Tiket Pesawat Mahal, Bukti Komersialisasi Penerbangan


Oleh Ummi Nissa

Pegiat Literasi


Transportasi umum, baik darat, laut,  maupun udara, merupakan sarana publik yang menjadi kebutuhan masyarakat saat ini, terlebih menjelang hari raya Idulfitri. Sebab, pulang kampung alias mudik menjadi tradisi tahunan untuk berkumpul dan bersilaturahmi bersama keluarga. Sehubungan dengan banyaknya masyarakat yang bekerja di perantauan dengan jarak yang cukup jauh dari kampung halaman, angkutan udara menjadi salah satu alternatif sarana publik yang  digunakan  agar perjalanan mudik lebih cepat sampai ke tujuan. Hanya saja persoalan hari ini, masyarakat dihadapkan pada harga tiket pesawat yang cenderung mahal setiap menjelang hari raya.


Mencermati kenaikan harga tiket pesawat yang signifikan setiap tahun terutama menjelang hari raya Idulfitri,  Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU)   meminta agar 7 perusahaan yang menjadi terlapor dalam perkara Nomor No. 15/KPPU-I/2019 tentang Dugaan Pelanggaran Pasal 5 dan Pasal 11 UU Nomor 5 Tahun 1999 untuk tidak menaikkan harga tanpa alasan yang rasional. Selain itu, jika  perusahaan menaikkan harga tiket kepada konsumen, maka seharusnya memberitahukan kebijakan tersebut kepada KPPU terlebih dahulu. 


Adapun pelaporan tersebut yakni terkait Jasa Angkutan Udara Niaga Berjadwal Penumpang Kelas Ekonomi Dalam Negeri (Perkara Kartel Tiket). Ketujuh Terlapor tersebut adalah PT Garuda Indonesia (Persero), Tbk, PT Citilink Indonesia, PT Sriwijaya Air, PT Nam Air, PT Batik Air, PT Lion Mentari, dan PT Wings Abadi. (cnbcindonesia.com, 15 Maret 2024) 


KPPU pun berencana menjadwalkan pemanggilan maskapai penerbangan tersebut akibat penjualan harga tiket yang melebihi tarif batas atas. Hal ini terjadi seiring dengan kenaikan tiket pesawat setiap tahun menjelang Idulfitri. Setiap rakyat tentunya ingin merasakan transportasi udara yang murah dan nyaman. Apalagi di Indonesia yang merupakan negara kepulauan, hingga angkutan udara menjadi salah satu tuntutan kebutuhan publik. Namun kenyataannya rakyat harus merogoh kocek yang besar untuk mendapatkan tiket pesawat.


Meski banyak rakyat yang merasa keberatan dengan kenaikan harga tiket pesawat, tetapi pihak pemerintah melalui Kemenhub menyampaikan bahwa kenaikan itu masih sesuai tarif batas atas (TBA) yang ditentukan. Bahkan, Menparekraf Sandiaga Uno, mengimbau masyarakat untuk pulang kampung sebelum kenaikan tiket dan menjalankan work from home (WFH). Ia juga menegaskan jika kenaikan ini bukan karena harga avtur yang naik, melainkan karena kurangnya jumlah pesawat. Hingga ia berharap pesawatnya yang mesti diperbanyak. (Bisnis.com, 7/2/2024)


Sikap dan imbauan dari pejabat pemerintah tersebut menunjukkan abainya negara dalam mengurusi urusan masyarakat. Semua ini terjadi  akibat negara  menerapkan sistem ekonomi kapitalisme. Dalam aturan ini, negara dilegalkan untuk menyerahkan pengelolaan sarana umum termasuk transportasi udara pada pihak korporasi atau swasta tak terkecuali asing. Alhasil, transportasi udara menjadi objek komersialisasi atau bisnis untuk mendapatkan keuntungan semata. Padahal, transportasi adalah kebutuhan publik yang seharusnya negara memberikan pelayanan terbaik, murah, dan memadai bagi rakyat. 


Sayangnya dalam sistem kapitalisme, negara hanya berperan sebagai regulator yang melayani kepentingan segelintir orang atau korporasi bukan melayani rakyat. Tak heran jika harga tiket pesawat terus melonjak naik sesuai keinginan perusahaan angkutan udara hari ini. 


Selain itu, kita juga mendapati seluruh aspek transportasi penerbangan berada dalam kendali korporasi asing maupun dalam negeri. Mulai dari alat angkutnya yaitu pesawat, bahan bakar minyak untuk pesawat hingga infrastruktur berupa bandar udara dengan segala kelengkapannya.


Padahal negara Indonesia memiliki banyak ahli teknologi yang mampu menciptakan pesawat  berkualitas dan layak, tanpa harus bergantung kepada pihak luar.  Sayangnya mereka tidak diberi kepercayaan dan fasilitas yang memadai untuk mewujudkan hal tersebut. Demikian pula bahan bakar minyak pesawat, negara mestinya memiliki kemandirian untuk memenuhinya. Mengingat sumber daya alam (SDA) yang ada demikian melimpah. Seandainya pengelolaan SDA ini dikelola oleh negara secara mandiri, niscaya negara akan  mampu menyediakan transportasi publik,  juga  dapat membangun berbagai sarana dan prasarana untuk kemaslahatan umum, seperti bandara, jalan raya, jalan tol. Sayangnya semua ini tidak dapat terwujud karena pengelolaan SDA diserahkan kepada pihak swasta dan asing. 


Inilah konsekuensi dari penerapan sistem ekonomi kapitalisme dan sistem politik demokrasi. Rakyat terpaksa harus menerima pelayanan ala kadarnya dari pemerintah atas pemenuhan kebutuhan mereka. Pelayanan transportasi udara berkualitas, murah, aman, dan nyaman, hanyalah angan-angan. 

Apa yang terjadi hari ini akan berbeda jika negara menerapkan aturan Islam. Dimana negara menjadikan aturan Allah Swt. sebagai satu-satunya sumber hukum dalam seluruh aspek kehidupan, termasuk dalam sistem ekonomi dan sistem politik Islam. 

Islam memiliki konsep yang sempurna dalam mengatur kehidupan manusia. Konsep ini bukan sekedar teori tetapi praktis atau sangat rasional diterapkan dalam kehidupan umat manusia. 


Terkait transportasi publik, Islam memandang bahwa transportasi udara, laut, maupun darat merupakan kebutuhan publik. Sementara negara merupakan pihak yang bertanggung jawab langsung dan sepenuhnya dalam menjamin akses setiap orang terhadap transportasi udara yang berkualitas,  murah, aman,  dan nyaman. 


Rasulullah saw. bersabda: "Imam (pemimpin) adalah raa'in  (pengurus) dan ia bertanggung jawab terhadap urusan rakyatnya." (HR.Bukhari) 

Dengan demikian, negara tidak akan melibatkan pihak swasta dalam hal pengelolaan dan pendanaan ketersediaan transportasi udara. Negara juga tidak boleh menjadikan transportasi sebagai sumber pemasukan negara. Sebab, pemenuhannya dilakukan dengan prinsip pelayanan terhadap seluruh pemenuhan kebutuhan rakyat. 


Adapun pendanaan untuk seluruh kebutuhan umum termasuk transportasi udara,  dapat dialokasikan dari kekayaan negara yang tersimpan di Baitulmal pos kepemilikan umum. Dengan pengelolaan sistem ekonomi Islam, meniscayakan negara memiliki kemampuan finansial yang memadai untuk memikul tanggung jawabnya dalam pembiayaan pemenuhan kebutuhan umum. 


Demikian pula dalam memenuhi kebutuhan transportasi udara. Negara akan mampu untuk mewujudkannya secara mandiri dalam seluruh aspeknya. Mulai dari pengadaan pesawat yang memadai dari aspek kualitas dan kuantitas, bahan bakar, bandara dengan segala kelengkapannya, dan sumber daya manusia sebagai ahli penerbangan yang handal di bidangnya semisal pilot, co-pilot, teknisi dan staf penerbangan lainnya. 


Negara akan memberikan perhatian, kepercayaan dan memberikan fasilitas yang memadai kepada para ahli teknologi dalam rangka meningkatkan kualitas pesawat dan pelayanan penerbangan. Sehingga rakyat dengan ekonomi tinggi maupun rendah dapat merasakan transportasi udara dengan kualitas yang sama kapan saja termasuk menjelang hari raya Idulfitri. 


Sejarah telah menunjukkan begitu besarnya perhatian negara dalam meningkatkan kualitas penerbangan dan membangun sarana transportasi udara serta kemajuan teknologi demi memperkuat pertahanan negara. Di era Khilafah Utsmaniyah, para pejabat militer   mengundang para penerbang Prancis ke Istanbul untuk melakukan demonstrasi dalam rangka mengamati perkembangan pesawat militer di Eropa pada tahun 1909. Selanjutnya pada tahun 1910 beberapa kader muslim dikirim ke Eropa untuk dilatih sebagai pilot. Selain itu agar negara tidak lengah dan tertinggal, Menteri Perang Mahmut Sevket Pasa menunjuk Letnan Kolonel Süreyya Bey pada tahun 1911 untuk mendapatkan balon, demi memimpin pembangunan fasilitas penerbangan dan mengatur pelatihan para pilot. 


Besarnya perhatian negara untuk meningkatkan kualitas dan pelayanan penerbangan hanya akan terwujud dalam negara yang menerapkan aturan Islam secara kafah.


Wallahua'lam bissawab.

Post a Comment

Previous Post Next Post