Oleh Hasna Fauziyyah Khairunnisa
Pegawai Swasta
Pesta demokrasi telah usai, serta meninggalkan berbagai fenomena miris di kalangan para caleg dan tim suksesnya. Seperti yang dialami oleh warga Desa Jambewangi, Kecamatan Sempu, Banyuwangi, Jawa Timur. Mereka dihebohkan dengan penarikan material paving block oleh salah satu calon anggota legislatif/caleg. Ada juga seorang calon anggota Legislatif Kabupaten Subang, Jawa Barat membongkar jalan yang sebelumnya ia bangun dan meneror warga dengan petasan. Akibat teror ini, seorang warga meninggal dunia terkena serangan jantung. Sementara, di Jawa Barat terdapat dua orang tim sukses salah satu caleg depresi usai gagal menghantarkan caleg jagoannya meraih suara. Bahkan, yang lebih miris dan menyedihkan, ada anggota tim sukses caleg yang nekat bunuh diri.
Penyebab Rawannya Gangguan Mental Saat Pemilu
Berbagai fenomena ini menggambarkan lemahnya kondisi mental para caleg atau tim suksesnya, yakni mereka hanya siap menang dan tidak siap kalah. Fenomena ini juga menggambarkan betapa jabatan menjadi sesuatu yang sangat diharapkan karena banyaknya keuntungan dan fasilitas yang akan didapatkan. Demi mengejar itu semua mereka rela membeli suara rakyat dengan modal yang besar dengan pamrih mendapat suara rakyat. Inilah hasil penerapan sistem politik demokrasi kapitalisme, sitem politik yang menapikan aturan Allah, membuat politik begitu kotor dan keji. Manusia berebut kekuasan hanya untuk mendapatkan keuntungan, sementara legalitas politik demokrasi kapitalisme dilihat dari suara mayoritas. Akhirnya, model pemilu politik demokrasi kapitalisme meniscayakan pemilu berbiaya tinggi.
Kekuasaan dalam Islam
Umat harus menyadari dan tidak membiarkan fakta yang rusak itu sebagai sesuatu yang biasa. Padahal, kondisi tersebut adalah akibat dari sistem kufur demokrasi kapitalisme. Sebenarnya, politik tidak kotor dan hina seperti ini, jika sistem kehidupan yang menaungi kaum muslimin itu sahih yakni sistem Islam. Dalam Islam kekuasaan dipandang sebagai amanah yang akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah Swt.
Kekuasaan dalam Islam digunakan untuk menerapkan syariat Islam, bukan untuk memperkaya diri dan golongan. Imam Al Ghazali dalam kitab nya Al-Iqtishad fi al-I’tiqd, 1/78 mengatakan:
“Agama dan kekuasaan itu ibarat dua saudara kembar. Agama adalah fondasi, sedangkan kekuasaan adalah penjaganya. Apa saja yang tidak memiliki fondasi akan hancur. Apa saja yang tidak memiliki penjaga akan lenyap.”
Konsep kekuasaan seperti inilah yang sahih dan harus dipahami oleh kaum muslimin. Selain itu, Islam juga menetapkan cara-cara yang ditempuh untuk meraih kekuasaan harus sesuai dengan hukum syariat. Dalam kitab Ajhizah ad Daulah dijelaskan, bahwa metode baku untuk mengangkat seorang khalifah adalah bai’at. Tanpa bai’at kekuasaan seorang khalifah tidak sah. Sementara pemilu hanya sebatas uslub (cara) untuk memilih calon khalifah. Adapun, batas kekosongan kepemimpinan hanya berlangsung tiga hari dengan malamnya.
Dengan batas waktu ini, majelis umat dan mahkamah madzalim bekerja siang dan malam untuk menyeleksi para calon khalifah sesuai dengan syarat in’iqad khalifah. Setelah para calon khalifah terseleksi, umat boleh melakukan pemilu untuk memilih khalifah. Mekanisme ini pernah dijalankan ketika pemilihan Ustman bin Affan atau Ali bin Abi Thalib untuk menjadi khalifah. Hasil dari pemilu ini menghasilkan Ustman bin Affan menjadi khalifah. Setelah itu Ustman dibai'at oleh kaum muslimin untuk mengemban amanah pemerintahan.
Demikianlah, pemilihan dalam Islam. Pemilu hanyalah uslub atau cara untuk mencari pemimpin. Mekanismenya sederhana, praktis, tidak berbiaya tinggi, tanpa tipuan atau janji-janji karena penuh kejujuran. Adapun para calon memiliki kepribadian Islam dan hanya mengharap rida Allah semata. Seperti inilah hasil politik sahih, individu yang terpilih adalah orang-orang yang bermental kuat dan amanah terhadap kekuasaan. Semua ini hanya bisa dijalankan asal kaum muslimin mengambil kembali Islam sebagai ideologi yang secara praktis akan diterapkan dalam negara khilafah.
Wallahu a'lam bishshawwab
Post a Comment