Ongkos Pemilu Mahal, Caleg Depresi Gagal Masuk Parlemen

 



Oleh Dwi Sri Utari, S.Pd

(Guru dan Aktivis Politik Islam)

 

Rakyat Indonesia telah usai menyelenggarakan pemilihan umum (Pemilu) 2024. Usainya “pesta demokrasi” sering diikuti dengan fenomena caleg yang gagal terpilih dan tim sukses yang merasa kecewa. Berbagai macam respon pun ditunjukan, mulai dari menderita stress bahkan hingga bunuh diri, sampai menarik kembali “pemberian” pada masyarakat. Agenda lima tahunan tersebut memang sering dijadikan ajang unjuk kemampuan diri agar dipilih menjabat sebagai pengemban amanah rakyat. Berbagai macam cara dilakukan oleh para caleg untuk mendapatkan kepercayaan rakyat. Tentu saja mereka perlu menggelontorkan dana yang tidak sedikit untuk hal tersebut.


Sudah diketahui bersama bahwa ongkos pemilu tidaklah murah. Tak ayal, ketika mereka mengalami kegagalan memunculkan kekecewaan hingga depresi. Hal tersebut tergambar pula dari video yang sempat viral di platform media sosial tiktok, di mana terdapat seorang yang gagal nyaleg mengalami depresi. Ia berhalusinasi menggunakan pakaian dinas atau jas lengkap dengan dasi berkeliling kota dan kemudian masuk kantor.


Pemilihan langsung (Pemilu) adalah metode pemilihan kepala negara maupun kepala daerah di Indonesia sebagaimana tercantum dalam UU 32/2004 di mana merupakan bagian dari reformasi politik dan demokratisasi yang sudah berjalan sejak 2005. Suara rakyat dalam Pemilu akan melegitimasi kepemimpinan, yang dimaksudkan agar pemimpin bertanggung jawab terhadap rakyat. Pelaksanaan pemilu dalam sistem demokrasi membutuhkan biaya politik tinggi yang harus ditanggung APBN. Disamping itu, setiap calon yang terjun dalam pemilu memerlukan modal politik sebagai “mahar” untuk mendapatkan fasilitas pendukung seperti rekomendasi partai, mendanai tim sukses, biaya kampanye, sumbangan politik pada masyarakat, hingga pembayaran saksi di TPS.


Prinsip demokrasi bahwa kekuasaan ada di tangan rakyat menyebabkan mahalnya biaya pemilihan. Sebagai tolok ukurnya yaitu cakupan dan besarnya partisipasi rakyat dalam sebuah pemilihan. Sehingga, agar calon pemimpin dapat terpilih, perlu adanya mekanisme sosialisasi dan membangun loyalitas dengan pemilih. Persaingan dalam memenangkan suara selaras dengan makin banyaknya calon. Dalam hal ini, akan makin banyak dana yang dibutuhkan dalam proses kampanye. Dana kampanye memang menjadi porsi yang paling besar dari biaya politik.


Dikutip dari detikfinance pada 13/2/2024, Berdasarkan hasil riset, INDEF mencatat asumsi rincian biaya yang dikeluarkan para caleg di masa Pemilu 2024. Banyak Kampanye di Medsos, Pemilu 2024 Jadi Minim Sumbangsih ke Ekonomi. Rinciannya adalah, Rp2-3 miliar hingga Rp5 miliar bagi caleg tingkat DPRD kabupaten/kota. Kemudian, Rp7-8 miliar untuk caleg tingkat DPRD Provinsi. Sementara untuk caleg DPR RI, Ahmad mengungkap ongkos yang harus dikeluarkan lebih banyak, jumlahnya bisa mencapai belasan miliar.


Berbeda dengan sistem demokrasi yang memerlukan ongkos yang fantastis. Pemilihan pemimpin dalam Islam memiliki mekanisme yang sederhana, praktis, dan ekonomis. Metode pemilihan dan pengangkatan Khalifah dilangsungkan melalui tiga tahapan, yakni pembatasan calon, proses pemilihan, dan pembaiatan. Dalam hal ini, ada tiga bentuk teknis pelaksanaan. Pertama, calon Khalifah dibatasi oleh ahlul ahli wal a’qdi atau Majelis Umat. Calon yang akan dipilih adalah mereka yang telah lolos seleksi calon yakni memenuhi syarat-syarat in’iqad (muslim, laki-laki, balig, orang yang berakal, adil, merdeka, dan mampu). Syarat in’iqad menjadi jaminan kualitas, integritas, dan kapasitas kepemimpinan. Satu-satunya faktor yang menggagalkan proses pencalonan adalah terpenuhi tidaknya syarat-syarat in’iqad. Kedua, pemilihan dilakukan oleh sebagian umat, hingga diperoleh seorang calon untuk menempati jabatan kepala negara. Ketiga, pembaiatan terhadap orang yang memperoleh suara terbanyak menjadi Khalifah, untuk menjalankan Kitabullah dan Sunah Rasul.


Rangkaian pemilihan tersebut hanya untuk memilih pemimpin negara (Khalifah). Sedangkan para pemimpin wilayah (wali) dan amil, akan dipilih dan diangkat oleh Khalifah. Masa jabatan pemimpin di dalam Islam tidak dibatasi waktu. Sehingga akan memberi waktu yang panjang bagi seseorang untuk membangun kepemimpinan secara alami di tengah umat, hal ini membuat seorang calon pemimpin tidak membutuhkan lagi kampanye untuk memperkenalkan dirinya. Inilah yang membuat pengangkatan pemimpin dalam Islam praktis, sederhana, dan ekonomis.


Disamping itu, jika dalam sistem demokrasi kekuasaan sangat menggiurkan sebab dijadikan sebagai momen untuk meraup kekayaan. Sehingga banyak orang berambisi terhadap jabatan dan kekuasaan hingga tidak sedikit orang menghalalkan segala cara. Hal tersebut tidak terjadi dalam sistem Islam, sebab Islam mendudukan kekuasaan sebagai amanah yang akan dimintai pertanggungjawaban dihadapan Allah Swt.


Abu Dzar berkata, “Wahai Rasulullah, tidakkah engkau menjadikanku (seorang pemimpin)?” Lalu Rasulullah saw. memukulkan tangannya di bahuku dan bersabda, “Wahai Abu Dzar, sesungguhnya engkau lemah, dan sesungguhnya hal ini adalah amanah, ia merupakan kehinaan dan penyesalan pada hari kiamat, kecuali orang yang mengambilnya dengan haknya, dan menunaikannya (dengan sebaik-baiknya).” (HR Muslim)


Tersebab jabatan adalah amanah, orang yang memegang jabatan sejatinya sedang memikul amanah berat yang harus ia pertanggungjawabkan kesesuaiannya dengan syariat Allah Taala. Jika ia berlaku adil, yakni menetapi syariat Allah Swt., ia akan beruntung. Jika berlaku zalim, kelak ia akan menyesal di akhirat. 


Wallahu'alam bissawab

 

 

Post a Comment

Previous Post Next Post