Oleh Fika Kartika W
Dosen Perguruan Tinggi Malang
Lagi dan lagi, publik
digegerkan pada bulan Februari lalu dengan berita pelajar SMP di Lampung yang
diperkosa oleh 10 orang yang mana beberapa pelaku diantaranya masih dibawah
umur (media online kompas, 15/03/2024). Korban saat ditemukan dalam kondisi yang sangat
mengenaskan karena disekap di dalam gubuk selama 3 hari tanpa diberi makan
serta mengalami pelecehan seksual. Tindakan sadis berikutnya, bulan suci
Ramadan harus ternodai dengan aksi tawuran perang sarung yang memakan 1 korban
berusia 17 tahun meninggal dunia. Pelaku membawa kunci shock berbentuk huruf T
dan mengayunkannya ke kepala korban sebanyak tiga kali sehingga korban terkapar
dan tidak sadarkan diri (media online cnnindonesia, 16/03/2024). Kasus-kasus ini kian menambah deretan panjang kebobrokan generasi
di bawah penerapan sistem sekularis. Peristiwa memilukan ini harusnya menjadi
alarm keras, terutama bagi dunia pendidikan untuk segera sadar dan berbenah.
Mengapa seorang pemuda bisa begitu keji membunuh banyak nyawa? Apa yang
sebenarnya terjadi dengan generasi kita saat ini? Tak bisa dipungkiri, saat ini
generasi muda makin jauh dari nilai-nilai kebaikan. Tak sedikit generasi muda
menjadi pelaku kejahatan atau tindak kriminal bahkan hingga menghilangkan nyawa
orang lain. Mirisnya, banyak pelajar bahkan anak di bawah umur menjadi pelaku
beragam kejahatan. Hal ini tentu mencerminkan rusaknya generasi. Di sisi lain,
hal ini juga menjadi bukti bahwa kurikulum pendidikan nyata telah gagal
mencetak generasi yang berkualitas. Harga mahal yang harus dibayar ketika
menerapkan sistem sekularis alih-alih sistem Islam. Sistem rusak ini telah
menghasilkan generasi tidak bermoral dengan daya rusak yang dahsyat. Imbasnya
tak hanya keluarga, tapi juga masyarakat dan negara. Selain itu, lingkungan
yang rusak juga berpengaruh dalam membentuk kepribadian generasi, termasuk
maraknya tayangan dengan konten kekerasan dan seksual. Generasi muda tumbuh
dalam era keterbukaan digitalisasi dan informasi.
Pun negara telah gagal
membendung konten-konten kekerasan, porno, penyimpangan dan lain sebagainya
yang merusak moral anak bangsa. Justru konten-konten ini makin merjalela dan makin mudah diakses anak-anak dibawah umur. Jika akses
internet demikian bebas, bukan tidak mungkin generasi terpapar tindak kriminal
dari aktivitas mereka di dunia maya. Di sinilah peran negara sangat penting.
Mulai dari penyusunan kurikulum, sistem pendidikan, hingga pengawasan
digital. Hukum dan UU yang ada pun nyatanya tidak mampu mengatasi angka
kriminalitas dan kejahatan. Buktinya, berbagai regulasi yang dibuat untuk
mencegah kejahatan tidak berefek jera bagi pelaku. Apalagi, pelaku kriminal
kalangan remaja akan merasa “terlindungi” dengan dalih “di bawah umur”, padahal
mereka seharusnya sudah cukup umur untuk memahami perbuatan salah dan benar,
serta menanggung konsekuensinya jika melanggar.
Maka hanya Islamlah
solusi fundamental untuk mengatasi problematika kerusakan moral generasi, yang memiliki
sistem pendidikan yang komprehensif karena berasaskan akidah Islam. Dengan
metode pengajaran talkiyan fikriyan akan mampu mencetak generasi yang
beriman bertakwa. Dengan dukungan penerapan Islam dalam berbagai sistem kehidupan,
akan membentuk generasi berkepribadian
Islam. Tentu generasi cemerlang ini mustahil lahir dari sistem kapitalis sekuler yang memisahkan agama dari kehidupan. Karena fakta telah membuktikan
bahwa makin jauh dari Islam, makin parah kerusakan yang dialami generasi
kita, anak-anak kita. Maka, peran sistem sangat mendukung dan berpengaruh besar
dalam pembentukan generasi yang cemerlang.
Islam dengan kesempurnaannya, telah memberi solusi mendasar dengan tiga pilar.
Pertama, ketakwaan individu dalam pendidikan keluarga. Setiap keluarga muslim wajib menjadikan akidah Islam sebagai asas dalam mendidik anak. Dengan pendidikan berbasis akidah Islam akan terbentuk karakter iman dan ketaatan yang dapat mencegahnya berbuat maksiat.
Kedua, kontrol masyarakat dengan amar makruf nahi mungkar yang mana budaya saling menasihati akan mencegah individu berbuat kerusakan. Dengan begitu, fungsi masyarakat sebagai kontrol sosial dapat berjalan dengan baik.
Ketiga, negara menerapkan sistem Islam secara kafah
di segala aspek kehidupan. Negara menyelenggarakan sistem pendidikan berbasis
akidah Islam untuk membentuk generasi berkepribadian Islam. Negara wajib
memenuhi kebutuhan pokok rakyat sehingga masyarakat terhindar dari berbagai
kejahatan.
Negara juga wajib menghilangkan segala hal yang merusak keimanan dan ketaatan setiap muslim, seperti memblokir konten porno dan kekerasan; melarang produksi film atau tayangan pornografi, mengumbar aurat, dan konten negatif lainnya; menutup industri dan peredaran miras; hingga memberantas peredaran narkoba. Negara juga menegakkan sanksi yang tegas sesuai dengan syariat Islam sebagai penindakan atas setiap pelanggaran syariat Islam. Dalam hukum di Indonesia, kelompok usia yang digolongkan sebagai “anak” dalam ranah perkara hukum adalah yang berusia 12—17 tahun, sehingga anak dibawah umur tidak akan terjerat hukum layaknya orang dewasa. Sementara dalam Islam tidak mengenal penggolongan semacam ini.
Dalam pandangan Islam, ketika anak sudah memasuki
masa aqil baligh, maka secara otomatis ia terikat dengan hukum-hukum Islam.
Artinya, ia sudah menjadi seorang mukalaf (orang yang terbebani hukum) atas
setiap amal perbuatannya, termasuk konsekuensi sanksi yang akan menjeratnya
jika ia terbukti berbuat kriminal. Sejatinya, ketiga pilar ini hanya akan
berfungsi secara optimal dan menyeluruh dalam naungan khilafah yang akan
menerapkan Islam secara kaffah.
Wallahualam bissawab
Post a Comment