rupiah terhadap nilai tukar dollar AS merupakan bentuk konfirmasi bahwa dunia saat ini sedang dalam genggaman imperialisme AS.
Tragis. Sihir Imperialisme global AS telah menelikung kekuatan negara manapun tidak terkecuali Indonesia. Eksistensi AS sebagai pengemban ideologi kapitalisme dan dominasi dolarnya sangat memengaruhi kondisi ekonomi global.
Dengan mata uang rupiah, di mana mata uang kertas adalah alat pembayaran yang sah di negeri ini, nilai tukarnya yang melemah tentunya akan berdampak besar bagi bagi perekonomian masyarakat. Dalam kondisi nilai tukar rupiah yang kian melemah, sebagai negara yang hampir 90% mengimpor bahan baku untuk aktivitas dalam negeri, Indonesia harus mengeluarkan anggaran fantastis kalau mau melakukan impor di tengah nilai tukar rupiah yang kian melemah.
Tentunya ini akan berpengaruh pada melonjaknya biaya produksi dan logistik para pengusaha makanan dan minuman yang sangat bergantung pada ketersediaan bahan baku impor. Alhasil, harga barang-barang yang sampai pada konsumen pasti juga mengalami kenaikan.
Ditambah lagi jika harga minyak dunia naik, ini akan berdampak pada ongkos produksi produk energi seperti BBM dan LPG. Kondisi ini akan diikuti dengan kenaikan produk-produk lain, karena BBM dan LPG sebagai sumber energi primer untuk produk lain.
Sebagai pengimpor minyak mentah, BBM serta LPG, di Indonesia produksinya saat ini hanya berkisar di angka 670 ribu barel oil per day (BOPD). Sedangkan konsumsinya mencapai 1,3 juta BOPD dan impor LPG sebanyak 65% dari konsumsi nasional akan meningkatkan defisit neraca perdagangan. Saat defisit neraca perdagangan makin tinggi, nilai mata uang rupiah terdepresiasi terhadap dollar dan ini akan memicu kenaikan inflasi.
Bagai jatuh tertimpa tangga, jika inflasi yang cukup besar terjadi, maka penurunan daya beli masyarakat pun terjadi. Padahal menjaga daya beli masyarakat adalah hal yang sangat penting, karena setengah dari perekonomian Indonesia berasal dari konsumsi rumah tangga yang mana pengeluaran atas barang dan jasa bertujuan untuk konsumsi. Jadi, jika daya beli masyarakat menurun, kegiatan ekonomi bisa terganggu, bahkan macet, selanjutnya yang terjadi adalah pertumbuhan ekonomi yang terus melambat.
Terkait kekuatan sihir kapitalis yang terlalu kuat, pemerintah bagai pilot yang lemah mitigasi dan tumpul solusi. Saat kondisi-kondisi tersebut di atas terjadi, dalam menjaga daya beli masyarakat pemerintah hanya melakukan penyaluran bansos, pemberian subsidi BBM atau penetapan harga BBM di bawah harga pasar, dan bantuan sosial yang serupa agar dapat menggerakkan perekonomian rakyat. Keadaan ini akan terus terjadi berulang-ulang jika ketergantungan Indonesia terhadap impor terus berlangsung dan dominasi dolar AS sebagai mata uang internasional masih terus berjalan.
Sihir ekononomi kapitalis sekuler sejatinya memang akan terus meniupkan buhul-buhulnya selama dia belum puas memenuhi nafsu imperialisnya. Hal lainnya lagi adalah dengan melanggengkan penggunaan fiat money (uang kertas) sebagai alat pembayaran yang sah. Padahal sejatinya penggunaannya sangatlah rentan terhadap inflasi, nilainya pun akan terus turun. Suatu hal yang wajar terjadi karena fiat money yang digunakan saat ini tidak mengharuskan adanya cadangan fisik, seperti emas dan perak.
Islam Menghadirkan Sistem Mata Uang Unggul Anti Badai
Sebagai sebuah sistem yang sempurna dan paripurna anti badai perekonomian, Islam telah menetapkan berbagai aturan yang menyeluruh termasuk aturan terkait dengan mata uang. Dalam Islam sistem mata uang memiliki basis yang unggul, yaitu mata uang berbasis emas.
Islam telah menetapkan basis mata uang dengan sistem yang lebih stabil dan adil sehingga dari aspek ekonomi akan aman dan jauh dari krisis. Emas dan perak sudah lama dipakai sebagai sistem mata uang sejak masa Rasulullah ï·º. Dan emas serta perak merupakan mata uang paling stabil yang pernah ada sejak masa awal Islam hingga hari ini.
Sebagai nilai mata uang Islam, emas dan perak selalu stabil dalam hubungannya dengan barang-barang konsumtif. Sebagai gambaran, misalnya seekor unta pada masa Rasulullah ï·º harganya adalah 100 dinar, atau unta merah seharga 200 dinar. Maka hari ini pun harga tetap sama. Jadi jika bicara inflasi, nol inflasi nyata terjadi. Oleh karena itu sejatinya dapat dkatakan sistem mata uang emas dan perak sangat tahan terhadap krisis dan inflasi.
Jika emas digunakan sebagai mata uang resmi oleh negara, ada beberapa syarat yang harus diperhatikan. Sebagaimana yang dijelaskan oleh pakar ekonomi syariah Dwi Condro Triono, bahwa dalam sistem Islam, segala sesuatu yang akan digunakan sebagai mata uang, harus memenuhi tiga syarat.
1. Mata uang harus dapat digunakan sebagai dasar untuk menilai suatu barang dan jasa, yaitu sebagai penentu harga dan upah.
2. Mata uang harus dkeluarkan oleh otoritas yang bertanggung jawab menerbitkan mata uang tersebut dan ini bukan badan yang tidak diketahui keberadaannya (majhûl).
3. Mata uang harus tersebar luas dan mudah diakses oleh masyarakat luas dan tidak eksklusif hanya untuk sekelompok orang tertentu saja.
Jika saja suatu negara menggunakan mata uang emas, negara ini akan memiliki kekuatan ekonomi. Ini karena mata uang emas tidak akan bisa dipermainkan atau terombang-ambing nilai tukarnya oleh mata uang kertas mana pun, sekuat apa pun mata uang kertas tersebut. Sebaliknya, justru seluruh mata uang kertas dunia akan menstandarkan nilai tukarnya pada mata uang emas ini. Semua mata uang kertas dunia akan bertekuk lutut pada mata uang emas ini.
Dan sistem mata uang emas seperti ini pernah diterapkan oleh negara Khilafah. Dengan penerapannya ekonomi rakyat berjalan stabil. Kehidupan masyarakat tenang tanpa merasa was-was dengan krisis ekonomi, resesi, atau pelemahan nilai tukar mata uang.
Masihkah kita ingin bertumpu pada sistem mata uang rentan badai? Tentunya tidak bukan? Sudah saatnya kepercayaan ini terputus dari sihir kapitalisme. Melepas buhul-buhulnya sudah harus segera dilakukan. Menghancurkan mantra-mantranya wajib ditunaikan. Badai pasti berlalu asalkan tegaknya sistem Islam diperjuangkan, kembalinya sistem Islam (Khilafah Islamiyyah) disegerakan.
Wallaahu a'laam bisshawaab.
Post a Comment