Oleh Hani Iskandar
IIbu Pemerhati Umat
Salah satu indikasi kuatnya sebuah negara, dapat dilihat dari seberapa besar kemandiriannya dalam mengatur dan mengurus seluruh urusan dalam dan luar negerinya. Namun, dalam era kapitalisme saat ini budaya utang piutang bahkan bagi sebuah negara dianggap biasa dan wajar. Bahkan negara yang berani berutang tinggi, makin dijunjung.
Makin besar utang, makin dianggap mampu membayar, makin dianggap negara maju. Padahal pinjaman hari ini di seluruh lapisan masyarakat, termasuk negara dilandasi dengan riba. Umumnya interaksi pinjam meminjam, utang piutang yang beredar saat ini pastilah berbasis ribawi. Inilah yang justru semakin menambah daftar panjang utang di setiap negara, termasuk Indonesia. Sungguh miris!
Kedaulatan negara lambat laun tergadai karena pinjaman utang yang tak pernah usai.
Sebagai sebuah bangsa yang kaya, Indonesia seharusnya mampu mencukupi segala kebutuhan warga negaranya, dari mulai ekonomi, pendidikan, sampai pembangunan infrastruktur yang menunjang kehidupan. Dengan perhitungan yang matang dan teliti, Indonesia sesungguhnya mampu untuk mencukupi kebutuhan rakyatnya.
Dengan inovasi dan kreativitas anak bangsanya, juga mampu meningkatkan taraf hidup masyarakat, mengeksplorasi maksimal sumber daya alamnya, mampu mewujudkan pembangunan infrastruktur yang tepat guna, tanpa harus berutang kepada negara lain atau lembaga keuangan internasional mana pun. Namun, kapitalisme justru menjadikan aktivitas berutang dengan riba menjamur, bahkan dilakukan oleh negara yang kaya.
Tahun ini, lagi-lagi Kemenkeu Republik Indonesia kembali menuai kontroversi. Kementerian Keuangan menyebutkan utang pemerintah sebesar Rp8.253 triliun per 31 Januari 2024 masih dalam rasio aman karena berada di bawah ambang batas 60% dari produk domestik bruto atau PDB. “Batas atas 60 persen dalam UU tentang Keuangan Negara mestinya tidak ditafsirkan sebagai batas aman kondisi utang, melainkan yang tidak boleh dilampaui,” kata ekonom Bright Institute, Awalil Rizky, kepada Tempo pada hari kamis 29 Februari 2024. (media online bisnis.tempo.co, 01/03/2024)
Dari pernyataan tersebut dapat disimpulkan, bahwa para abdi negara terutama yang duduk di kursi Kementerian Keuangan, merasa aman dan biasa saja dengan adanya utang negara yang menumpuk yang pada akhirnya malah dibebankan pada rakyat.
Hukum Berutang
Berutang adalah salah satu aktivitas yang pada dasarnya diperbolehkan oleh Allah Swt. dan Rasul-Nya, hanya saja dalam keadaan sudah berikhtiar maksimal dan dalam keadaan yang benar-benar darurat. Sebagaimana hadis riwayat Anas bin Malik dari Aisyah, “Rasulullah saw. pernah membeli makanan dari seorang Yahudi dengan pembayaran yang ditangguhkan. Lalu beliau meminjamkan (gadai) baju besi beliau kepadanya."
Islam tidak membenarkan kebiasaan untuk melakukan aktivitas berutang secara terus-menerus, bahkan sampai batas waktu yang tidak jelas, juga tidak dibenarkan berutang dalam jumlah yang diperkirakan tidak akan mampu untuk dilunasi. Bertahan dalam keterbatasan itu lebih baik daripada harus mengemis berutang kepada orang lain.
Islam juga menjelaskan, bahwasanya utang piutang dalam Islam diperbolehkan selama tidak dilandasi pada riba atau di dalamnya tidak terdapat riba, yang mana hal itu menjadi penyebab rusaknya akad/perjanjian utang piutang. Sebagaimana Allah Swt. berfirman dalam surat Al-Baqarah: 275 yang artinya, “... . Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.”
Kedaulatan Hilang Akibat Utang
Utang piutang adalah salah satu aktivitas muamalah yang diperbolehkan, tetapi kemudian, Islam melarang untuk menjadikan hal ini sebagai kebiasaan sehingga dengan mudahnya berutang. Suatu negara wajar jika mengalami hal ini. Jika suatu saat, di negara tersebut terjadi paceklik atau kondisi kas negara sedang tidak stabil, lalu kemudian negara melakukan transaksi utang piutang, baik itu dengan warga negaranya sendiri, maupun dengan negara lain maka hal itu pun bisa saja terjadi asalkan dalam batas waktu tertentu dan syarat-syarat perjanjian yang jelas.
Setelah kondisi negara tersebut stabil maka utang piutang wajib segera dilunasi tanpa riba dan tanpa kompensasi apa pun di belakangnya. Dalam sistem kapitalis seperti saat ini, utang adalah sebuah keniscayaan. Bahkan merupakan aktivitas yang biasa terjadi bahkan dalam tataran negara. Utang menjelma menjadi kebutuhan dan riba menjadi budaya yang membuat semua negara terjerat dala pusaran utang yang tiada habisnya.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa IMF, World Bank, dan lembaga keuangan internasional yang sejenisnya menjadi wadah para kapitalis untuk "memfasilitasi" negara miskin dan berkembang masuk dalam kubangan utang ribawi dengan dalih bantuan luar negeri, termasuk Indonesia.
Banyak eksplorasi (lebih tepatnya eksploitasi) sumber daya alam di Indonesia, pemberian subsidi di sektor ekonomi, pendidikan, kesehatan, dan lain sebagainya, hingga pembangunan infrastruktur Indonesia, sebagian besar didanai dari hasil pinjaman luar negeri, baik itu pinjaman langsung atau dalam bentuk investasi swasta dan asing. Hal tersebut karena Indonesia hanya mengandalkan pajak sebagai sumber pendapatan negaranya, itu pun diambil dari rakyat yang tak semuanya mampu membayar pajak, bahkan seharusnya disantuni oleh negara.
Kebijakan luar negeri yang dibuat pemerintah telah menggiring negara dengan sengaja memiliki dan menambah utang yang semakin hari semakin besar, bahkan utang untuk pembangunan tersebut harus ditanggung oleh seluruh warganya dengan menggenjot pajak rakyat, memotong anggaran subsidi berbagai sektor kehidupan masyarakat sehingga harga kebutuhan "meroket".
Kemiskinan meningkat, ketergantungan kepada negara asing terus berlangsung. Sehingga wajar jika dominasi dan kendali kebijakan luar negeri sangat kuat pada negeri ini. Neo imperialisme makin kuat. Lalu bagaimana dengan kedaulatan negara?
Islam Mewajibkan Menjaga Kedaulatan Negara
Kedaulatan sebuah negara haruslah dijaga oleh para penguasa. Wibawa sebuah negara akan mampu menggetarkan musuh ketika kedaulatan ada di tangannya sendiri. Kedaulatan lahir dari kemandirian, ketahanan, kepemimpinan yang independen. Itu semua diawali dari mindset, dari prinsip yang tegas dan teguh.
Seorang pemimpin harus mempertahankan kedaulatan negara dan sumber kedaulatannya. Kedaulatan negara akan tergadai ketika tunduk kepada negara lain karena utang budi, atau apa pun juga. Maka, terus berutang budi dan ketergantungan kepada negara lain sangat dilarang oleh Islam karena berutang terhadap negara lain, membuat negara tidak merdeka dalam menentukan kebijakan sendiri.
Politik balas budi menjadi penyebab utama, ditambah permainan kapitalis yang sengaja menjaga utang dan riba tetap beredar di setiap negara untuk melanggengkan kekuasaannya melalui harta yang mereka pinjam-pinjamkan hingga mampu mengendalikan pergerakan dunia. Rasulullah Saw. bersabda, “Jiwa seorang mukmin masih bergantung dengan utangnya hingga ia melunasinya.” (HR.Tirmidzi)
Dalam pengelolaan sebuah negara, Islam memberikan panduan untuk bisa terlepas dari jerat pinjaman luar negeri. Di antaranya, yang pertama, memaksimalkan seluruh potensi SDA untuk bisa dikelola secara mandiri tanpa melibatkan negara lain. Sulit memang, butuh proses, tetapi ini mampu menjamin segala kebutuhan rakyat, dari mulai kebutuhan primer, hingga pembangunan infrastruktur terdanai secara mandiri, rakyat dan penguasa harus bahu-membahu dalam hal ini. Sumber pemasukan negara, akan didapat secara pasti dan berkesinambungan dari pengelolan sumber daya alam negara.
Kedua, memperbaiki posisi tawar di hadapan negara-negara lain, dengan memperkuat kedaulatan negara. Menjadikan keamanan negara berada di tangan militer kaum muslimin.
Ketiga, dakwah. Dakwah dalam Islam merupakan salah satu aktivitas yang dilaksanakan oleh negara untuk menyebarkan Islam, memahamkan bahwa kedaulatan hanya milik Allah Swt. Rabb seluruh manusia, Rabb semesta alam. Dengan begitu penjajahan kapitalisme bisa dientaskan dan rahmat Allah Swt. dengan kehidupan yang berkah akan didapatkan.
Wallahualam bissawab.
Post a Comment