Pegiat Literasi
Marhaban yaa Ramadan, bulan penuh berkah dan ampunan kembali hadir di tengah umat. Kedatangannya selalu disambut dan dinanti dengan suka cita oleh seluruh kaum muslimin di seluruh penjuru dunia. Namun saat ini, kebahagiaan dan antusiasme itu harus dibayangi oleh keresahan karena naiknya harga berbagai kebutuhan pokok, yang seolah telah menjadi tradisi setiap menjelang Ramadan.
Berdasarkan data Sistem Informasi Barang Pokok dan Barang Penting (Sibapokting), Dinas Perdagangan dan Perindustrian (Disperindag) Kabupaten Bandung, pada Selasa 27 Februari 2024, harga beberapa bahan pokok seperti cabai, sayur-sayuran dan telur ayam mulai merangkak naik. Selain itu, harga beras pun masih tinggi, yakni dikisaran 17.000 per kilogram untuk beras premium dan 16.000 untuk kualitas medium. (www.pikiran-rakyat.com, 28/02/2024)
Ada beberapa alasan yang menyebabkan harga pangan meroket menjelang Ramadan, di antaranya, meningkatnya kebutuhan masyarakat dibandingkan hari biasa. Sebagaimana teori ekonomi, apabila permintaan banyak, harga pun akan naik. Penyebab lainnya adalah maraknya penimbunan barang dan permainan yang dilakukan oleh oknum pelaku pasar yang egois dan ingin memperkaya diri sendiri tanpa memikirkan dampaknya bagi masyarakat.
Pemerintah sebagai pemangku kekuasaan mengklaim telah melakukan antisipasi untuk mengendalikan harga pangan, mulai dari menekan inflasi hingga menggelar pasar murah di berbagai tempat. Namun, hingga saat ini upaya tersebut belum berhasil membuat harga menjadi stabil.
Seyogyanya penguasa melakukan upaya antisipatif agar tidak terjadi gejolak harga sehingga rakyat terutama lapisan menengah ke bawah tidak kelimpungan memenuhi kebutuhannya. Fenomena yang terus terjadi sejatinya menunjukkan bahwa solusi yang dijalankan masih bersifat parsial, tidak menyentuh akar persoalan.
Menghadapi bulan Ramadan seharusnya pemerintah mampu menjamin ketersediaan bahan pangan yang cukup dengan harga yang stabil bahkan lebih murah dari hari biasa, agar masyarakat dapat dengan tenang dan nyaman menjalankan ibadah puasa.
Menggantungkan harapan pada kapitalisme sekuler yang diterapkan negeri ini jelas keliru. Kapitalisme menyerahkan berbagai kebutuhan masyarakat kepada para kapital atau pengusaha yang orientasinya keuntungan. Maka momen Ramadan dijadikan kesempatan untuk menaikkan harga di kala masyarakat banyak membutuhkan. Sekularisme yang menegasikan peran agama dalam kehidupan telah menumbuhsuburkan pelaku curang, seperti mempermainkan harga juga penimbunan. Pelaku penimbunan dan kecurangan lainnya seolah kebal hukum. Sanksi yang diberlakukan tidak mampu memberhentikan atau sekedar mengurangi.
Di samping itu dalam sistem ekonomi kapitalisme yang diutamakan adalah produksi tanpa membahas distribusi. Seringkali ungkapan pemerintah cukup menyediakan stok aman tanpa memikirkan apakah individu per individu rakyat bisa mengaksesnya.
Seringkali melimpahnya stok bahan pangan tidak diiringi dengan turunnya harga. Akibatnya rakyat kesulitan mendapatkannya di tengah daya beli masyarakat yang melemah.
Berbeda dengan kapitalis, dalam sistem Islam peran negara adalah pelayan rakyat. Islam mewajibkan penguasa hadir secara penuh dalam mengurusi seluruh kemaslahatan umat, memenuhi kebutuhan pokok masyarakat dari mulai sandang, pangan, papan hingga kebutuhan kolektifnya seperti pendidikan, kesehatan, dan keamanan. Apabila hajatnya terpenuhi per kepala maka aktivitas ibadah lainnya akan berjalan secara kondusif dan khusyuk. Kaum muslim bisa fokus pada amaliah Ramadan tanpa pusing mengatur pengeluaran karena bahan pokok melambung. Pun jika pelaku kecurangan maka akan ditindak tegas sesuai sanksi syariat.
Islam juga berpandangan bahwa masalah pangan adalah hal yang perlu mendapat perhatian khusus dari negara, karena merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia yang wajib dipenuhi per individu. Selain itu, seorang pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah jika ada rakyatnya yang kesulitan dan kelaparan. Rasulullah saw. bersabda: ”Imam (khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR. al-Bukhari)
Negara akan memperhatikan pengaturan berbagai aspek dalam upaya pemenuhan pangan dalam negeri. Menjamin ketersediaannya dengan harga yang dapat terjangkau, juga mendorong dan melakukan berbagai riset dan inovasi demi meningkatkan berbagai hal yang dibutuhkan demi peningkatan bahan pangan. Penguasa juga akan mengupayakan produksi bahan pangan secara mandiri dengan cara memberikan subsidi bibit dan pupuk murah kepada para petani, sehingga biaya produksi pertanian dapat ditekan seminimal mungkin.
Dengan demikian, jaminan mekanisme pasar terlaksana dengan baik tanpa harus mematok harga, karena hal ini jelas dilarang. Sebagaimana sabda Rasulullah saw.: “Sesungguhnya Allah-lah yang mematok harga, yang menyempitkan dan melapangkan rizki, dan saya sungguh berharap untuk bertemu Allah dalam kondisi tidak seorangpun dari kalian yang menuntut kepadaku dengan suatu kezaliman pun dalam darah dan harta." (HR. Abu Daud [3451] dan Ibnu Majah [2200]).
Negara akan memangkas jalur distribusi yang rumit menjadi mudah, memberantas distorsi, seperti penimbunan, monopoli, dan penipuan. Menyediakan data ekonomi dan pasar, serta membuka akses informasi bagi semua orang untuk meminimalisir berita-berita tidak benar yang bisa dimanfaatkan oleh pelaku pasar untuk mengambil keuntungan.
Maka, penerapan aturan Islam secara menyeluruh dalam institusi negara menjadi satu-satunya cara untuk menstabilkan harga berbagai bahan pokok serta menjamin kesejahteraan rakyat. Sebab, hal ini telah terbukti selama 13 abad negara yang menerapkan aturan Islam mampu menyelesaikan berbagai permasalahan umat serta menjamin kesejahteraannya.
Wallahu a'lam bi ash shawab.
Post a Comment