Lembaga pangan dunia mencatat bahwa saat ini hampir 1 miliar penduduk bumi terancam kelaparan, bahkan sepertiganya sudah dalam tingkat yang akut karena harga beras global dan harga pangan global mencapai level tertinggi sepanjang abad milenium ketiga ini.
PBB mengatakan, ada sekitar 900 juta orang penduduk bumi yang mengalami kelaparan pada 2022. Menurut Food Security Information Network, 258 juta orang dari 58 negara ternyata sudah mengalami kelaparan akut dan dinyatakan bahwa angka-angka tersebut bisa merangkak naik, terutama pada tahun 2024, karena berbagai masalah, seperti inflasi pangan, kekeringan, fenomena El Nino, sampai perang yang tidak berkesudahan.
Menurut aktivis muslimah Iffah Ainur Rochmah menerangkan, ada sisi lain yang jarang dibahas terkait kenaikan harga pangan, yakni spekulasi keuangan oleh spekulan global.
“Kita tentu mempertanyakan, apakah melambungnya harga pangan hanya disebabkan oleh kurangnya suplai? Ternyata tidak. Ada spekulasi keuangan dengan derivatif berbasis pangan yang merupakan satu faktor yang berpengaruh terhadap kenaikan harga pangan global tadi,” jelasnya dalam pemaparan berjudul “Beras Mahal Efek Permainan Spekulan Global, Bagaimana Solusi Islam?”, Sabtu (24-2-2024).
Hal ini, jelasnya, karena pangan merupakan salah satu jenis komoditas yang masuk dalam bursa komoditas. Jadi, menurutnya, ada sisi lain penyebab harga-harga pangan makin melonjak, padahal boleh jadi masalah-masalah, seperti inflasi, El Nino, dan perang, sudah terselesaikan.
Ia mencontohkan pasokan dunia yang menipis, ternyata faktanya tidak demikian. “Pada tahun 2021 dan tahun-tahun berikutnya, pasokan pangan produksi Cina dan Amerika makin melimpah dan FAO memprediksi bahwa pasokan berkecukupan dari Cina dan Amerika ini akan terus terjadi sepanjang waktu. Ini laporan FAO pada 2023 lalu,” urainya.
Namun, lanjutnya, bursa komoditas pangan—yang bekerja sebagaimana Bursa Efek—, bisa memengaruhi dan membuat harga pangan global melonjak. “Setiap ada ekspor ataupun impor bahan-bahan pangan tadi, sebenarnya ada perusahaan-perusahaan yang melakukan ekspor atau impor,” ucapnya.
Menurutnya, ini kondisi yang kurang lebih sama dengan Bursa Efek atau bursa di pasar saham yang sangat lekat dengan unsur spekulatif.
“Ada spekulan-spekulan yang mengelola risiko untuk mendapatkan keuntungan. Ketika mereka mendapatkan keuntungan, mereka tidak lagi memedulikan harga pangan yang melonjak mahal itu akan menyengsarakan sekian ratus juta orang, bahkan membuat ratusan juta orang mengalami kelaparan akut,” cetusnya.
Inilah watak bawaan dalam pemberlakuan sistem ekonomi kapitalistik sebagaimana yang berjalan hari ini di seluruh dunia, termasuk di negeri kita.
“Memang cara-cara ini tidak boleh dilarang. Aspek perdagangan nonriil atau perdagangan yang sifatnya spekulatif merupakan hal yang normal terjadi karena ada teori-teori yang membenarkannya. Yang tidak boleh hanya ketika dilakukan secara ilegal,” ungkapnya.
Terlebih hari ini, bebernya, ternyata pasokan pangan di seluruh dunia tidaklah kekurangan untuk menghidupi semua orang di muka bumi ini, tetapi ada faktor distribusi pangan yang tidak bisa dilakukan.
“Ini karena masyarakat di banyak negara tidak sanggup menstok pangan akibat harganya yang sangat mahal, sedangkan negara-negara tersebut adalah negara miskin, apalagi harga pangannya sudah dipermainkan oleh para spekulan di tingkat global,” kritiknya.
Adapun Indonesia, tutur Iffah, sesungguhnya punya kekayaan luar biasa untuk memproduksi pangan. “Di Indonesia, selain membutuhkan perbaikan tata kelola, produksi pertanian yang melimpah pun belum tentu akan bisa dinikmati oleh semua orang dan menyumbangkan pangan untuk dunia,” ujarnya.
Ia menilai, ketika sistem ekonomi kapitalistik masih berjalan di dunia ini, bahkan Indonesia termasuk menjadi bagian dari pihak yang ikut mengadopsi sistem tersebut, maka sama saja dengan negeri ini membiarkan terjadinya kelaparan akut pada sekian ratus juta penduduk dunia.
“Ini terjadi karena aspek spekulasi tadi terus akan terjadi dan menguntungkan segelintir pihak yang bermain di bursa komoditas ataupun Bursa Efek dan merugikan sekian banyak manusia yang tidak memiliki kekuatan secara ekonomi maupun politik,” tukasnya.
Dengan kondisi tersebut, sesungguhnya masyarakat membutuhkan berlakunya hukum-hukum syariat dalam tataran global.
Negara yang memberlakukan syariat secara global, yakni Khilafah, bisa memulai dengan memberlakukan sistem ekonomi Islam dan menjalankan politik ekonomi Islam dengan memastikan semua pemenuhan kebutuhan dasar rakyat, termasuk pangan, bisa dipenuhi secara mandiri.
Ketika sudah bisa dilakukan secara mandiri melalui politik pertanian yang dimilikinya, sambungnya, maka negara juga harus memastikan tidak ada aktivitas perdagangan ataupun aktivitas ekonomi yang berbasis sektor ekonomi nonriil di dalam negeri.
Jika sistem ekonomi Islam telah diberlakukan pada level global, maka secara otomatis praktik-praktik ekonomi spekulatif sebagaimana hari ini yang menguntungkan segelintir perusahaan multinasional ataupun segelintir pemain-pemain perdagangan spekulatif, tentu akan tersingkir dengan sendirinya.
Post a Comment