Mahasiswi di Depok
Jumlah anak
di seluruh dunia yang tak memiliki akses perlindungan sosial apa pun setidaknya
mencapai 1,4 miliar. Ini merupakan anak di bawah usia 16 tahun berdasarkan data
dari lembaga PBB dan badan amal Inggris Save the Children. Menurut Direktur
Global Kebijakan Sosial dan Perlindungan Sosial UNICEF, Natalia Winder Rossi, sebagaimana
yang dikutip Antara, Kamis (15/2/2024), secara global, terdapat 333 juta
anak yang hidup dalam kemiskinan ekstrem, berjuang untuk bertahan hidup dengan
pendapatan kurang dari 2,15 dolar AS (Rp33.565) per hari, dan hampir satu
miliar anak hidup dalam kemiskinan multidimensi.
Data yang menunjukkan
peningkatan global yang rendah dalam akses terhadap tunjangan anak selama 14
tahun, dari 20 persen pada 2009 menjadi 28,1 persen pada 2023. Namun, kemajuan
yang dicapai tidak seimbang. Di negara-negara berpendapatan rendah, tingkat
cakupan masih sangat rendah, yaitu sekitar 9 persen. Pada saat yang sama, 84,6
persen anak-anak di negara-negara berpendapatan tinggi telah tercakup dalam
program tersebut.
Pemerintah
memperkirakan kemiskinan ekstrem bisa melonjak drastis pada penghujung tahun
masa pemerintahan Presiden Joko Widodo, yakni tahun 2024. Ini karena basis
perhitungan penduduk miskin yang digunakan secara global berbeda dengan yang
digunakan pemerintah selama ini. Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional
(PPN)/ Kepala Bappenas Suharso Monoarfa mengatakan selama ini pemerintah
menggunakan basis perhitungan masyarakat miskin ekstrem dengan garis kemiskinan
sebesar US$ 1,9 purchasing power parity (PPP) per hari. Padahal secara global
sudah US$ 2,15 PPP per hari.
Suharso
menjelaskan, dengan basis perhitungan itu saja pemerintah harus mengentaskan
5,8 juta jiwa penduduk miskin hingga mencapai nol persen pada 2024. Ini setara
dengan 2,9 juta orang per tahunnya. Sementara itu, bila basis perhitungan orang
yang bisa disebut sebagai miskin ekstrem dengan perhitungan secara global,
yakni US$ 2,15 PPP per hari, maka pemerintah harus mengentaskan 6,7 juta orang
penduduk miskin hingga 2024, atau 3,35 juta orang per tahunnya.
Kemiskinan
bagaikan momok mengerikan yang menyerang hampir seluruh dunia. Tidak memandang
apakah itu negara berkembang atau negara maju. Kenyataan ini didukung dengan
pemberitaan di berbagai sosial media serta kondisi lapangan yang
memprihatinkan. Penyebab kemiskinan kian merebak bukan sekadar adanya
kesenjangan sosial, melainkan ada satu unsur yang secara struktural membuat
kemiskinan ini merata hampir setiap lini.
Di saat
kemiskinan kian menjamur, di saat itu pula maraknya perusahaan asing dan aseng
yang masuk dan menjalin kerja sama utamanya di negeri kaum Muslim yang memiliki
sumber daya alam melimpah. Kerja sama yang mereka jalin, bukan sekadar kerja sama
biasa melainkan kerja sama dengan unsur penjajahan, eksploitasi hingga
kerusakan lingkungan. Hal ini mampu kita lihat di dalam negeri kita sendiri.
Freeport contohnya. Seharusnya provinsi Papua menjadi provinsi yang makmur,
sejahtera dan tergolong kaya namun justru kondisinya bertolak belakang.
Kemiskinan membawa dampak yang tidak main-main. Karena kemiskinan, banyak anak-anak di bawah umur memutuskan untuk tidak melanjutkan sekolah. Mereka lebih memilih untuk mengamen atau bahkan menjadi tulang punggung keluarganya. Kasus pekerja di bawah umur kian menjamur dan kebanyakan berlokasi di negara miskin. Tidak hanya sampai situ, upaya yang dilakukan pemerintah cenderung salah sasaran. Hal ini biasa terjadi di kalangan masyarakat. Mereka yang seharusnya menerima bantuan justru tidak menerimanya, ini disebabkan karena data yang terkumpul tidak sesuai. Di sisi lain, perlindungan sosial negara hari ini ibarat tambal sulam sistem ekonomi kapitalis, yang tak akan membuat generasi sejahtera.
Sehingga
bila dianalisis, dampak pada generasi yang akan mendatang kondisinya akan jauh
lebih buruk lagi. Utamanya bila rantai seperti ini tidak diputuskan sesegera
mungkin. Belum lagi tingkat pendidikan yang semakin rendah karena dampak
mahalnya biaya pendidikan kemudian nantinya menghasilkan kualitas SDM yang
turut rendah. Begitu juga dengan kualitas kesehatan yang kelak akan semakin
memburuk karena adanya kemiskinan. Kemudian, kasus stunting, busung lapar, dan
ragam penyakit lainnya akan terus meningkat. Tidak sedikit juga masyarakat yang
mengalami kasus penyakit langka sedari kecil. Tentu saja disini diperlukan
biaya untuk menanganinya dan biaya ini tidak sedikit.
Maka bisa
disimpulkan bahwa kita tidak mampu untuk memberantas kemiskinan hanya dengan
bantuan lembaga sekelas PBB. Kita membutuhkan peran negara secara langsung.
Namun sayangnya, hal ini tidak akan kita dapati dalam sistem kapitalisme.
Sistem kapitalisme adalah unsur yang menyebabkan kemiskinan ekstrem secara
struktural. Sistem ini memberi kebebasan dalam kegiatan ekonomi sehingga
pengusaha dapat menguasai hajat hidup rakyat termasuk menguasai sumber
daya Alam. Kondisi ini merupakan konsekuensi dari reinventing government,
negara hanya berperan sebagai regulator.
Dalam sistem
kapitalis, perusahaan baik asing dan aseng secara jelas mengambil untung,
sementara rakyat akan hidup miskin. Kondisi ini menjadi ancaman terhadap
keselamatan generasi, dan masa depan bangsa. Bertolak belakang dengan Islam.
Dalam Islam, negara memiliki kewajiban dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat
melalui berbagai mekanisme yang sudah ditetapkan dalam sistem Islam.
Perlindungan generasi menjadi prioritas negara melalui berbagai kebijakan
negara. Sehingga sudah saatnya kita meninggalkan sistem buruk ini dan kembali
kepada sistem Islam.[]
Post a Comment