Aturan Baru Pajak THR, Siapa yang Diuntungkan?





Oleh Ana Ummu Rayfa
Aktivis Muslimah



Menjelang Idul Fitri adalah moment di mana setiap keluarga membutuhkan dana yang lebih besar daripada bulan-bulan biasanya. Entah itu untuk keperluan membeli baju, kue, mudik, ataupun keperluan-keperluan lainnya. Oleh karena itu, sudah menjadi solusi pada saat menjelang Idulfitri bahwa para pekerja mendapatkan THR (Tunjangan Hari Raya). Besaran THR ini ditetapkan sebesar satu bulan gaji, sehingga pada saat akhir Ramadan, para pekerja mendapat dua kali lipat dari gaji biasanya dalam waktu satu bulan. 


THR ini merupakan angin segar bagi para pekerja. Namun, masalah lain juga selalu menyertainya setiap tahun. Mulai dari keterlambatan pengusaha dalam membayarkan THR karyawannya sampai ada juga perusahaan yang enggan membayarkan THR sehingga terjadi gelombang PHK sebelum bulan Ramadan. Di tahun ini, masalah THR kembali bertambah. Skema baru pajak yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Pajak membuat masyarakat resah. Pasalnya, dengan skema baru ini penghitungan pajak THR menjadi lebih besar dari tahun-tahun sebelumnya. 


Terhitung mulai tanggal 1 Januari 2024, mulai ditetapkan skema penghitungan baru untuk pemotongan PPh (Pajak Penghasilan) oleh pemerintah dengan menggunakan Tarif Efektif Rata-Rata (TER). Bila dengan skema lama, pajak penghasilan dihitung dari jumlah penghasilan selama setahun, dengan skema baru ini pajak penghasilan dihitung berdasarkan penghasilan setiap bulannya. Sehingga pada bulan Maret ini, potongan pajak akan menjadi lebih besar karena didasarkan pada gaji, THR, bonus, dan penghasilan tambahan lainnya. Dikatakan oleh Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Hubungan Masyarakat di Direktorat Jenderal Pajak, Dwi Astuti, bahwa skema baru ini tidak akan menambah beban pajak yang ditanggung wajib pajak, karena beban pajak secara kumulatif akan tetap sama. Akan tetapi, lain halnya dengan yang dirasakan para pekerja yang merasa pajak pada bulan Maret terasa lebih besar daripada bulan sebelumnya, padahal uang THR yang dinantikan ini akan digunakan untuk berbagai keperluan. (berita online detik.com)


Baik aturan baru maupun aturan lama pajak penghasilan ini, keduanya sama-sama membebani rakyat. Penghasilan pekerja yang dalam situasi ekonomi saat ini terkadang belum dapat memenuhi kebutuhan, masih harus dipotong pajak juga oleh pemerintah. Inilah ciri khas ekonomi kapitalisme, yang menjadikan pajak sebagai sumber pendapatan utama bagi negara, sehingga bukan hal aneh apabila semua hal dikenakan pajak. 


Bila melihat data pada tahun 2023, realisasi pendapatan negara mencapai Rp2.774,3 trilyun dengan nilai penerimaan pajak senilai 77%. Sedangkan Nilai Penerimaan Bukan Pajak hanya 21%, dan di dalamnya ada sebagian kecil pos pendapatan negara yaitu dari pendapatan sumber daya alam. (media online katadata.com). 


Sangat miris melihat data ini, padahal Indonesia memiliki kekayaan alam yang sangat besar, tetapi penerimaan pendapatannya sedikit. Justru pendapatan utama diambil dari pajak yang notabene berasal dari rakyat. Lebih ironis lagi, uang pajak begitu besar yang dibayarkan rakyat tidak dapat dinikmati kembali oleh rakyat. Kesehatan, pendidikan dan infrastruktur masih belum bisa dinikmati oleh rakyat dengan cuma-cuma.


Hal seperti ini tidak akan terjadi dalam penerapan sistem ekonomi Islam. Dalam Islam, sumber pendapatan negara bermacam-macam. Ada dari fai' dan kharaj, dari sumber daya alam yang merupakan sumber pendapatan terbesar bila melihat sumber daya alam kita yang banyak ini, kemudian juga dari sedekah atau zakat. Seperti zakat uang dan perdagangan, zakat peternakan dan zakat pertanian.
Dengan berbagai sumber pendapatan tersebut, negara sudah bisa memenuhi kebutuhan rakyatnya. 


Dalam Islam, pajak (dharibah) menjadi opsi terakhir yang dilakukan bila kas negara (baitul mal) dalam keadaan kosong. Itupun dharibah (pajak) dalam Islam hanya dibebankan kepada orang kaya saja, dan dalam waktu yang terbatas. Apabila kas negara sudah stabil kembali, maka pajak juga dihentikan. Seperti halnya yang pernah terjadi pada masa kekhilafahan Umar bin Abdul Azis pada tahun 99H, di mana saat itu tidak ada orang yang berhak menerima zakat karena kondisi rakyat semua sudah sejahtera. Karena dalam Islam, negara bertindak sebagai pengurus rakyat yang akan memastikan kesejahteraan salah satunya bagi para pekerja dengan upah yang adil, sehingga bonus tambahan seperti THR tidak hanya dirasakan setahun sekali. Masalah pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur juga akan dijamin oleh negara hingga tidak membebani rakyat. 


Maka dari itu, kemandirian dan kesejahteraan ekonomi akan dapat terwujud hanya bila negara dapat menerapkan sistem Islam tentu dengan sistem ekonomi Islam di dalamnya.


Wallahuaalam bissawab


Post a Comment

Previous Post Next Post