Ilusi, Tenaga Honorer Merindu THR


Oleh Neneng Sriwidianti

Pengasuh Majelis Taklim


Tunjangan Hari Raya (THR), sesuatu yang dirindukan datangnya oleh setiap pekerja. Kenapa? Karena ketika Ramadan tiba, mereka akan mendapatkan THR sebesar satu kali gaji. Artinya, pada bulan ini rakyat mendapatkan dua kali gaji. Harapannya, mereka bisa mudik ke kampung halaman dengan suka cita, membeli baju, bingkisan untuk keluarga, dan bisa berbagi kepada kerabat. 


Namun sayang, tidak semua rakyat bisa merasakan "manisnya uang tunjangan hari raya" ini, meski ia pegawai negeri. Penguasa sudah mengeluarkan kebijakan bahwa pejabat desa dan honorer tidak akan mendapatkan THR dan gaji ke-13 tahun ini.


Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, mengatakan bahwa perangkat desa, termasuk kepala desa, bukan termasuk aparatur sipil negara (ASN) sehingga tidak ada anggaran THR bagi mereka. Biasanya, para perangkat desa tersebut mendapatkan THR yang anggarannya dari dana desa. Namun, hal tersebut masih akan dibahas lebih lanjut. (Antara, 25/3/2024)


Hal yang sama juga menimpa tenaga honorer. Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Abdullah Azwar Anas mengatakan bahwa tenaga honorer tidak mendapatkan THR dan gaji ke-13, kecuali mereka yang telah diangkat menjadi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK).


Selayaknya, semua pegawai negara berhak mendapatkan THR tanpa ada pengecualian. Hal ini, dikarenakan posisi mereka yang menjadi abdi negara, sebagaimana ASN dan PPPK, karena anggaran THR berasal dari APBN bukan dari kantong penguasa. Jadi, sudah seharusnya semua yang bekerja di instansi pemerintahan mendapatkan THR, bukan dipilih-pilih sehingga tidak merata. Apalagi, kalau melihat di lapangan, tenaga honorer justru tenaganya diperas habis-habisan.


Sungguh miris nasib para tenaga honorer. Selama ini mereka mendapatkan gaji yang tidak sepantasnya, di bawah gaji ASN. Harapan untuk mendapatkan THR pada momen Hari Raya hanya ilusi. Kebahagian yang dinanti sejak setahun, pupus sudah. Kesedihan menghadang di depan mata, apalagi Ramadan tahun ini kebutuhan pokok terus melonjak.


Tidak ada kata yang tepat yang ditujukan kepada pemerintah, kecuali zalim! Karena pemerintah membeda-bedakan antara satu pegawai dengan pegawai lainnya berdasarkan status ASN dan bukan ASN. Padahal, menjelang Lebaran kebutuhan semua rakyat sama.


Semua ini akibat diterapkannya sistem kapitalisme. Sistem ini telah menjadikan kekayaan alam dikuasai oleh segelintir oligarki kapitalis. Akibatnya, hasil kekayaan alam yang begitu melimpah yang seharusnya masuk ke kas APBN dan dimanfaatkan untuk kesejahteraan rakyat justru masuk ke kantong para oligarki yang rakus. Alhasil, rekening para oligarki semakin melangit, sedangkan APBN kering kerontang, itu juga mengandalkan dari pemasukan utang ribawi dan pajak.


Akibat dari anggaran negara yang tipis, akhirnya pemerintah berhitung untung rugi ketika hendak memberikan hak rakyat, termasuk THR. Terbayang di dalam benaknya, berapa dana yang harus keluar ketika semua pegawai diberikan THR. Padahal, THR adalah hak setiap pegawai apa pun statusnya. Tetapi yang lebih miris, para pejabat yang sudah kaya mendapatkan THR besar, sementara tenaga honorer yang jelas kekurangan justru tidak mendapatkannya. "Orang kaya semakin kaya dan orang miskin semakin miskin" itulah tabiat sistem kapitalisme.


Berbeda dengan sistem Islam. Baitulmal dalam khilafah memiliki 12 pos penerimaan tetap. Dalam kitab Al-Amwal fi Daulah al-Khilafah karangan Syekh Abdul Qadim Zallum  dijelaskan bahwa terdapat tiga bagian pemasukan negara yaitu:


Pertama, bagian kharaj dan fai, yang meliputi pos ganimah (mencakup ganimah, fai, dan khumus), pos kharaj, pos status tanah, pos jizyah, pos fai, dan pos dharibah (pajak).


Kedua, bagian kepemilikan umum. Meliputi migas, listrik, pertambangan; laut, sungai, perairan, dan mata air; hutan dan padang rumput; dan aset-aset yang diproteksi oleh negara untuk keperluan khusus.


Ketiga, dari sedekah. Mencakup pos zakat uang dan perdagangan, pos zakat ternak, dan pos zakat pertanian.


Maka, wajar dengan pemasukan yang besar ini, khilafah akan mampu menyejahterakan rakyatnya dengan kesejahteraan hakiki. Rakyat akan terpenuhi pangan, sandang, papan, kesehatan, pendidikan, serta jaminan keamanan bagi tiap individunya secara berkesinambungan, bukan hanya di momen jelang Idul Fitri tetapi sepanjang masa. Terpenuhinya kebutuhan pokok ini bukan hanya untuk pegawai tetapi bagi setiap warga negara baik muslim maupun nonmuslim.


Terkait dengan pegawai negara, seorang khalifah akan menerapkan syariat Islam terkait pengupahan (ijarah).


"Berikanlah kepada mereka upahnya." (TQS. Ath-Thalaq:6)


Para pegawai akan mendapatkan upah sesuai dengan akad yang disepakati oleh kedua belah pihak. Akad itu meliputi jenis pekerjaan, jam kerja, tempat kerja, dan upah yang sudah disepakati, yang besarannya bervariasi sesuai besarnya tanggung jawab yang dipikul.


Sebagai contoh, kita bisa melihat praktek THR  di masa khilafah Utsmani. Khalifah dan penguasa lainnya membuka pintu rumah mereka selama Ramadan dan menyediakan hidangan berbuka puasa kepada khalayak umum. Sedangkan pada Idul Fitri, para khalifah Utsmani mengadakan perayaan "Seker Bayrami" selama tiga hari penuh. Sepanjang perayaan, khalifah berbagi cokelat, baklava, dan permen bonbon. Semua warga negara bersuka cita pada hari itu.


Demikianlah, gambaran Lebaran penuh suka cita dalam khilafah. Pemimpin dalam Islam memberikan kesejahteraan sepanjang tahun, bukan kesejahteraan ketika Idulfitri saja. Khalifah juga mengalokasikan anggaran negara untuk kebahagiaan rakyatnya pada momen Idulfitri dengan banyak memberikan sedekah bagi rakyat yang membutuhkan. Begitulah, seharusnya umat Islam mendapatkan kebahagian di momen Lebaran ini.


Wallahu a'lam bishshawab

Post a Comment

Previous Post Next Post