Kapitalisme Biangnya Beras Naik

 

 


Oleh Via Gantina, S.Pd

( Praktisi Pendidikan)


Stok beras di beberapa agen beras dan mini market belakangan menjadi langka. Tidak hanya terjadi di Jakarta, di daerah lain pun diketahui terjadi kelangkaan dan kalaupun tersedia harganya lebih tinggi dari biasanya. Seperti di Kabupaten Bandung, salah seorang agen beras mengatakan banyak faktor yang menyebabkan ini terjadi, salah satunya jumlah pasokan dari produsen yang berkurang.


Kenaikan harga dan kelangkaan beras selalu menjadi polemik yang berulang, terutama pada periode akhir dan awal tahun. Alasan yang kerap disebut memicu persoalan tahunan ini adalah kondisi cuaca.


Pemerintah menggelontorkan beras dari gudang Perum Bulog dengan klaim untuk menurunkan harga beras di pasar. Untuk menjamin ketersediaan beras, pemerintah sejak Maret 2023 juga memberikan jatah 10 kilogram beras untuk 22 juta keluarga setiap bulan, hingga Juni 2024.


Namun apakah solusi itu jitu dan bisa mencegah gejolak beras pada masa mendatang?

Pemerintah melakukan dua strategi untuk menanggulangi naiknya harga beras. Pertama dengan impor, kedua dengan melakukan operasi pasar. Para pemegang kebijakan itu berharap dengan solusi itu, harga beras akan berangsur turun.


Pemerintah juga memberikan bantuan langsung tunai (BLT) kepada masyarakat yang membutuhkan, pendistribusian beras Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP), bahkan ada bantuan khusus karena El Nino. Namun sayangnya, bantuan itu tidak bisa dirasakan semua masyarakat. Masih ada masyarakat yang membutuhkan, tetapi tidak mendapatkan haknya.


Sebagai upaya mengurangi ketergantungan beras, pemerintah juga telah melakukan diversifikasi bahan pangan. Cara itu dinilai sangat cocok untuk mengganti beras dengan makanan pokok yang lain.


Sayangnya, di tengah usaha besar itu, pemerintah tidak mampu mengendalikan harga pupuk. Lebih parah lagi, subsidi pupuk yang selama ini dibutuhkan para petani sudah berkurang sehingga para petani harus mengeluarkan biaya besar untuk membeli pupuk dan obat-obatan. Pada akhirnya, banyak petani yang modalnya pas-pasan tidak bisa mengurus tanaman dengan maksimal.


Tidak sampai di situ, serbuan berbagai macam hama, seperti wereng, jamur, tikus, dsb juga membuat tanaman padi tidak bisa tumbuh subur. Mereka harus merogoh kocek lebih dalam untuk membasmi. Hanya saja, hasilnya tidak sebanyak panen sebelumnya.


Pengalihfungsian lahan secara besar-besaran dari tanah pertanian menjadi industri juga mengurangi luas lahan pertanian. Dengan kesulitan yang terjadi, ditambah lahan pertanian yang makin sempit, membuat hasil pertanian jadi menurun. Meskipun saat ini banyak proyek tentang food estate, nyatanya juga tidak banyak membuahkan hasil.


Kegagalan ini terjadi karena pemerintah selama ini terkesan hanya mengambil tindakan pada solusi praktis. Kebijakan yang diambil tidak menyentuh pada akar masalah. Kebijakan yang ada hanya dapat menahan lonjakan harga yang bisa jadi suatu saat akan terulang.


Sejatinya, masalah defisit beras bukan hanya karena El Nino. Buktinya, negara lain yang sama-sama terkena imbas El Nino, produksi mereka masih surplus. Artinya, ada masalah lain yang lebih besar dari pada El Nino yang bisa memengaruhi produksi pangan.


Peristiwa pengalihfungsian lahan misalnya, tidak akan terjadi jika tidak ada pihak yang mencari dan menawarkan. Mereka yang bermodal besar akan melakukan apa saja untuk mewujudkan usahanya. Salah satunya adalah membeli lahan pertanian di wilayah pinggiran yang harganya lebih murah. Kemudian pengurangan subsidi pupuk juga menambah pilu nasib petani.


Adanya izin bagi para kapitalis untuk berbisnis pada bidang pangan khususnya beras juga berpengaruh. Mereka membeli padi dari petani dengan harga agak mahal sedikit dari pasar. Setelah masuk gudang, mereka “menyulap” padi-padi itu dalam bentuk beras kemasan dengan harga dua kali lipat bahkan lebih. Kalau begini, petani memang untung, tetapi para pengusaha tadi jauh lebih untung.


Upaya impor beras yang dilakukan pemerintah juga sering mendatangkan keluhan dari para petani. Dengan adanya beras impor, harga beras lokal ikut turun. Namun saat ini, meskipun sudah impor, ternyata harga beras masih terus bertengger. Kalaupun turun, tidak banyak. Pihak yang diuntungkan dalam hal impor beras tentu bukan petani atau masyarakat, melainkan perusahaan impor. Siapa lagi pemiliknya kalau bukan para kapitalis?


Semua itu terjadi karena negara tidak menjalankan sebagaimana fungsinya. Negara harusnya mengeluarkan kebijakan yang mengayomi masyarakat. Pada kenyataannya, saat ini negara hanya bertindak sebagai regulator. Inilah bentuk cengkeraman kapitalisme. Negara tidak bisa berbuat apa-apa karena semuanya harus mengikuti sistem pasar ala kapitalisme.


Islam sebagai sistem hidup yang sempurna sejatinya memiliki politik pangan tersendiri. Pertama, negara wajib hadir dalam setiap kebijakan. Negara tidak boleh membiarkan rakyatnya kelaparan. “Khalifah itu laksana perisai tempat orang-orang berperang di belakangnya dan berlindung kepadanya.” (HR Muslim).


Kedua, negara akan senantiasa hadir pada produksi, distribusi hingga konsumsi. Pada tingkat produksi, negara akan menjalankan politik pertanahan Islam, seperti melarang pembangunan industri di lahan subur, memberikan lahan pertanian bagi siapa saja yang bisa menghidupkannya, melakukan program intensifikasi dan ekstensifikasi pertanian, dan lainnya. Sedangkan dalam distribusi, negara akan memotong rantai distribusi yang panjang sehingga harga tidak mahal, melarang adanya penipuan atau penimbunan, dan lainnya. pada tingkat konsumsi, negara memastikan setiap warga terpenuhi kebutuhannya.


Ketiga, untuk mendukung semua program negara, akan diterapkan sistem ekonomi Islam, sistem sanksi Islam, hingga sistem pendidikan Islam. Jika semua itu dapat dipenuhi, jaminan surplus pangan akan tercapai karena Allah telah berjanji dengan firman-Nya, “Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (QS Al-A’raaf: 96).


Dengan demikian, sebagai umat yang beriman, kita tidak boleh hanya menyalahkan faktor alam saat terjadi masalah pangan. Bisa jadi ini peringatan Allah Taala agar umat Islam mau kembali lagi kepada Islam. Sungguh, hanya Islam yang dapat menyelamatkan negeri dari cengkeraman kapitalisme. Wallahualam bissawab

 

 

Post a Comment

Previous Post Next Post