Oleh Suci Halimatussadiah
(Ibu Pemerhati Umat)
Pada akhir Januari lalu ramai diberitakan bahwa pendanaan untuk badan PBB yang menangani warga Palestina di Gaza, UNRWA, telah ditangguhkan. Penangguhan ini dengan alasan bahwa setidaknya ada 12 anggota UNRWA yang terlibat dalam serangan Hamas terhadap Israel pada 7 Oktober yang menewaskan lebih dari 1.200 warga Israel dan lebih dari 240 orang disandera di Jalur Gaza. (BBCNewsIndonesia.com, 30/1/2024)
Menanggapi aksi penangguhan itu, Komisi Hak-hak Anak PBB menyerukan negara-negara donatur UNRWA untuk mempertimbangkan kembali keputusan penangguhan anggaran di tengah situasi krisis yang mengancam anak-anak di Gaza.
Memasuki bulan kelima semenjak badai Al Aqsa, setiap hari lebih dari sepuluh anak di Gaza kehilangan salah satu atau kedua kakinya karena terkena bom. Sementara 17.000 anak, kini hidup sendiri karena kedua orang tuanya wafat atau terpisah dari mereka.
Selain itu, PBB juga merilis data terbaru bahwa sedikitnya 27.585 warga Palestina meninggal dan 66.978 orang mengalami luka-luka. Di luar itu, masih ada sekitar 7.000 orang lebih yang diperkirakan terkubur di bawah puing-puing reruntuhan bangunan, mayoritas korban adalah anak-anak. (VOA Indonesia 9/2/2024)
Ironi Rasa Kemanusiaan
Sesungguhnya jika diperhatikan secara saksama, inilah fakta nyata untuk yang kesekian kalinya dipertontonkan oleh negara-negara maju yang memosisikan diri sebagai yang paling memiliki rasa kemanusiaan, sekaligus sebagai pendonor utama dalam menjaga keberlangsungan program lembaga tersebut.
Jika memang yang bersalah adalah sebagian kecil staf yang tidak seberapa itu, mengapa harus mengorbankan kepentingan kemanusiaan yang jauh lebih besar? Bukankah badan tersebut eksis di tengah-tengah masyarakat Palestina terutama di Gaza karena adanya penjajahan zionis yang mereka dukung?
Di satu sisi menampakkan rasa peduli, tetapi di sisi lain mendiamkan agresi brutal Zionis yang menimbulkan jutaan korban jiwa, bahkan terusir dari wilayahnya sendiri. Lalu, jika pihak terjajah melakukan perlawanan, bukankah itu sebuah kewajaran?
Jika banyak pihak memberikan simpati dan empati, bukankah itu juga sebuah keniscayaan sebagai respons kejahatan luar biasa yang dilakukan Zionis yang berlangsung selama puluhan tahun?
Bukankah ini termasuk memperjuangkan kehidupan yang bebas sebagaimana yang sering digembor-gemborkan tentang rasa kemanusiaan? Tidakkah penduduk Palestina berhak untuk hidup bebas di tanah mereka sendiri, tanpa rasa takut, tanpa rasa lapar, tanpa harus menggantungkan berbagai bantuan asing, terlebih lagi, bebas dari penjajahan.
Sebagai lembaga yang didirikan dengan misi tertentu, yakni setelah pembentukan negara Israel pada 1948 maka UNRWA adalah kepanjangan tangan PBB yang difungsikan sebagai lembaga bantuan pekerjaan PBB untuk pengungsi Palestina. Lembaga ini memiliki program mengelola sekolah, layanan sosial, pusat kesehatan, dan mendistribusikan bantuan makanan kepada 5,9 juta pengungsi Palestina di Gaza, Tepi Barat yang diduduki, Yerusalem Timur, Lebanon, Suriah, dan Yordania.
Sebagian besar pendanaan untuk UNRWA berasal dari kontribusi sukarela dan sumbangan dari negara-negara donor. Donor terbesar adalah AS dan Jerman, serta 10 negara lainnya. Oleh karenanya, keberlangsungan program tergantung pada kondisi para pendonor, sesuai dengan mood yang ada. Jika memang keberadaan lembaga ini diniatkan untuk menuntaskan persoalan pengungsi, tentu tidak seperti ini skemanya.
Seharusnya lembaga seperti ini tidak hanya menyibukkan diri dengan mengurusi para korban saja, sebab mereka memiliki kapasitas dengan mandat yang ada pada mereka. Rekomendasi yang diambil adalah menuntut dibubarkannya negara Zionis yang kelahirannya dibidani oleh PBB sehingga persoalan pengungsi ini tidak menjadi beban lagi karena bangsa Palestina untuk kembali mendapatkan hak asasinya. Namun, rupanya ini hanyalah ilusi semata.
Tuntutan penangguhan dana UNRWA yang sesungguhnya tidak substantif memberikan gambaran bahwa dunia hari ini tidak memiliki empati, mengabaikan rasa kemanusiaan karena terjadi di tengah beratnya penderitaan rakyat Palestina termasuk anak-anak tidak berdosa. Dunia diam saja, seolah merestui perubahan anggaran tersebut. Ibarat paduan suara, mereka serempak melantunkan nada yang sama. Akan tetapi, perubahan ini membuktikan hilangnya rasa kemanusiaan dunia atas penderitaan muslim Palestina.
Hal ini juga menjadi bukti rusaknya tata kehidupan hari ini, yaitu sistem kapitalisme yang segala sesuatu didasarkan pada untung rugi. Seberapa pun brutalnya Zionis tetap saja disebut sebagai korban, bukan sebagai penjajah.
Islam adalah sistem hidup yang menghargai nyawa manusia, apalagi warga sipil di medan perang. Islam diturunkan Allah untuk memberi rahmat bagi semesta alam. Oleh karena itu, Islam menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, termasuk kepada umat lain yang membutuhkan bantuan.
Begitu sempurnanya Islam dalam mengatur tata kehidupan sehingga keberadaannya mampu menjadi solusi bagi semua umat manusia, mengantarkannya pada kondisi sejahtera, baik lahir maupun batin. Jaminan kesejahteraan ini hanya bisa diwujudkan ketika sistem Islam diterapkan pada tataran individu masyarakat, dan sistem negara.
Maka, sudah sepatutnya kita memperjuangkan kembali sistem Islam dan mencampakkan sistem busuk yang hanya memberikan kesengsaraan bagi dunia. Daulah Islamiah yang akan menjadi perisai dan solusi tuntas bagi seluruh problematika hidup.
Wallahualam bissawab.
Post a Comment