KEKERASAN SEKSUAL DILAKUKAN OLEH OKNUM GURU DI SMPN 3 BALEENDAH, BAGAIMANA BENTUK GENERASI DI MASA DEPAN?


Oleh : Amelia Ananda


 

Diduga melakukan kekerasan seksual beberapa oknum guru di SMPN 3 Baleendah, Kabupaten Bandung Barat dilaporkan ke  kepolisian. Ironisnya menurut informasi salah satu oknum tersebut adalah Wakil Kapala Sekolah.


“Hari ini kami resmi melaporkan oknum guru di Sekolah Menengah Pertama Negeri yang ada di Baleendah, Bandung, karena diduga telah melakukan kekerasan seksual yang mana korban adalah anak di bawah umur,” kata Subadaria Nuka,  kuasa hukum korban berinisial K di POLDA Jawa Barat, hari Kamis. (29/02/2024)


Laporan itu telah teregister dengan nomor LP/B/93/II/2023/SPKT/POLDA JAWA BARAT. Pasal yang dijerat laporan tersebut Pasal 5 Juncto 15 Huruf B, F, G, UU Nomor 12 Tahun 2022 Tentang Tindak Kekerasan Seksual.


Kuasa hukum korban mengatakan bahwa pihak sekolah tidak memeberikan perlindungan sama sekali, meskipun korban sudah mengalami gangguan psikis hingga akhirnya keluarga korban memilih untuk membawa kasus ini ke jalur hukum dan berharap kepada Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dapat  menindak tegas kasus yang terjadi di SMPN 3 Baleendah.


Umunya guru telah dicetak sedemikian rupa untuk menjadi seorang pendidik yang mampu mencerdaskan manusia, konon kecerdasan itu yang akan menjadi bekal masa depan Bangsa, maka peran guru sama dengan akar dari pemikiran dan kecerdasan.


“Guru itu digugu dan ditiru!” Begitu kata-kata generasi belakangan ini. Sementara dalam kasus ini yang digugu dan ditiru itu sama sekali tidak mencerminkan diri sebagai yang layak untuk dijadikan panutan. Jika generasi pertamanya adalah generasi yang melakukan kekerasan seksual, maka bisa dibayangkan bagaimana generasi berikutnya bisa terbentuk dan mental seperti apa yang dimiliki.


Guru dibentuk oleh Negara untuk “mengirimkan” segala rupa mata pelajaran akademik dan juga beberapa mempelajari psikis atau kejiwaan pada siswa, sementara pembentukan keimanan atau akhlak sama sekali tidak ada silabus yang disiapkan pemerintah. Hal ini menjadikan permasalahan yang bertautologi, memfokuskan pada pelajaran akademik sementara terjadi “kobocoran” akhlak di mana-mana.


Kasus seperti ini tidak hanya terjadi di satu tempat, maka yang harus diperhatikan adalah akarnya itu sendiri, bagaimana calon pendidik itu dibentuk, dibekali kemampuan mengola emosi tidak sesederhana untuk mendapat gelar guru dan pegawai negeri yang mendapatkan pensiun di hari tua. Jika pun hukum berdasarkan undang-undang telah diberikan, kejadian serupa dengan pemeran yang berbeda akan kembali terulang. Hal ini seperti meniup asap yang pekat tanpa mematikan api sebagai sumbernya.


Dalam segala aspek, termasuk pendidikan  Islam adalah solusi paling mujarab untuk merubah kerusakan moral yang ada, baik generasi pendidik maupun generasi yang sedang dididik. Pendidikan yang seharusnya adalah pendidikan yang tidak hanya mencerdaskan tapi mampu membuat generasi atau umat berpikir cemerlang, dengan demikian lahirlah peradaban yang bangkit dengan pemikiran Islam.


 


Wallohualam bishowab

Post a Comment

Previous Post Next Post