Oleh. Fathiyah Khasanah Arrahmah, M.Sos (Dosen)
Pendidikan merupakan salah satu pilar sebuah bangsa. Sebagai fondasi bagi perkembangan masyarakat, pendidikan harus menjadi prioritas utama dalam upaya menciptakan generasi yang kompeten dan berdaya saing tinggi.
Namun, di tengah upaya mewujudkan pendidikan yang berkualitas, ada sebuah aspek krusial yang seringkali terabaikan, peran dosen dalam sistem pendidikan tinggi. Dosen memiliki peran yang tak tergantikan dalam proses pembelajaran. Mereka bukan hanya pendidik, tetapi juga sosok yang membimbing mahasiswa dalam menjelajahi ilmu pengetahuan. Namun, di balik citra mulia ini, terselip realitas pahit yang menghantui dunia pendidikan Indonesia.
Tagar #JanganJadiDosen yang belakangan menjadi viral di media sosial X mencerminkan situasi hari ini terkait penghasilan dan kesejahteraan para dosen. Fenomena tersebut menggambarkan gaji dosen yang lebih rendah dari UMR daerah yang berbanding terbalik dengan beban kerja yang harus dilakukan.
Munculnya tagar ini bermula dari unggahan pengguna media sosial tentang rendahnya kompensasi yang diterima dosen tidak sebanding dengan beban kerja yang mereka tanggung. Kemudian beberapa dosen-dosen lain mulai mengunggah slip gaji dan keluh kesah mereka melalui tweet. (X, 22-29/02).
Pembahasan tentang gaji dosen mulanya muncul dari postingan penyanyi Kunto Aji di platform media sosial X. Dia membagikan foto uang tunai yang diterimanya sebagai anggota Linmas saat turut serta dalam Pemilu 2024. Postingan tersebut kemudian di-respons oleh seorang pengguna media sosial dengan permintaan kepada warga X untuk berbagi pengalaman mengenai gaji pertama mereka sebagai Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS). Pengguna tersebut menulis, "Bagikanlah gaji pertama kalian sebagai CPNS yang hanya 80 persen dari gaji pokok dan dipotong selama 3 bulan itu, gaes..." sambil menambahkan emoji tertawa dan menangis. Seorang pengguna media sosial lainnya kemudian merespons dengan mengunggah potongan slip gaji yang dia terima sebagai seorang dosen. Slip gaji tersebut menunjukkan bahwa dia menerima gaji pokok sebesar Rp 2.560.600 sebagai Dosen Asisten Ahli. Namun, untuk gaji pertamanya, dia hanya menerima 80 persen dari total gaji pokok tersebut, yaitu sebesar Rp 2.048.480. Sementara itu, unggahan lain dari seorang dosen di perguruan tinggi swasta berkisar antara 500.000 hingga 3.000.000 rupiah. (republika, 22/02)
Mengomentari hal ini, Gitadi Supramudyo, seorang ahli kebijakan publik dari Universitas Airlangga (UNAIR), menyuarakan pandangannya. Gitadi mengungkapkan bahwa terdapat perbedaan besar dalam kebijakan upah bagi dosen di Indonesia. Permasalahan ini timbul sebagai hasil dari kurangnya keoptimalan kebijakan negara terkait aspek keuangan dan pendidikan. Menurutnya, hal ini terkait dengan kebijakan negara terutama di bidang pendidikan. Di sisi lain, juga ada tekanan ekonomi. Pada masa lalu, orang-orang yang lulus dengan prestasi terbaik biasanya memilih untuk menjadi dosen, tetapi saat ini lebih banyak yang memilih untuk bekerja di sektor lain yang menawarkan tunjangan atau gaji yang lebih menarik. unair.ac.id, 04/03)
Fenomena "#JanganJadiDosen" menjadi bayangan gelap dalam peta pendidikan Indonesia. Hashtag ini tak sekadar sebuah tagar, melainkan cerminan dari kondisi nyata yang melanda dunia akademik. Meningkatnya jumlah lulusan sarjana yang memilih untuk tidak menjadi dosen menjadi sinyal peringatan bagi kemunduran sistem pendidikan negeri ini.
Potret buram ini tercermin dari beberapa faktor yang mendasar. Pertama, masalah finansial menjadi titik rawan bagi calon akademisi. Gaji yang tak sebanding dengan beban kerja, serta minimnya kepastian karier menjadi hambatan utama. Sehingga, tidak mengherankan jika banyak lulusan yang memilih untuk beralih profesi demi mencari kestabilan finansial.
Selain itu, kualitas lingkungan akademik juga menjadi pertimbangan penting. Kurangnya sarana dan prasarana yang memadai, serta minimnya dukungan untuk riset dan publikasi menjadi pukulan telak bagi para dosen yang tengah berjuang dalam dunia akademik.
Dalam Islam, penetapan standar gaji pegawai didasarkan pada manfaat tenaga yang diberikan oleh pegawai, bukan pada biaya hidup minimum seperti dalam sistem kapitalisme. Dengan demikian, eksploitasi tenaga kerja dapat dihindari. Islam menolak penetapan Upah Minimum Regional (UMR) karena upah dan harga barang sama-sama merupakan kompensasi yang diterima oleh individu. Harga adalah kompensasi untuk barang, sementara upah adalah kompensasi untuk jasa.
Dengan memberikan upah yang sesuai dengan kontribusi pekerja, serta jaminan pemenuhan kebutuhan hidup yang ditanggung oleh negara, Islam menjamin kesejahteraan dosen tanpa menambah beban hidup mereka. Dengan demikian, Islam menawarkan solusi yang ideal untuk memastikan kehidupan sejahtera bagi para pendidik, jauh dari kondisi saat ini yang belum optimal.
Wallahu a'lam bishawab
Post a Comment