Mungkinkah Kesetaraan Gender Mampu Menyelesaikan Persoalan Perempuan ?


Oleh :Hj.Padliyati Siregar,ST



Komitmen Indonesia untuk mewujudkan kesetaraan gender sangatlah kuat. Indonesia telah meratifikasi CEDAW melalui UU 7/1984. Pada 2000, dikeluarkan Inpres 9/2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan (Inpres PUG) untuk mengintegrasikan perspektif gender. 


Pemerintah Indonesia telah mengintegrasikan kesetaraan gender ke dalam setiap tahapan RPJMN, mulai dari RPJMN I (2005—2009) hingga RPJMN IV (2020—2024). Indonesia juga membentuk Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) sebagai lembaga negara independen untuk penegakan HAM perempuan Indonesia. Komnas Perempuan dibentuk pada 9 Oktober 1998 berdasarkan Keppres 181/1998 yang diperkuat dengan PP 65/2005.


Berbagai regulasi untuk menguatkan kesetaraan gender pun disahkan, seperti UU 23/2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (PKDRT), UU 16/2019 tentang perubahan UU 16/2019 tentang Perubahan atas UU 1/1974 tentang Perkawinan (yang menaikkan usia minimum perkawinan untuk perempuan), serta Permendikbudristek 30/2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi.


Ada juga Keputusan Mahkamah Konstitusi Putusan Perkara Nomor 12/PUU-V/2007 yang menetapkan monogami sebagai asas perkawinan, dengan tanpa mencabut sejumlah persyaratan yang memberatkan seseorang yang akan melakukan poligami. 


Indonesia juga mengadopsi MDGs dan SDGs yang menjadikan kesetaraan gender sebagai salah satu tujuan yang hendak dicapai. Secara nyata, Indonesia menyatakan komitmen yang kuat untuk mewujudkan kesetaraan gender. Hal ini tampak dari berbagai pernyataan pejabat negara dalam berbagai kesempatan, baik global maupun nasional, mulai dari presiden hingga Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dan menteri lainnya dari masa ke masa.


Berbagai kebijakan dan program yang dimasifkan dalam kerangka “kebijakan dan anggaran responsif gender” adalah bukti tidak terbantahkan mengenai kuatnya komitmen mengikuti program global tersebut. Afirmasi 30% anggota parlemen; banyaknya menteri perempuan, kepala daerah perempuan, CEO, dan kepemimpinan perempuan dalam berbagai bidang lainnya; juga partisipasi penuh perempuan di dunia kerja, merupakan wujud implementasi kesetaraan gender.


Demikian juga kampanye aborsi aman, seks aman, hak otonomi tubuh, larangan pernikahan dini, ataupun larangan sunat perempuan, dianggap sebagai bentuk pengakuan terhadap hak perempuan.



Hina dan Sengsara


Berkaitan dengan kesetaraan gender, pakar karakter generasi dr. Faizah Rosyidah, M.Ked.Trop. menegaskan bahwa hal itu dapat mengantarkan pada kehidupan yang menghinakan dan menyengsarakan.


“Ketika muslim menjalani kesetaraan gender, sebenarnya tuntutan itu tidak lahir dari peradaban Islam, tetapi dari Romawi, Hindu, Arab jahiliah, dan kapitalisme. Perempuan menjadi warga negara kelas dua. Mereka seperti hewan, tidak punya hak memiliki, dll.,” terangnya pada peserta KMM.


Selanjutnya, ia menyatakan, perempuan menuntut hak ekonomi dan politik. “Namun, hal itu mengantarkan mereka pada tuntutan ingin disamakan.” lanjutnya.


Dari tuntutan itu, jelasnya, lahir tuntutan perempuan dapat melakukan apa saja. “Misalnya, perempuan perlu uang, mereka punya rahim. Mereka menjualnya karena menganggap ini adalah hak. Mereka akhirnya menolak aturan yang ada, seperti tidak terima diatur dalam memakai baju, my body my authority,” jabarnya.


Jadi, terangnya, bagi mereka aturan wahyu dari Tuhan sangat mengganggu. “Dalam hal ini, Islam yang menjadi sasaran. Oleh karena itu mereka tembak Islam,” tukasnya.


Selain itu, lanjutnya, ketika mereka meminta kesamaan kebebasan, ternyata terbentur dengan fakta bahwa perempuan itu haid, punya ASI, dan rahim. “Mereka merasa dibebani. Mereka mengeluarkan konsep gender. Seorang laki-laki tidak harus memiliki kelamin laki-laki dan perempuan tidak harus punya kelamin perempuan,” terangnya.


Inilah, tegasnya, yang disebut kesetaraan gender. “Mereka mendesak atau mengkritisi pembagian peran yang sifatnya biologis,” lanjutnya.


Dari sini, imbuhnya, mereka berpandangan kalau menikah tidak harus laki-laki dengan perempuan. “Tetapi boleh laki-laki dengan laki-laki dan sebaliknya, maka, lahirlah L6-87. Ini kan rusak,” paparnya.


Ia juga mencontohkan, ketika muncul anggapan negatif tentang pernikahan bahwa istri harus selalu siap diperkosa, ibu akan menjadi budak dll. menyebabkan munculnya banyak perceraian. “Akhirnya, menikah menjadi menakutkan. Banyak perempuan yang memilih waithood. Misalkan menikah, memilih free child. Kalaupun punya anak tidak bisa mendidik anaknya. Inilah semua rusak,” terangnya.



Syariat Islam Memuliakan Perempuan


Syariat Islam telah menggariskan bahwa perempuan harus mendapat perlindungan dan kedudukannya mulia di tengah masyarakat. Rasulullah saw. bersabda, “Innama an-nisa’ saqa’iq ar-rijal (perempuan adalah ‘saudara kandung’ para lelaki).” Di rumah tangga, mereka seperti dua orang sahabat yang saling bekerja sama dalam mendidik generasi. Dalam kehidupan publik, mereka adalah mitra yang bekerja sama membangun masyarakat.


Islam juga memerintahkan kepada laki-laki dan perempuan untuk menjaga pandangan sebagai bentuk pencegahan bagi munculnya kemaksiatan. Perempuan wajib menutup aurat dan menjaga kemaluannya sebagai upaya preventif terjadinya pelecehan.


Islam menempatkan tugas utama perempuan sebagai ummun wa rabbatul bayt (ibu dan pengurus rumah suami) yang tugas tersebut merupakan peran mulia dan strategis. Peran yang Allah bebankan ini bukan berdasar atas superioritas laki-laki sebab laki-laki pun memiliki tanggung jawab sebagai pemimpin, pelindung, pendidik, juga pencari nafkah keluarga. Keduanya bekerja sama dalam menjalankan kewajiban sebagai bentuk ketaatan kepada syariat Allah Taala.


Inilah yang harusnya menjadi tuntunan umat. Hukum-hukum Islam yang agung terbukti menjaga kehormatan perempuan selama masa kejayaan Islam. Kontras dengan kondisi saat ini, perempuan tereksploitasi, fitrahnya sebagai perempuan terenggut, dan kehidupan mereka penuh teror saat harus mengambil peran ganda sebagai penopang ekonomi keluarga.


Kapitalisme sekuler sesungguhnya bertanggung jawab atas kondisi ini. Islamlah solusi hakiki yang akan memuliakan perempuan dengan syariat-Nya dengan negara yang mengambil peran sebagai pengurus rakyatnya bukan menyerukan kesetaraan gender

Post a Comment

Previous Post Next Post