Mana yang Tepat: Selamatkan Demokrasi untuk Indonesia atau Selamatkan Indonesia dari Demokrasi?


Firda Isnaini


Akhir-akhir ini, masyarakat Indonesia masih sedang dihebohkan oleh hasil _quick count_ yang mengejutkan yang mengiri antusiasme masyarakat terhadap pemilu 14 Februari lalu. Beberapa masyarakat mengutarakan ketidakpercayaan terhadap hasil _quick count_ karena perhitungan suara di TPS dengan yang diunggah di aplikasi jauh berbeda. Bahkan, hampir semua konten yang diunggah di _platform_ X mengandung nada kekecewaan (kompasid, 16/02/2024). Belum lagi, penghitungan hasil pemilu, baik hitung cepat maupun hasil resmi, hanya bisa menyajikan angka, tetapi tidak bisa menjelaskan bagaimana angka itu muncul. 


Masyarakat, baik dari kalangan rakyat sipil hingga intelektual, banyak yang menyayangkan pemilu 2024 kali ini. Mulai dari keabsahan pencalonan yang dinilai melanggar etik (nasional.kompascom, 19/10/2023), model kampanye yang hanya mengedepankan _gimmick_ di medsos (cnnindonesiacom, 30/11/2023), anggapan adanya politik gentong babi (_pork barrel politics_) sebagai bujukan untuk memilih (megapolitan.kompascom, 08/02/2024), hingga hasil _quick count_ meragukan yang hanya mempertimbangkan ‘_human error_’ semata (kompasid, 22/02/24). 


Mahasiswa dan para aktivis mulai aktif menyoroti dinamika situasi politik nasional, khususnya menjelang pemilu, yang dianggap merusak iklim demokrasi (tribunnewscom, 21/01/2024). Menanggapi hal itu, sebelum pemilu, mahasiswa menggelar aksi sebagai bentuk keprihatinan terhadap situasi demokrasi yang dinilai sudah di ujung tanduk (nasional.kompascom, 07/02/2024). BEM SI pun juga turut mengumumkan ajakan untuk menghadiri konsolidasi nasional menuju perlawanan terhadap penghancur demokrasi yang diunggah di laman akun resmi instagram BEM SI (https://www.instagramcom/bem_si/). Belum lama ini juga, sebuah film yang sempat viral membongkar kecurangan selama proses kampanye dan pemilu yang dianggap menodai demokrasi (antikorupsiorg, 13/02/2024).


Berbagai kalangan, baik dari mahasiswa, aktivis, hingga rektor dan guru besar memberikan pernyataan dengan berbagai narasi yang intinya adalah mengusung tagline “Selamatkan Demokrasi”. Mereka memandang ada pencederaan atau penikaman terhadap demokrasi itu sendiri dengan berbagai kebijakan inkonstitusional yang menurut pandangan mereka tidak sesuai dengan demokrasi. Ketika kita melihat secara realistis, betulkah kebijakan yang inkonstitusional itu adalah bentuk pencederaan terhadap demokrasi? 


Di lain sisi, terkabulkannya kebijakan inkonstitusional ini adalah atas dasar keputusan demokrasi itu sendiri. Bahkan, demokrasi itu sendiri yang mengaminkan berbagai kebijakan ‘aneh’. Bagaimana tidak dikatakan itu tidak sesuai dengan asas demokrasi atau mencederai demokrasi ketika kebijakan itu hasil dari demokrasi sendiri?


Sangat disayangkan, mereka saat ini masih mengira bahwa kerusakan yang terjadi di negeri ini disebabkan adanya kecacatan dalam pelaksanaan demokrasi. Sehingga, upaya yang mereka lakukan untuk menyelamatkan bangsa ini ialah memperbaiki pelaksanaan demokrasi sendiri dengan mengganti orang-orang yang mengisi demokrasi tersebut. 


Negara kita telah merdeka hampir 80 tahun dan telah berganti pemimpin sebanyak tujuh kali dengan sistem yang sama, sistem Sekularisme-Kapitalisme Demokrasi. Sehingga dalam melihat persoalan negeri ini, kita harus bersikap bijak. Apakah ini hanya suatu kesalahan pemimpin/rezim semata? Apakah kita perlu mengganti pemimpin saja atau kita perlu mengurai secara mendasar terkait sistem yang menjadi pijakan hukum negeri ini, sistem Sekulerisme-Kapitalisme Demokrasi? Lalu, apa yang sebenarnya menjadi problematika utama negeri ini?


Melalui pemilu 2019 sebagai mekanisme demokrasi, Jokowi dan seluruh jajaran DPR di bawahnya terpilih sebagai pimpinan pemerintahan negeri ini. Kemudian, putusan tersebut tidak menjadi pertentangan pada pihak manapun. Tidak ada mahasiswa, aktivis, BEM SI, doktor, hingga profesor pun yang turun untuk protes hasil demokrasi terpilihnya Jokowi dan seluruh deretan wakil rakyat ini. Sehingga, ketika kebijakan ‘aneh’ yang dianggap sebagai inkonstitusional tadi muncul, semisal kasus yang ramai dibicarakan yaitu salah satu paslon cawapres yang tidak mencapai batas umur sesuai ketentuan tetapi tetap dapat mencalonkan diri setelah adanya putusan MK, putusan ini berdasarkan hasil pilihan demokrasi itu sendiri.


Bahkan, demokrasi yang berasal dari peradaban Yunani kuno ini diprotes sendiri oleh bapak pendiri filsafat Yunani, Plato. Mereka membahasakan konsep demokrasi ini melalui analogi antara orang yang memiliki pemahaman dengan yang tidak memiliki pemahaman nilainya sama. Penentu sebuah negara antara orang yang memiliki ‘otak’ (mampu berpikir) dengan orang yang tidak ber-’otak’ adalah nilainya sama karena dihitung sebagai satu suara. Analogi Plato, 


“Suatu sistem dimana ada kekuasaan politik “_Cratos_” berada di tangan rakyat “_demo_” tidak ada jaminan, pada kenyataannya tidak mungkin, mereka yang paling siap untuk memerintah mendapatkan kesempatan untuk mengelola urusan publik. Memerintah adalah kompetensi dan keterampilan, seperti kedokteran atau navigasi, adalah rasional untuk menyerahkan keterampilan kepada para ahli. Namun, dalam demokrasi, rakyat memerintah, dan rakyat bukan ahli. Karena itu, demokrasi itu tidak rasional.”


Alhasil, ketika kepentingan-kepentingan terancam, suatu kepemimpinan berubah menjadi tirani merupakan sebuah keniscayaan dalam sistem demokrasi. Saat ini, kita melihat banyak ketidakadilan dan aturan-aturan yang menyakiti rakyat bahkan kebijakan yang tidak pernah berpihak kepada rakyat. Inilah produk yang dihasilkan ketika demokrasi dijadikan pijakan hukum suatu negeri. Itulah wajah asli demokrasi.


Oleh karena itu, poin penting yang seharusnya kita kritisi dan kaji ulang ialah sistem yang menjadi pijakan negeri ini saat ini yang menghasilkan kebijakan-kebijakan inkonstitusional di atas, sistem Sekularisme-Kapitalisme Demokrasi. Bukan malah, kita menyuarakan untuk beramai-ramai menyelamatkan demokrasi demi kepentingan bangsa. Sebab, “demokrasi” seperti apa yang kita harapkan untuk mencapai bangsa yang adil dan sejahtera sementara bapak filsafat Yunani sendiri, tempat asal demokrasi lahir, sudah menyampaikan bahwa demokrasi memiliki sisi gelap. Semakin utuh sistem ini diterapkan, semakin nampak ketidakadilan.


Demokrasi merupakan sistem pemerintahan “dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat”. Artinya, rakyat ‘siapapun’ memiliki peluang besar untuk membuat aturan yang dapat menguntungkan dirinya dan golongannya. Inilah yang menyebabkan kekuasaan menjadi ajang perebutan siapapun yang bermain dalam demokrasi ini. Sehingga, suatu keniscayaan bahwa demokrasi sangat dekat dengan politik uang, “_money politic_”. 


Alhasil, banyak yang menginginkan menjadi penguasa untuk bisa membuat peraturan yang mampu memenuhi kepentingan dirinya. Ketika mencalonkan dan mempromosikan diri sebagai jajaran penguasa, mereka butuh modal untuk membeli mayoritas suara. Sehingga, misi pertama ketika sudah menjabat dalam jajaran pemimpin ialah mengembalikan modal ini. Modal ini nantinya akan dipulihkan dengan berbagai cara, mulai dari korupsi dana APBN atau mensahkan UU pesanan oligarki si pemilik modal untuk memuluskan usahanya, atau paling tidak menjual aset rakyat, seperti gunung emas, air, pulau atau jalan, yang merupakan kepemilikan umum rakyat kepada investor. Inilah cara kerja demokrasi sesungguhnya. Lalu, apa yang bisa kita harapkan dari demokrasi? 


Persoalan bangsa ini bukan sekedar persoalan pemimpin tetapi persoalan sistem. Bagaimanapun kita mengusung, bahkan yang dianggap pemimpin yang baik pun ketika kita usung di dalam sistem yang demikian, tetaplah tidak akan mampu berkutik. Oleh karena itu, sudah saatnya, jajaran intelektual negeri ini membuka wacana politik yang lebih luas, tidak terkungkung hanya pada perubahan rezim tetapi menelaah kembali sistem pijakan negeri ini. Sedangkan saat ini, peran perubahan dan politik yang dilakukan dalam rangka kepedulian kita terhadap negeri ini seolah-olah hanya terkungkung pada definisi demokrasi. 

 

Kondisi sistem sekarang akan sangat berbeda ketika sistem Islam yang menjadi pijakan negeri ini. Dalam sistem Islam, tidak akan terjadi semacam kecurangan-kecurangan atau kebijakan inkonstitusional sebagaimana yang terjadi saat ini. Hal ini dikarenakan yang menjadi dasar hukum sebuah negara adalah hukum Allah (syariat Islam). Allah swt. berfirman, 

“Menetapkan (hukum itu) hanyalah hak Allah. Dia menerangkan kebenaran dan Dia pemberi keputusan yang terbaik.” (QS. Al An’am: 57)


Hukum Allah ini paten dan tidak berubah-ubah, apapun kondisinya. Meskipun kepemimpinan berganti, hukum Allah akan tetap. Semisal, ayat Allah menetapkan riba itu haram, baik dulu maupun sekarang akan tetap haram, tidak akan pernah berubah menjadi halal walau satu sen pun. Sehingga, wacana atau kebijakan pinjol solusi pelunasan ukt (student loan) tidak akan pernah menjadi solusi yang terlintas dalam sebuah negara yang menjadikan hukum Allah sebagai pijakan. Hukum Allah tidak akan berubah.


Tidak akan ada kepentingan-kepentingan yang ikut campur mengotak-atik hukum Allah. Seorang Khalifah tidak akan mengaminkan permintaan pihak lain yang menyuruh kepada kemungkaran walaupun pihak ini memiliki kerja sama dengan negeri tersebut. Sehingga semisal dalam tanda kutip, Khalifah yang memimpin nanti didukung oleh pemilik modal perusahaan fashion barat yang menyatakan bahwa jilbab tidak wajib dan mewajibkan negeri ini untuk mengikuti pandangan beliau, tidak akan diaminkan permintaan ini. Hal ini dikarenakan mekanisme di dalam Islam berbeda dengan demokrasi. 


Ketika sistem Islam diterapkan suatu peradaban dalam sistem ketatanegaraan (Daulah Islamiyah), kebutuhan komunal akan ditanggung seluruhnya oleh negara. Pendidikan gratis karena Islam memahami bahwa menuntut ilmu adalah suatu kewajiban bagi setiap muslim dan negara wajib menyediakan pendidikan yang dapat dijangkau oleh seluruh rakyatnya, baik muslim maupun non-muslim, kaya maupun miskin, dan laki-laki maupun perempuan. Kesehatan juga gratis. Bahkan, keamanan pun terjaga. 


Semua ini bisa terlaksana dalam suatu negara jika terdapat sistem politik-ekonomi tentang pengelolaan kepemilikan umum oleh negara yang seluruh hasilnya untuk umat. Sehingga, selain kebutuhan komunal yang sudah ditanggung oleh negara, kebutuhan sehari-hari juga murah, seperti bahan pangan, bbm, listrik, air, dll. Hal ini dikarenakan negara secara mandiri mengelola kekayaan alam negerinya.  


Sehingga, dibandingkan dengan serangan fajar sebesar 30k, 50k, atau mungkin 100k, tetapi bbm naik, listrik tetap mahal, harga beras semakin naik karena gagal panen dan ketidakmampuan negara ini memandirikan pangan dan sebagainnya, tentu sistem Islam sangat berbanding terbalik. Indonesia akan lebih baik dan barokah dengan penerapan sistem Islam secara kaffah, sistem yang menyeluruh dari sistem politik, ekonomi, pendidikan, kesehatan, sosial, hingga sanksi. 


“Karena itu janganlah kamu takut kepada manusia, (tetapi) takutlah kepada-Ku. Dan janganlah kamu jual ayat-ayat-Ku dengan harga murah. Barangsiapa tidak memutuskan dengan apa yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang kafir.” (QS. Al-Maidah: 44)

Post a Comment

Previous Post Next Post