(Muslimah Permata Umat)
Menjelang lebaran aktivitas mudik akan berlangsung. Mudik sudah menjadi tradisi yang lekat di Nusantara saat hari raya tiba. Sebab libur panjang serentak bagi masyarakat baik bagi pelajar, mahasiswa, pegawai swasta maupun negeri sehingga memanfaatkan waktu emas ini untuk kumpul bersilaturrahim dan bermaaf-maafan secara langsung dengan sanak saudara.
Tak heran saat momen mudik ini, angka pengguna transportasi meningkat baik jalur darat, udara maupun laut. Jalur darat, kondisi jalan raya dan tol pun padat merayap. Bahkan beberapa ruas jalan akan terjadi kemacetan yang parah.
Direktur Operasi Jasa Marga Fitri Wiyanti mengatakan, "Puncaknya diperkirakan pada 6 April 2024 atau H-4 dengan jumlah kendaraan 259 ribu kendaraan, naik 0,03 persen jika dibandingkan dengan tahun 2023 atau lebih besar 66,8 persen kalau dibandingkan dengan kondisi normal,"
Sementara puncak arus balik diperkirakan terjadi pada 14 April 2024 atau H+4 Idul Fitri. Volume kendaraan yang akan masuk melalui empat gerbang Jakarta, Bogor, Tangerang dan Bekasi (Jabotabek) disebut akan mencapai 300.722 kendaraan.
(Antara 27/03/2024).
Dengan tingginya pengguna jalan, tak dipungkiri kecelakan lalu lintas pun kerap kali terjadi. Penyebab kecelakaan lalu lintas beragam, bukan semata-sama kelalaian pengendara saja karena mengantuk, atau cuaca (misal hujan ekstrem) hingga pandangan menjadi kabur dalam berkendara. Namun, juga karena infrastruktur yang tidak memadai, seperti jalanan rusak berlubang.
Tentu, bagi masyarakat yang mudik harus selalu berhati-hati agar perjalanan menuju tujuan dan kembali pulang dalam keadaan selamat dengan mematuhi peraturan lalu lintas serta menggunakan properti keselamatan pengendara (seperti helm, kacamata, sarung tangan, jaket bagi pengendara roda dua. Semantara sabuk pengaman, airbag, kaca spion, lampu siang hari (Daytime Running Light), rem pakem diharuskan aman bagi pengendara roda empat serta dipastikan kondisi fisik bagi pengendara dalam keadaan sehat).
Sementara tanggungjawab penguasa harus senantiasa memastikan kelayakan infrastrukturnya sebagai akses vital berkendaraan, agar kondisi jalan tidak rusak berlubang berpotensi kecelakaan.
Adapun jika terjadi kecelakan lalu lintas akibat jalan rusak berlubang. Diatur dalam
Pasal 273 UU No.22/2009 menyebutkan setiap penyelenggara jalan yang tidak dengan segera dan patut memperbaiki jalan yang rusak yang mengakibatkan kecelakaan lalu lintas, sehingga menimbulkan korban luka ringan dan/atau kerusakan kendaraan dipidana kurungan paling lama 6 bulan atau denda maksimal Rp12 juta.
Pertanyaannya, apakah yang dimaksud dengan penyelenggaraan jalan dan siapa penyelenggara jalan tersebut? Menurut Pasal 1 angka 5 PP 34/2006:
Penyelenggaraan jalan adalah kegiatan yang meliputi pengaturan, pembinaan, pembangunan, dan pengawasan jalan.
Jadi penyelenggara jalan adalah pihak yang melakukan pengaturan, pembinaan, pembangunan, dan pengawasan jalan sesuai dengan kewenangannya.
Masyarakat pun perlu memahami bahwa wewenang penyelenggaraan jalan ada pada :
1. Pemerintah pusat, adalah Presiden yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945, meliputi jalan secara umum dan jalan nasional.
2. Pemerintah daerah adalah gubernur, bupati, atau walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah, meliputi jalan provinsi, jalan kabupaten/kota, dan jalan desa.
Terkait dengan jalan rusak, terdapat 2 hal yang harus dilakukan penyelenggara jalan berdasarkan Pasal 24 UU LLAJ (Undang-undang Lalu Lintas Angkutan Jalan) , yakni:
Pemerintah dan/atau pemerintah daerah sebagai penyelenggara jalan harus segera memperbaiki jalan yang rusak yang dapat mengakibatkan kecelakaan lalu lintas;
Pemerintah dan/atau pemerintah daerah memberi tanda atau rambu pada jalan yang rusak, jika belum dapat dilakukan perbaikan jalan, untuk mencegah terjadinya kecelakaan lalu lintas.
Perlu diketahui bahwa menurut Pasal 273 ayat (1) UU LLAJ, apabila penyelenggara jalan yaitu pemerintah pusat/pemerintah daerah yang tidak dengan segera dan patut memperbaiki jalan yang rusak yang mengakibatkan kecelakaan lalu lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) UU LLAJ sehingga menimbulkan korban luka ringan dan/atau kerusakan kendaraan dan/atau barang, maka itu sudah bentuk kelalaian terhadap keselamatan jiwa rakyat.
Secara hukum positif, tentu UU diatas dibuat untuk keselamatan rakyat. Namun, bagaimana realita saat ini, apakah masyarakat yang menjadi korban kecelakaan akibat jalan rusak, secara otomatis mendapatkan jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum sebagaimana dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945,”? Dan bagi pelaksana jalan berlakukah sanksi pidana sebagaimana yang termuat dalam pasal diatas?
Mudik untuk silaturrahim yang
membutuhkan waktu perjalanan disebut juga safar, Islam telah mengaturnya.
Kepala negara (kholifah) senantiasa membuat kebijakan dalam menjaga keselamatan rakyatnya, sebab terkait dengan nyawa yang harus di lindungi. Hal ini merupakan fungsi kepala negara dalam menjaga jiwa (hifzh nafs) rakyatnya dari segala marabahaya.
Keseriusan pemimpin dalam menjaga keselamatan rakyat, terjadi di era kegemilangan Islam yang dipimpin oleh penguasa yang adil dan bijaksana Amirul mukminiin, kholifah Umar bin Khottob, tatkala menyaksikan jalan di wilayah kekuasaannya rusak,
“Jangan ada satu keledai pun yang terperosok karena jalan yang rusak, ini akan menjadi pertanggung jawabanku di akhirat kelak”. Begitulah ungkapan seorang pemimpin Islam sehingga tak akan membiarkan infrastruktur yang rusak mencelakakan hewan apalagi manusia yang berada dalam tanggungjawabnya.
Tinta emas kegemilangan Islam pada masa Kekhilafahan Bani Umayyah juga telah membuktikan penjagaan keselamatan jiwa rakyat sangat serius seperti perbaikan dan pembangunan jalan raya terjadi di masa pemerintahan Al Walid bin Abdul Malik. Sang khalifah sangat memperhatikan rute menuju negerinya untuk memudahkan perjalanan menuju Baitul Haram.
Dimasa Abbasiyyah, kholifah Al-Mahdi memerintahkan agar di area Masjidil Haram dibangun jalan-jalan yang luas. Pun semakin banyak jamaah haji yang datang dari pusat Kota Irak ke Hijaz, menjadi perhatian besar kholifah untuk juga membangun jalan yang layak, lengkap dengan tempat istirahat (penginapan), persediaan air secara gratis dan di tempat ini juga dibangun menara api sebagai mercusuar yang menjadi penerangan di malam hari, sehingga mempermudah perjalanan para musafir.
Pada masa Utsmani Sultan Hamid II membangun transportasi kereta api yang diperuntukkan untuk rakyat yang berpergian dengan berbagai tujuan secara gratis , khususnya untuk mempermudah perjalanan ke tanah suci. Pada awalnya rel ini berawal dari Distrik Huran Syam/Syiria, namun kemudian diperpanjang hingga Damaskus dengan rel sepanjang 1303 km. Proyek ini dapat mempercepat waktu perjalanan hingga hanya 5 hari dari sebelumnya jamaah harus berjalan selama 40 hari untuk sampai di Madinah al-Munawwaroh dari Damaskus.
Demikianlah tanggungjawab besar negara dalam sistem Islam terhadap keselamatan jiwa rakyatnya pada masa kepemimpinan amirul mukminiin hingga para kholifah yang harus menjadi cermin kepemimpinan saat ini, bergerak sigap dan serius melayani rakyatnya, tidak hanya memikirkan diri sendiri dan berhitung untung rugi kepada rakyatnya layaknya bisnis.
Menjadi muhasabah bagi penguasa saat ini, sungguh ironis jika jalan tol bertarif mahal, rakyatpun selalu diwajibkan membayar pajak. Namun hak-hak rakyat tidak terpenuhi dengan baik. Sekalipun ada perbaikan jalan, mengapa kerap kali dijumpai waktu perbaikan jalan rusak tersebut berdekatan atau berbarengan dengan momen mudik.
Betapa berharganya satu nyawa manusia, sehingga tak dibiarkan celaka oleh penguasanya sendiri. Berusaha memberikan segala hak dan kebutuhannya dengan baik, salah satunya hak mendapatkan fasilitas jalan umum yang nyaman, tidak rawan bahaya dan celaka.
Sebab di yaumil Akhir nanti para pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban terkait riayah (pengurusan) terhadap rakyatnya saat di dunia.
Rasulullah Saw. bersabda : “Pemimpin suatu kaum adalah pelayan mereka” (HR. Ibnu Majah dan Abu Nuaim). Dalam riwayat lain, Rasulullah Saw. juga bersabda, “Imam (Khalifah) adalah pengurus rakyat dan dia bertanggung jawab atas rakyat yang dia urus” (HR. Bukhari).
Post a Comment